Menuju konten utama

Yang Tersisa Usai Kejatuhan Pebble

Perusahaan jam pintar Pebble dalam masa sulit beberapa tahun terakhir, dan membuat para penggemarnya kecewa. Akuisisi oleh Fitbit menunjukkan betapa gamang pasar gawai pakai saat ini.

Yang Tersisa Usai Kejatuhan Pebble
Jam tangan Pebble. FOTO/Istock

tirto.id - Pebble adalah ikon. Bisa dibilang merekalah salah satu perusahaan yang memopulerkan perangkat gawai pakai (wearable) ke seluruh dunia. Ia pulalah perangkat pertama yang mampu mengumpulkan dana sekitar $10 juta melalui Kickstarter.

Jam tangan pintar ini juga segelintir perangkat yang terintegrasi dengan baik di iOS maupun di Android, dua kutub sistem operasi ponsel pintar di dunia yang sangat berseberangan.

Namun, semua prospek manis itu telah berakhir awal Desember 2016. Fitbit mengakuisisi Pebble yang dalam keadaan krisis. Nilai akuisisi itu, menurut Bloomberg, kurang dari $40 juta, lebih sedikit dibandingkan jumlah utang dan obligasi Pebble lain.

Hanya aset-aset tertentu yang ikut diambil Fitbit. Sementara itu, hanya sedikit pula karyawan Pebble yang bisa hijrah ke Fitbit dalam proses akuisisi itu, yakni sekitar 40 persen dari total 100-an karyawan. Ini akhir buruk dari perusahaan dari Lembah Silikon tersebut yang pernah membuat raksasa macam Apple dan Samsung mengekor langkahnya.

"Pada saat kami memasuki akhir musim semi dan Juni tahun ini, saya berkata, 'OK, itu tidak terlihat baik,'" kata salah satu orang dalam Pebble, seperti dikutip Business Insider. "Saya berpikir kami tidak akan mampu bertahan hingga 2017."

Sebagai catatan, pada Maret 2016, Pebble telah merumahkan 25 persen dari karyawannya. TechCrunch melaporkan bahwa Intel pernah menawarkan diri untuk membeli Pebble dengan harga sekitar $70 juta. Pada 2015, perusahaan jam Citizen yang berpusat di Tokyo juga sempat mempertimbangkan mengakuisisi Pebble dengan nilai $740 juta. Keduanya batal.

Terlepas dari segala hal terkait akuisisi tersebut, jatuhnya Pebble seolah makin menegaskan bahwa masa depan pasar smartwatch memang tampak suram. Pada awal bulan ini pula Lenovo, induk perusahaan Motorola, mengatakan mereka tidak akan merilis versi anyar dari lini smartwatch Moto mereka dalam beberapa waktu ke depan. Pernyataan ini dikeluarkan setelah sebelumnya pernah mengatakan bahwa mereka tidak akan merilis produk smartwatch apapun di tahun 2016.

"Wearable tidak memiliki daya tarik yang cukup luas bagi kita untuk terus membangun [perangkat] itu dari tahun ke tahun," kata Shakil Barkat, Head of Global Product Development Moto, seperti dikutip dari The Verge.

Sementara itu, kepada CNET, raksasa elektronik Asia LG dan Huwei yang sebelumnya juga pernah terjun dalam ceruk pasar ini juga telah mengkonfirmasi jika mereka mengambil langkah yang sama dengan Motorola. Praktis hanya tersisa Apple dan Samsung yang masih menelurkan produk baru untuk pasar ini.

Langkah pabrikan-pabrikan raksasa tersebut jelas masuk akal. Perusahaan riset IDC pada Oktober lalu mengatakan bahwa pasar jam tangan pintar turun hingga 51,6 persen pada kuartal III-2016 ini jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu.

Namun demikian, masih menurut laporan dari IDC, meski pasar smartwatch jatuh, secara keseluruhan pasar wearable – mencakup pasar smartwatch dan perangkat pelacakan kebugaran digital seperti Fitbit – naik sebesar 3,1 persen pada kuartal III-2016 year-on-year. Hal ini karena perangkat wearable dasar, utamanya gelang pelacak kebugaran, mengalami pertumbuhan dua digit dan mendominasi pasar hingga sebesar 85 persen. Fitbit menjadi pemimpin pasar pada kuartal ini.

