Menuju konten utama

Viral Polusi Udara Sebabkan Gelombang Omicron dan Penjelasan BMKG

BMKG ingatkan masyarakat bahwa paparan konsentrasi PM2.5 yang tinggi atau kondisi udara yang tercemar bisa meningkatkan risiko terhadap pasien COVID-19.

Viral Polusi Udara Sebabkan Gelombang Omicron dan Penjelasan BMKG
Ilustrasi Polusi Udara. FOTO/Istockphoto

tirto.id - Beredar video Babeh Aldo yang menyebut bahwa gelombang pandemi akibat varian Omicron sebagai pandemi polusi udara. Dalam video tersebut, Aldo menyebut bahwa zat PM2,5 yang meracuni udara akan membuat banyak warga masyarakat di perkotaan mengalami sakit.

“PM2,5 sangat mungkin bisa menyebabkan infeksi saluran pernapasan akut, ISPA namanya. Ya bisa menyebabkan anosmia, badai sitokin, apa yang disebut COVID-19 itu bisa disebabkan oleh PM2,5,” kata dia.

Lantas apakah benar pernyataan tersebut?

Plt. Deputi Bidang Klimatologi, Urip Haryoko, menjelaskan bahwa PM2.5 merupakan aerosol dengan ukuran diameter partikel kurang dari 2,5 mikrometer dan tergolong sebagai salah satu pencemar udara. Peningkatan konsentrasi PM2.5 di udara menyebabkan terjadinya penurunan kualitas udara yang secara visual dapat berdampak pada penurunan jarak pandang dan peningkatan kekeruhan kondisi atmosfer.

“Paparan terhadap konsentrasi PM2.5 yang tinggi dapat menyebabkan gangguan pada cardiovascular dan saluran pernapasan, terutama jika terpapar dalam waktu yang lama,” ungkap Urip di Jakarta, dalam keterangan yang diterima redaksi Tirto.

Menurut Urip, nilai ambang batas konsentrasi PM2.5 menurut Peraturan BMKG Nomor 2 Tahun 2020 adalah sebesar 65 µg/m3.

Akibat dampak tersebut, muncul kesalahpahaman informasi (miskonsepsi) yang menyebut bahwa pencemaran udara menjadi penyebab penularan virus Sars-Cov-2 dan peningkatan pasien positif COVID-19.

“Sampai saat ini belum ada bukti ilmiah yang menunjukkan adanya keterkaitan antara sebaran konsentrasi PM2.5 dan penularan COVID-19,” kata Urip, mengutip penelitian Anand et al. (2021) berjudul A review of the presence of SARS-CoV-2 RNA in wastewater and airborne particulates and its use for virus spreading surveillance, dan penelitian dari Maleki et al. (2021)) berjudul An updated systematic review on the association between atmospheric particulate matter pollution and prevalence of SARS-CoV-2.

“Sehingga pernyataan yang menyebutkan bahwa PM2.5 sebagai penyebab COVID-19 tidak memiliki dasar ilmiah yang kuat,” ujarnya menambahkan.

Dari data konsestrasi harian PM2,5 dan jumlah kasus positif COVID-19 di Provinsi DKI Jakarta 1 Januari hingga 6 Februari 2022 memperlihatkan bahwa peningkatan kasus positif COVID-19 tidak memiliki kaitan terhadap konsentrasi PM2.5.

“Lonjakan konsentrasi PM2.5 yang terjadi misalnya di tanggal 5, 16, dan 30 Januari tidak seiring dengan penambahan kasus positif COVID-19 sehingga pernyataan yang menyebutkan bahwa paparan PM2.5 menyebabkan peningkatan kasus positif COVID-19 tidak sesuai,” kata Urip.

Meski begitu, BMKG mengingatkan masyarakat bahwa paparan konsentrasi PM2.5 yang tinggi atau kondisi udara yang tercemar bisa meningkatkan risiko terhadap pasien COVID-19 yang memiliki penyakit penyerta atau komorbiditas gangguan cardiovascular dan infeksi saluran pernapasan.

“Oleh karena itu, upaya untuk mitigasi terhadap dampak pencemaran udara dan pengurangan risiko paparan terhadap PM2.5 dan polutan udara lainnya perlu terus dilakukan guna meminimalkan tingkat mortalitas dari COVID-19,” tutup Urip.

Baca juga artikel terkait POLUSI UDARA atau tulisan lainnya dari Nur Hidayah Perwitasari

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Nur Hidayah Perwitasari
Editor: Iswara N Raditya