tirto.id - PT Rajawali Citra Televisi dan PT Visi Citra Mitra Mulia mengajukan permohonan uji materi terhadap Undang-undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Gugatan ini, jika dikabulkan, besar kemungkinan akan menjadi preseden tidak menyenangkan bagi para pengguna internet di Indonesia.
Kedua perusahaan ini—akrab dikenal publik sebagai RCTI dan iNews TV—berada di bawah naungan PT MNC Investama Tbk atau MNC Group yang dipimpin Hary Tanoesoedibjo. Sebagai salah satu orang terkaya di Indonesia, Hary bukan saja menguasai RCTi dan iNews TV, tapi juga televisi lain seperti GlobalTV dan MNC TV.
Pada situs resminya, MNC Grup mengklaim mempunyai pangsa penonton hingga 40 persen dan pangsa iklan 45 persen secara nasional. Angka ini menjadi yang paling tinggi dibandingkan dengan televisi lainnya. Untuk mengoptimalkan keempat saluran televisi ini, MNC kemudian meluncurkan RCTI+ di tahun 2019. Dengan aplikasi streaming tersebut, masyarakat bisa mengakses 4 tayangan stasiun televisi dalam satu platform.
Meski punya RCTI+ yang termasuk layanan Over The Top (OTT) yang menyediakan on demand/streaming, RCTI dan iNews TV tak peduli. Mereka menggugat UU Penyiaran Pasal 1 angka 2 yang dianggap pilih kasih terhadap layanan OTT yang menggunakan internet. Selama ini UU Penyiaran hanya berlaku kepada penyiaran berbasis frekuensi publik seperti radio dan televisi, tapi tidak mencakup internet.
Dalam Perbaikan Permohonan Nomor 39/PUU-XVIII/2020 tentang Pengujian Pasal 1 Angka 2 UU Penyiaran yang diajukan RCTI-iNews, keduanya merasa telah merugi secara konstitusional. Salah satu kerugiannya adalah lembaga konvensional seperti televisi harus patuh pada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Penyiaran (P3SPS) dalam membuat konten siaran, sedangkan pengguna internet tidak.
Perihal membuat konten, televisi harus tunduk pada aturan dan pengawasan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Sedangkan siapapun yang aktif di internet dan membuat tayangan tidak perlu takut mendapat pengawasan dari KPI ataupun teguran dan sanksi. Bagi RCTI-iNews, absennya KPI atau pengawasan penyiaran di internet telah “merugikan Para Pemohon sebagai penyelenggara penyiaran konvensional baik secara materiil maupun immateriil.”
Gugatan ini lantas membawa debat panjang antara content creator di internet dengan RCTI-iNews.
Mematikan Kompetitor?
Direktur Eksekutif Remotivi Yovantra Arief menduga apa yang dilakukan RCTI-iNews hanyalah salah satu perilaku pebisnis dalam perang dagang. Ini tak lepas dari fakta penonton televisi pelan-pelan mulai beralih ke internet.
Dalam permohonan RCTI-iNews, mereka mengutip studi dari lembaga AC Nielsen tahun 2018 yang menunjukkan bahwa masyarakat menonton televisi rata-rata 4 jam 53 menit per hari, sementara menonton di internet persis di bawahnya yaitu 3 jam 14 menit. Dengan kata lain, durasi menonton di internet kian mendekati durasi menonton televisi.
Sedangkan dosen ilmu komunikasi Universitas Gadjah Mada (UGM), Rahayu, menilai perilaku ekonomi seperti ini tak bisa dibenarkan begitu saja. Baginya, ini hanya upaya pencegahan agar penonton internet tetap setia menonton televisi. Dan itu tetap saja tak dapat dibenarkan.
“Jika merasa terancam, harusnya mereka lebih inovatif mengikuti zaman. Ini tanda mereka enggak bisa kreatif,” kata Rahayu kepadaTirto, Jumat (28/8/2020).
Kesulitan bisnis ini sebenarnya bukan perkara baru. Pada 2017, di Inggris, sebuah acara televisi bertajuk Blue Peter tidak ditonton oleh siapapun selama musim panas. Kejadian ini menjadi tamparan bagi stasiun televisi dan memaksa mereka untuk terus berinovasi agar bisa bertahan hidup. Mereka harus bersaing ketat dengan Netflix, Amazon Prime, atau Hulu.
John Martin, mantan CEO dan pemimpin Turner Broadcasting Company (TBC), tidak menyalahkan banyaknya layanan on demand yang bermunculan tanpa aturan. Dia justru optimis bahwa televisi konvensional bisa bertahan asalkan terus membuat tayangan berkualitas. Banyak penonton yang belum terjaring oleh layanan on demand atau malah terus berpindah saking banyaknya pilihan. Jika bisa menemukan penonton setia dan terus konsisten, ia yakin televisi bisa bersaing.
“Mereka (televisi) harus mulai beralih dari langgam tradisional dan meraih perhatian publik,” kata Martin seperti dikutip IBC.
Allisan Metcalfe, Manajer Umum bidang televisi di LiveRamp,menganggap saat inilah momentum televisi berbenah untuk menemukan acara bagus yang merangsang loyalitas penonton. Netflix, misalnya, tidak main-main dalam menampilkan konten yang bisa membuat penontonnya bertahan. Salah satu contohnya adalah mengeluarkan 100 juta dolar AS untuk Friends, serial lawas yang berjaya pada akhir 1990-an,yang punya penggemar setia di seluruh dunia.
Sebenarnya RCTI pernah mempraktikkan cara serupa. Mereka, misalnya, membayar mahal untuk menayangkan Indonesian Idol dan acara ini berhasil merebut penonton yang loyal.
Kendati demikian, pihak RCTI-iNews menampik tudingan bahwa gugatan yang mereka ajukan adalah langkah bisnis untuk mematikan kompetitor. Sejauh ini, RCTI-iNews juga punya produk berbasis internet seperti RCTI+ maupun kanal YouTube RCTI, GlobalTV, MNC TV, hingga i-News.
Namun jika dilihat dari jumlah akun yang berlangganan pada layanan OTT RCTI atau i-News, keduanya memang kalah dari anak perusahaan MNC Group lainnya. RCTI punya 3,46 juta subscribers, sedangkan iNews hanya 2,54 juta. Adapun GTV hanya di angka 2,6 juta dan MNCTV paling tinggi di angka 9,6 juta.
“Gak ada hubungannya dengan kompetisi. Dalam bisnis, kompetisi itu mah biasa,” kata Corporate Legal Director MNC Group Christophorus Taufik kepada Tirto, Sabtu (29/8/2020). “Karena kami kan juga punya produk-produk berbasis internet. Jadi artinya kami takut bersaing dengan kami sendiri? Gagal paham aku.”
Content Creator Terbatasi
Dalam permohonannya, RCTI menjelaskan bahwa layanan OTT bisa dipecah menjadi tiga jenis. Pertama, aplikasi WhatsApp, Line, Telegram, Skype, Facebook, Twitter, Instagram, dan sebagainya. Kedua, konten atau video on demand/streaming seperti Netflix, YouTube, HOOQ, Iflix, Viu, dan sejenisnya. Ketiga, layanan seperti Go-Jek, Grab, dan semacamnya.
Dalam poin ke-31, RCTI-iNews menyebut “layanan OTT yang output-nya berupa konten gambar, audio, video dan/atau gabungan dari itu semua atau yang masuk ke dalam kategori konten/video on demand/streaming [dalam Surat Edaran Menteri Kominfo Nomor 3/2016 disebutkan sebagai layanan konten melalui internet] sebenarnya masuk kategori 'siaran' apabila merujuk kepada definisi yang diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU Penyiaran.”
Agar layanan yang berjenis “penyiaran” ini bisa diatur oleh UU Penyiaran, maka RCTI-iNews menyebut aturan Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran bertentangan dengan UUD 1945 karena tidak menerapkan prinsip persamaan kedudukan di dalam hukum dan perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Aturan UU Penyiaran harus juga mencakup penyiaran penggunaan internet. Permohonan RCTI-iNews itu memang terkesan sederhana. Yang tidak sederhana: dampaknya.
Di depan publik, RCTI-iNews menampik mentah-mentah tudingan bahwa gugatan ini bisa mengancam kreativitas dan mata pencaharian orang-orang industri kreatif di YouTube atau Instagram dan Facebook.
Saat muncul di tayangan YouTube Deddy Corbuzier, Christophorus Taufik menegaskan yang diatur adalah lembaga penyedia layanan OTT seperti YouTube dan semacamnya, bukan si pembuat konten. Pernyataan serupa juga ia tegaskan lagi kepada Tirto.
“Sama kayak tempat Mas kerja, kan juga diatur. Sekarang apa bedanya tempat Mas kerja dengan perusahaan OTT (termasuk kami)? Kalau perusahaan tempat Mas kerja diatur, boleh tidak kami mengharapkan perlakuan yang sama?” kata Chris.
Formula RCTI-iNews kira-kira begini jika memang UU Penyiaran mencakup internet:
YouTube, Netflix, dan segala macam penyedia layanan OTT harus tunduk pada UU Penyiaran. Jika ada tayangan yang melanggar, maka KPI atau entah siapa yang bertanggung jawab bisa menegur dan memberi sanksi kepada platform penyedia layanan. Pembuat konten boleh saja melakukan live streaming atau mengunggah video, tapi jika tak sesuai aturan KPI, maka KPI akan menegur YouTube dan penyedia layanan on demand/streaming di mana video tersebut ditampilkan.
Dengan formula ini, RCTI-iNews merasa mereka justru menolong content creator. Jika memang ada yang melanggar aturan, mereka tidak akan dipidana, melainkan KPI akan menyemprit penyedia layanan.
“Yang kami inginkan jangan tiba-tiba ada blokir atau pidana, tapi ada mekanisme, seperti contohnya TV dengan KPI ada dialog, ada parameter yang disepakati,” ucap Chris lagi.
Satu yang tidak disebutkan Chris, ketika penyedia layanan ditegur, maka yang terdampak sesungguhnya adalah content creator. Karena selama ini memang alurnya demikian.
Mengawasi stasiun televisi, KPI tidak menegur artis semena-mena melainkan stasiun televisi dan program-program mereka. Kemudian jika teguran itu tidak dipatuhi, maka KPI bisa saja menutup acara tersebut. Ketika program itu tutup, yang terdampak kehilangan pekerjaan tentu adalah artis yang mengisi acara.
Jika YouTube-Netflix mendapat teguran KPI, maka alurnya bisa jadi serupa. Bayangkan saja berapa banyak content creator yang tidak memenuhi standar KPI di YouTube atau Instagram? Semuanya akan diminta berhenti oleh KPI jika tak sesuai aturan atau mematuhi teguran. Alhasil, kreativitas mereka akan mengikuti standar KPI.
Bukan hanya abai, tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu dengan risiko content creator, RCTI-iNews juga menganggap gugatan ini tak berpengaruh sama sekali pada content creator di Instagram atau Facebook.
Padahal, jika mengacu pada definisi yang ditawarkan oleh RCTI-iNews, maka Instagram dan Facebook bisa terdampak karena sudah menyediakan layanan on demand/streaming seperti IGTV atau Facebook Live. Namun RCTI-iNews tutup mata pada definisi yang mereka ajukan sendiri ke Mahkamah Konstitusi.
Masalah ketiga yang perlu diluruskan adalah soal banyaknya konten yang dipermasalahkan dengan UU ITE dan mengancam pidana pembuat konten. RCTI-iNews berpandangan dengan menerapkan UU Penyiaran di layanan OTT, maka pembuat konten tidak akan menjadi sasaran pidana, melainkan penyedia layanan yang harus bertanggung jawab dan menghapus kontennya.