Data tersebut adalah satu hal. Di sisi lain, sebuah studi berjudul "2016 Personal Technologies Study" yang dilakukan oleh Gartner Inc., menunjukkan bahwa tingkat penelantaran perangkat wearable cukup tinggi dengan smartwatch sebesar 29 persen, sementara untuk pelacak kebugaran sebesar 30 persen. Hal ini jelas berpengaruh pada tingkat kemungkinan konsumen untuk kembali membeli perangkat ini.

"Dropout dari penggunaan perangkat adalah masalah serius bagi industri ini," kata Direktur Riset Gartner Rachel McIntyre, seperti dikutip dari Mashable.

Sebagai catatan, studi itu melakukan survei terhadap 9.592 responden daring di Australia, Amerika Serikat dan Inggris Raya pada Juni hingga Augustus tahun ini untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik terhadap sentimen konsumen pada perangkat wearable.

Sejumlah alasan utama mengapa konsumen menelantarkan perangkat mereka diantaranya mereka tidak mendapatkan perangkat tersebut berguna, bosan atau hanya karena perangkat itu rusak. Sementara mereka yang sama sekali memutuskan untuk tidak membeli perangkat wearable mengatakan bahwa biaya tinggi tanpa kompensasi manfaat yang sebanding sebagai alasan utama mereka untuk tidak membeli perangkat tersebut.

Dua puluh sembilan persen responden survei juga mengatakan bahwa perangkat pelacak kebugaran "tidak menarik" baik itu secara desain dan gaya. Ini juga menjadi alasan utama bagi mereka untuk tidak membelinya.

Infografik Nasib Pebble di tangan Fitbit

Ada beberapa warisan dari Pebble yang disukai banyak orang dan hingga saat ini masih menjadi pekerjaan rumah mendasar bagi perangkat wearable lainnya ke depan. Pertama adalah daya tahan baterai, sementara yang kedua adalah fungsionalitas.

Pebble memiliki daya tahan baterai yang jauh unggul, harian atau bahkan mingguan, jika dibandingkan Apple Watch misalnya. Sementara tombol-tombol fisik yang tersedia pada smartwatch Pebble memungkinkan konsumen untuk melakukan fungsi sebuah smartwatch berdasarkan memori otot, sebuah hal yang sulit dilakukan pada perangkat wearable lain yang mengandalkan layar sentuh.

Meski tampak suram, bukan berarti wearable tidak ada harapan. Peluang pasar masih terbuka lebar menurut studi Gartner. Pengguna smartwatch masih berada pada tahapan adopsi awal dengan 10 persen dari responden melaporkan kepemilikan perangkat itu, sementara tingkat kepemilikan untuk pelacak kebugaran sebesar 19 persen.

Meski penjualan masih rendah, namun tingkat penggunaan wearable terus naik. Di AS, penggunaan smartwatch naik 12 persen, dari 8 persen tahun lalu. Penggunaan pelacak kebugaran, di sisi lain, naik 23 persen dari 17 persen pada tahun 2015, demikian seperti dikutip dari Mashable.

McIntyre mengatakan, untuk semakin meningkatkan jumlah penggunanya, perusahaan pembuat wearable harus memikirkan bagaimana caranya perangkat ini mampu memiliki fungsionalitasnya sendiri tanpa harus bergantung pada smartphone, seperti yang selama ini terjadi.

Ia juga mengatakan bahwa mereka juga dapat mendongkrak penjualan. Menurutnya, perangkat wearable yang dikembangkan oleh nama besar di industri jam tangan memiliki potensi untuk sukses lebih dari yang diharapkan.

"Ada sejumlah pemain lain yang memiliki kesempatan yang baik," katanya. "Ada banyak ruang untuk bereksperimen dengan merek jam tangan tradisional pada pasar ini."

McIntyre boleh jadi benar jika merujuk pada data tersebut. Ke depan, akan sangat mungkin ratusan merek bermunculan selepas pahitnya keterpurukan Pebble sang inisiator, layaknya judul lagu dari band indie Banda Neira yang menyatakan bubar pada saat berita ini ditulis, "Yang Patah Tumbuh, Yang Hilang Berganti."

Baca juga artikel terkait TEKNOLOGI atau tulisan lainnya dari Ign. L. Adhi Bhaskara

tirto.id - Teknologi
Reporter: Ign. L. Adhi Bhaskara
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara