tirto.id - Sudah barang tentu ada orang yang sulit percaya dengan cerita yang baru saja mereka dengar dari Nabi Muhammad. Terutama karena sosok yang bercerita baru saja mengalami berbagai musibah dan periode kesedihan luar biasa. Periode yang biasa disebut dengan istilah amulhuzni, tahun duka cita.
Kesedihan yang terjadi berurutan dalam rentang waktu begitu dekat. Bagi beberapa sahabat, kesedihan yang terlalu hebat pasti memengaruhi psikologi Nabi Muhammad, dan bagi mereka hal itu membuat cerita dari Sang Nabi jadi semakin sulit dipercaya.
Kesedihan pertama adalah meninggalnya Irman, atau lebih dikenal dengan nama julukannya Abu Thalib yang berarti “ayah dari Thalib”. Dialah sosok berpengaruh di Mekah pada periode awal Nabi Muhammad melakukan dakwah. Alasan mengapa dalam periode awal penyebaran Islam itu Nabi Muhammad tidak mendapatkan gangguan yang berarti adalah karena keberadaan Abu Thalib yang merupakan pemimpin dari Bani Hasyim dan Bani Muthalib.
Abu Thalib memiliki sembilan saudara kandung, salah satunya adalah Abdullah bin Abdul Muthalib yang merupakan ayah kandung Nabi Muhammad. Mengasuh sejak Nabi Muhammad kecil karena yatim piatu, membuat kedekatan ponakan dengan pamannya ini begitu luar biasa. Pengasuhan ini baru “berakhir” saat Abu Thalib menikahkan Nabi Muhammad dengan perempuan kaya dan sangat populer di Mekah, Khadijah binti Khuwailid.
Pada 619 Masehi, beberapa saat sebelum peristiwa besar isra mi’raj, Abu Thalib meninggal dunia. Bukan karena kematian sang paman semata yang membuat Nabi Muhammad begitu sedih. Ia begitu sedih, terutama, karena menjelang detik-detik nyawanya pergi, sang paman tidak sempat menyebut kalimat syahadat.
Belum cukup dengan kesedihan itu, tiga hari kemudian (beberapa riwayat menyebut dua bulan), sosok yang dinikahkan oleh almarhum pamannya juga meninggal dunia, Khadijah, istri tercinta Sang Nabi. Dia bukan hanya seorang istri, namun juga penyokong pertama seluruh dakwah Muhammad. Dialah orang pertama yang mendengar cerita pertemuan antara manusia dengan Jibril di Gua Hira yang menandai masa kenabian.
Momentum Politis Isra Mi’raj
Dua tragedi inilah yang kemudian menjadi latar peristiwa isra mi’raj. Menyebabkan sempat muncul dugaan bahwa cerita Nabi Muhammad bertemu dengan buraq, berpindah dalam sekejap dari Mekah ke Yerusalem, sampai tawar-menawar jumlah rakaat salat di langit adalah karangan Nabi Muhammad.
Ada tiga reaksi dari berbagai orang yang mendengar kesaksian Nabi Muhammad atas peristiwa ini. Pertama, langsung membenarkan tanpa keraguan sedikit pun seperti Abu Bakar. Kedua, membenarkan namun ada sedikit keraguan dalam hatinya tapi tidak berani mengungkapkannya. Dan ketiga, tidak mempercayai sama sekali, seperti Abu Jahal, yang bahkan sampai terang-terangan menyebut ini adalah cerita gila.
Ketimbang sebagai peristiwa supranatural yang sampai sekarang masih menjadi perdebatan menarik dalam ukuran logika manusia, dua perjalanan Nabi Muhammad yang diabadikan dalam Surat Al-Isra ini seharusnya dipandang sebagai peristiwa yang memiliki konsekuensi politik sangat besar. Peristiwa itu juga menjadi kunci kemenangan Islam dalam merebut pengaruh di Mekah sampai menjadi agama modern yang menyebar begitu masif sejak itu.
Hal pertama yang harus diperhatikan, "isra" merujuk perjalanan dari Masjidil Haram di Mekah ke Masjidil Aqsha di Yerusalem; sedangkan "mi’raj" merujuk peristiwa perjalanan Nabi Muhammad ke langit untuk mendapatkan perintah salat lima waktu. Penyebutan bebarengan “isra mi’raj” menjelaskan bahwa peristiwa ini terjadi dalam satu waktu.
Secara politis, peristiwa isra adalah upaya rekonsiliasi sejarah asal-usul agama Islam. Sebab, “kunjungan” Nabi Muhammad ke Yerusalem bisa dipandang sebagai upaya “merapatnya” agama Islam pada bentuk monoteisme/ketauhidan yang juga diajarkan oleh agama Yahudi. Agama yang jauh lebih tua daripada agama kepercayaan milik suku Quraisy yang saat itu sangat mengancam keberlangsungan Islam. Dengan begitu, menegaskan watak monoteistik, Islam akan dipersonifikasikan sebagai agama yang punya riwayat panjang yang berakar dalam tradisi tua.
Hal ini juga memberi batasan bahwa ada perbedaan antara yang disembah kaum kafir Quraisy dengan apa yang disembah oleh umat Islam. Seperti diketahui, pada masa awal persebaran Islam di Mekah, Ka’bah dikelilingi oleh ratusan berhala yang mengakibatkan akar kepercayaan soal ketauhidan (keesaan Tuhan) yang dibentuk Nabi Ibrahim menjadi tak terlihat lagi.
Dua putra Nabi Ibrahim, Ismail dan Ishak, menjadi leluhur dua agama monoteistik ini terpisah secara geografis, kebudayaan, dan bahasa. Nabi Ismail yang menjadi nenek moyang para penghuni kota Mekah, kemudian memunculkan sosok Nabi Muhammad dengan agama berbahasa Arab. Sedangkan Nabi Ishak dalam perkembangannya kemudian melahirkan seluruh nabi-nabi Yahudi, termasuk Nabi Musa dan Nabi Isa (Yesus dalam agama Kristen), dengan agama berbahasa Ibrani.
Pada waktu itu, pusat keagamaan suku Quraisy adalah Kabah dengan berbagai berhala di sekelilingnya. Jika Islam menjadikan Kabah sebagai kiblat salat di periode setelah isra mi'raj, maka perbedaan antara kaum kafir dengan kaum muslim tidak akan terlihat begitu jauh.
Secara politik, hal ini memunculkan anggapan bahwa Islam hanyalah jenis kepercayaan yang tidak jauh berbeda dengan agama nenek moyang suku Quraisy. Itulah yang menjadi jawaban mengapa arah kiblat salat mulanya diperintahkan untuk tidak mengarah ke Kabah. Hal ini agar menjadi penegasan secara gamblang bahwa Islam lahir dengan perbedaan yang jelas dari agama suku Quraisy.
Peristiwa ini kemudian berkesinambungan dengan peristiwa hijrah yang menjadi tanda bahwa Nabi Muhammad tidak lagi terlalu memaksakan Kabah, juga Mekah, sebagai pusat syiar Islam pada era itu. Dan bagi kaum kafir Quraisy, ini adalah pukulan telak yang—secara psikologis—mencederai mereka.
Secara bertahap, hijrah ini kemudian jadi latar belakang peperangan antara kaum Muslim dengan kaum Quraisy. Dari Perang Badar, Perang Uhud, sampai Perang Khandak yang diwarnai oleh pengkhianatan beberapa umat Yahudi di Madinah.
Di situlah kemudian, pada bulan Rajab, 12 tahun setelah peristiwa hijrah, muncul perintah Tuhan (surat Al Baqarah 142-145) untuk memalingkan arah kiblat salat dari Masjidil Aqsha, yang punya arti “masjid terjauh”, di Yerusalem ke Masjidil Haram di Mekah. Ayat yang kemudian menjadi sumber rujukan mengenai sejarah arah kiblat salat yang sebelumnya ternyata pernah mengarah ke Yerusalem.
Seperti halnya alasan arah kiblat salat pertama kali ke arah Yerusalem, turunnya perintah ini juga punya konsekuensi politik. Bahwa Islam akhirnya “memisahkan” diri dari rumpun agama Yahudi, sekalipun memiliki jejak-jejaknya. Perpindahan ini menegaskan agama Islam berbeda dengan agama Yahudi, seperti halnya agama Islam berbeda dengan agama nenek moyang suku Quraisy.
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Zen RS