tirto.id - Timnas Indonesia era pelatih Simon McMenemy memenangi uji coba internasional kandang pertama di Gelora Bung Karno, Sabtu (15/6/2019) malam. Menghadapi Vanuatu, Hansamu Yama dan kawan-kawan mengakhiri 90 menit dengan skor telak 6-0. Empat gol Alberto Goncalves dan dua dari Evan Dimas menjadi pembeda.
Usai pertandingan, Simon senang dengan performa anak asuhnya. Bukan semata karena skor telak itu, tapi lantaran tim sudah bermain sesuai yang dia harapkan. Para pemain, menurut Simon, sudah membuktikan bahwa mereka bisa membangun serangan dari belakang.
"Sebagai pelatih, saya adalah seseorang yang percaya semua permainan itu harus dimulai dari belakang, apalagi Indonesia punya kapasitas pemain yang bisa melakukan itu," tuturnya pada konferensi pers.
Pujian Simon ada benarnya. Selama 90 menit, Indonesia lebih banyak membangun serangan dari belakang dan mengurung Vanuatu. Kendatipun demikian, pelatih Vanuatu, Paul Munster menilai Tim Garuda seharusnya menang dengan skor lebih besar.
"Tentu tidak ada yang ingin kalah dengan skor 0-6. Tapi menurut saya Indonesia seharusnya bisa menang lebih banyak. Sembilan atau mungkin 10 gol harusnya mereka bikin," ujar Paul.
Paul tidak sedang melempar sinisme karena timnya kalah. Di atas kertas, perkataannya juga realistis. Sepanjang pertandingan, timnya kerap membuat kesalahan, terutama dalam mengatur jarak antar pemain. Mengandalkan skema 4-4-2, Vanuatu yang sedari menit pertama ingin menonjolkan potensinya di kedua sisi sayap kerap kelimpungan setiap bola sudah tiba di tepi lapangan.
Fullback Vanuatu sering terlambat naik, jarak antarpemain terlalu renggang dan gelandang minim memberi dukungan. Akibatnya, tiap mereka ingin melakukan switch-play, yang ada bola justru lebih sering direbut pemain Indonesia.
Akan tetapi, setidaknya menurut Paul, kecerobohan-kecerobohan itu tidak dimaksimalkan dengan baik oleh tuan rumah.
Garuda Minim Improvisasi
Sejak menit pertama Indonesia mengandalkan skema 4-2-3-1. Evan Dimas dan Zulfiandi menjadi double-pivot, sementara trisula Andik Vermansyah, Irfan Bachdim, dan Riko Simanjuntak menopang striker tunggal Alberto Goncalves alias Beto.
Pola serangan selalu dimulai dari Evan Dimas menerima bola dari bek tengah, melakukan sedikit dribel atau one-two-pass dengan Zulfiandi maupun Tinus Pae (fullback kiri), kemudian memilih salah satu di antara dua opsi: umpan pendek ke sayap kiri (Andik) atau long-ball ke kanan (Riko).
Hasilnya memang tidak buruk. Sebagai winger kiri, Andik yang berulang kali unggul kecepatan dari fullback lawan kerap menimbulkan kepanikan. Bahkan hanya dalam kurun 10 menit pertama, penggawa Madura United itu tercatat sudah empat kali mengirim umpan silang, satu di antaranya berujung gol Beto. Andik juga mencatatkan empat assist sepanjang laga, capaian yang layak diacungi jempol. Di sisi lain, meski tidak tampil menonjol, Riko Simanjuntak yang menempati pos sayap kanan tak bisa disebut main buruk. Kendatipun tak banyak mendapat momen--karena serangan lebih banyak difokuskan dari sayap kiri--setidaknya Riko masih mampu menorehkan satu assist.
Sayangnya, sepanjang 70 menit pola serupa terus menerus dipakai tanpa banyak improvisasi. Satu-satunya improvisasi dari pola ini--barangkali--adalah pertukaran posisi Andik dan Riko, itu pun tidak kerap terjadi.
Padahal, jika mau sedikit melakukan eksperimen, pakem umpan pendek ke kiri atau long-ball ke kanan ini sedikit banyak bisa diubah. Selama pertengahan babak pertama sampai paruh waktu misal, keputusan pelatih Vanuatu memasukkan gelandang Jeffery Bob untuk menggantikan John Alick bikin sisi kiri pertahanan Vanuatu kerap kosong melompong. Kekosongan ini seharusnya bisa dimaksimalkan Indonesia dengan lebih banyak mengalirkan bola kepada Riko Simanjuntak yang juga punya kecepatan mumpuni. Namun, hal ini tidak banyak ditempuh Simon.
Pola build up Indonesia yang tidak banyak mengandalkan penetrasi dari sisi tengah juga membuat keberadaan Irfan Bachdim terasa sia-sia. Dibandingkan Riko ataupun Andik, Irfan minim mendapat kesempatan untuk membuktikan kualitasnya.
Simon baru mengganti skemanya saat laga melewati menit 70. Pergantian ini ditandai dengan memasukkan lebih banyak pemain sayap macam Novri Setiawan dan Febri Haryadi, kemudian menggeser Andik Vermansyah untuk bermain lebih ke tengah. Pola berubah jadi 4-4-2. Namun, karena intensitas pertandingan sudah menurun drastis dan banyak pemain kelelahan, pola ini tidak menghasilkan gol meski beberapa kali bisa menghadirkan peluang emas di dalam kotak penalti lawan.
Alasan mengapa Simon memilih 'bermain aman' dalam laga ini terungkap pada saat konferensi pers. Secara tidak langsung, Simon menuturkan kekhawatirannya karena duel kontra Vanuatu merupakan laga kompetitif kandang pertamanya sepanjang menjabat pelatih tim nasional.
"Sebelumnya saya sudah pernah melatih Filipina, menjalani 11 pertandingan kompetitif, tapi secara praktik bisa dibilang itu bukan laga home. Jadi kemenangan di laga ini sangat penting bagi saya," ujarnya.
Barangkali karena hasrat itulah Simon tak banyak melakukan bongkar pasang saat lawan Vanuatu. Bagaimanapun, secara materi pemain Indonesia sudah jauh lebih unggul dari lawan. Unggul secara taktik dengan melakukan perjudian dinilai Simon sebagai prioritas kedua.
"Jujur saja saat pertandingan tadi saya sangat nervous, saya tidak banyak lagi berpikir tentang lawan, lebih banyak memikirkan bagaimana saya melawan ketegangan dalam diri saya sendiri," imbuhnya.
Lemah dalam Bola Mati
Dominasi Indonesia kerap bikin bek lawan panik dan menyapu bola keliru. Hasilnya adalah sepak pojok. Sepanjang 10 menit pertama saja, Tim Garuda mendapat enam sepak pojok.
Sayangnya, dari situasi-situasi tersebut tak satu pun yang berakhir mengancam. Bola-bola mati Indonesia lebih banyak berujung kegagalan dan tersapu bek lawan. Padahal secara jumlah pemain di kotak penalti, Indonesia tidak kalah. Setiap mendapat sepak pojok, dua bek tengah sekaligus--Yanto Basna dan Hansamu--hampir pasti ikut naik ke lini depan.
Aspek tersebut jelas patut disayangkan. Saat menghadapi Vanuatu, tim yang secara materi pemain lebih kalah, kelemahan itu barangkali tak terasa daya pukulnya. Namun, ketika menghadapi tim yang secara materi pemain lebih tangguh, kemampuan memaksimalkan setiap situasi kecil, termasuk bola-bola mati jelas dibutuhkan melebihi apapun.
Jika ditarik ke belakang, sepekan lalu, dalam sebuah sesi latihan timnas Simon mengatakan sudah memberikan instruksi latihan khusus perihal set-piece kepada anak asuhnya.
"Kami menyatukan tim, lalu tadi bisa dilihat juga ada latihan set-piece sebelum berangkat ke Yordania," katanya saat itu.
Laga kontra Vanuatu akhirnya membuktikan bahwa meski melawan tim yang lebih lemah pun, pola latihan Simon menyoal set-piece masih belum cukup. Dan hal ini jelas harus ditingkatkan jika Indonesia ingin meningkatkan prestasinya di berbagai kompetisi.
Penulis: Herdanang Ahmad Fauzan
Editor: Gilang Ramadhan