Faktanya, selama ini hal itu sudah dilakukan oleh YouTube, Facebook, dan mungkin lembaga penyedia OTT lain, kendati tidak maksimal. Di YouTube, misalnya, unggahan Erdian Aji Prihartanto soal obat COVID-19 dihapus tidak sampai seminggu setelah video itu ketahuan bermasalah dan menyebarkan kesesatan. Beberapa video lain juga sudah dihapus YouTube terkait hoaks COVID-19. Meski kontennya sudah dihapus, toh pembuat kontennya tetap dilaporkan ke polisi karena video itu terlanjur dilihat banyak orang.
Masalah lainnya, jika merujuk pada aturan UU Penyiaran, adalah persoalan izin siar. Dalam Pasal 33 UU Penyiaran ditekankan bahwa lembaga penyiaran wajib memperoleh izin penyelenggaraan penyiaran. Jika demikian, maka penyedia layanan seperti YouTube, atau mungkin Twitch.tv dan sebagainya, harus mengajukan ke pemerintah setempat untuk bisa menyediakan fitur tersebut.
Atau skenario yang lebih buruk: setiap pembuat konten harus mengantongi izin sebelum bisa mengunggah video atau mengadakan live streaming. Sampai izin diterbitkan, maka tidak boleh ada layanan yang bentuknya siaran di platform itu.
Itu baru pada ranah industri kreatif. Penerapan UU Penyiaran di internet ini bisa berdampak pada pendidikan, kesehatan, bisnis, dan bidang-bidang lainnya. Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika (PPI) Kementerian Komunikasi dan Informatika Ahmad M. Ramli menyampaikan dampak dari permohonan itu jika diterima oleh MK dalam sidang uji materi pada Rabu (26/8/2020) bisa sangat luas.
Berbicara mewakili Presiden Joko Widodo, Ramli menjelaskan dikabulkannya permohonan itu menimbulkan ketidakpastian hukum baik bagi industri penyiaran maupun masyarakat. Menurut pemerintah, ketika perluasan makna penyiaran diberlakukan, maka setiap lembaga penyiaran harus memiliki izin.
Bukan hanya kepada content creator, hal serupa harus diberlakukan kepada para pengguna lain termasuk badan usaha, atau badan hukum yang memanfaatkan layanan seperti Instagram TV, Instagram Live, Facebook Live, dan Youtube Live. Jika mereka menyiarkan tanpa izin, maka "kegiatan yang dilakukan merupakan penyiaran ilegal dan harus ditertibkan oleh aparat penegak hukum" sebab "penyiaran tanpa izin merupakan pelanggaran pidana" dan menurut Ramli izin itu tidak akan bisa dipenuhi sebagian lembaga atau perorangan.
Jalan RCTI-iNews tentu akan lebih mulus jika UU Penyiaran diterapkan ke internet. Dibanding pembuat acara di YouTube, Instagram, dan semacamnya, tayangan RCTI dan iNews serta televisi lainnya yang diunggah ke YouTube sudah melalui proses pengawasan KPI. Masyarakat sukar berharap akan ada tayangan-tayangan inovatif yang berbeda dari televisi karena bagaimanapun semuanya dikontrol oleh KPI.
KPI sendiri menyambut baik permohonan dari RCTI-iNews ini.
“Menurut saya, harus ada pemikiran bersama terhadap ini. KPI pemikirannya sederhana saja. Media baru harus diatur,” tegas Komisioner KPI Yuliandre Darwis kepada Tirto, Sabtu (29/8/2020).
Jika gugatan RCTI-iNews dikabulkan MK, siapa yang diuntungkan? Kita tidak bisa berspekulasi, tapi yang jelas gerak dan kreativitas content creator akan terbatasi.
==========
KONFRONTASI adalah ulasan serta komentar atas isu sosial-politik yang sedang menghangat di Indonesia. Sajian khusus ini ditayangkan setiap Senin dan diasuh oleh penulis politik Felix Nathaniel.
Editor: Ivan Aulia Ahsan