Menuju konten utama

Upaya Politisi Muda AS Memerangi Islamofobia & Anti-Semitisme

Dalam beberapa pekan terakhir politik Amerika Serikat diguncang kontroversi isu anti-semitisme yang dipicu pernyataan anggota kongres Ilhan Omar tentang "Lobi Israel".

Upaya Politisi Muda AS Memerangi Islamofobia & Anti-Semitisme
Orang-orang memegang spanduk selama 'Unity Vigil' melawan rasisme dan Islamofobia sebagai reaksi atas serangan hari Rabu, dilatarbelakangi oleh gerbang Downing Street di London, Jumat 24 Maret 2017. Foto AP / Matt Dunham

tirto.id - Gelombang perubahan tengah dirasakan oleh para aktor politik di Amerika Serikat. Pada awal Maret ini, House of Representatives Amerika Serikat meloloskan sebuah resolusi penting untuk mengutuk anti-semitisme, Islamofobia serta ekspresi kebencian lainnya.

Resolusi itu terbit pada Kamis (7/3) dengan perolehan suara yang cukup jauh, 407-23. Seperti dilaporkan CNN, 23 orang yang menolak semuanya berasal dari anggota Partai Republikan. Sementara itu, semua anggota senat dari partai Demokrat yang mengikuti pemungutan suara mendukung penuh resolusi tersebut.

Yang menarik, draf resolusi itu mulanya berfokus untuk mengutuk anti-semitisme alias kebencian terhadap orang atau ekspresi budaya Yahudi. Namun, seiring jalannya perdebatan di internal Demokrat, teks dalam draf direvisi dan memasukkan penolakan terhadap bias anti-Muslim atau Islamofobia.

Berawal dari Ilhan Omar

Resolusi ini muncul setelah kontroversi terkait pernyataan Ilhan Omar, anggota kongres dari Demokrat yang mewakili negara bagian Minnesota. Dalam beberapa kejadian, ia mengeluarkan komentar yang dianggap anti-semit oleh sebagian orang.

Posisi Omar unik. Ia pengungsi dari Somalia dengan karier politik yang melesat hingga menjadikannya wanita Muslim kulit hitam pertama di Kongres AS. Seperti dilaporkan Vox, nama Omar meroket karena mampu merepresentasikan suara-suara yang kerap tidak hadir dalam arus utama politik AS.

Salah satunya dibuktikan dengan kritik vokal Omar terhadap utusan khusus AS untuk Venezuela, Elliot Abrams, yang ditunjuk oleh Presiden AS Donald J. Trump. Dalam sebuah dengar pendapat di House of Representative, Omar mempertanyakan latar belakang rekam jejak buruk Abrams. Sang utusan pernah merahasiakan informasi krusial terkait skandal Iran-Contra (1986) dari Kongres.

Apa yang dilakukan Omar jarang terjadi dalam skena politik AS. Tak banyak pula politikus Kongres yang mempertanyakan kebijakan luar negeri AS terkait pelanggaran hak asasi manusia yang melibatkan Washington. Pertanyaan kedua Omar setelah setelah skandal Iran-Contra memang terkait pelanggaran HAM di El Salvador pada awal dekade 1980-an. Saat itu posisi yang dijabat Abrams adalah asisten menteri luar negeri untuk urusan HAM dan kemanusiaan.

Bulan lalu, Omar yang dikenal dengan sikapnya yang tegas membela posisi Palestina dalam konfliknya dengan Israel mengunggah twit soal hubungan antara pengaruh finansial lobi pro-Israel dengan sentimen positif Israel di mata publik AS. Dalam cuitan Omar, Israel digambarkan berhasil "menghipnotis" seluruh dunia dan dukungan AS untuk Israel adalah soal uang. Di mata sebagian orang, twit Omar rupanya dianggap sebagai sikap anti-semit.

Dalam sebuah diskusi panel bersama dengan Rashida Tlaib, anggota kongres yang juga seorang Muslim, Omar kembali mengeluarkan pernyataan yang lagi-lagi dituduh anti-semit.

“Saya ingin berbicara tentang pengaruh politik di negara ini yang mengatakan bahwa tidak apa-apa untuk mendorong ‘kesetiaan’ kepada negara asing,” kata Omar, seperti dilansir NPR. Pernyataan itu memicu reaksi keras dari para senior Partai Demokrat dan kelompok-kelompok Yahudi. Yang dimaksud Omar adalah kesetiaan orang Yahudi AS terhadap Israel.

Hubungan yang Rumit

Anti-semitisme selama ini kerap diasosiasikan dengan kubu Republikan yang memang konservatif dan gemar sesumbar tentang keterlibatan kekuatan asing—dalam hal ini adalah Israel dan kekuatan lobinya di Amerika Serikat.

Masih dari Vox, Kevin McCarthy, anggota House of Representative darin Partai Republikan, misalnya, pernah menuduh Tom Steyer dan dua orang milyuner keturunan Yahudi dari Demokrat, George Soros dan Michael Bloomberg, mencoba ‘membeli’ pemilihan tengah semester di AS. Namun, tak ada kontroversi yang muncul karena tuduhan semacam itu telah lazim dikeluarkan oleh pihak Republikan.

Kritik Israel dengan nada yang mirip dengan tudingan Republikan segera diterjemahkan sebagai serangan terhadap kelompok Yahudi—dus anti-semitisme. Pihak Republikan pun tidak menyia-nyiakan kesempatan, terlebih lagi melihat identitas minoritas Omar. Mereka menyerang Omar dan menuntut Demokrat untuk menghukumnya. Padahal, kritik Omar tertuju pada hal yang lebih spesifik: pendudukan Israel atas Palestina.

Masalahnya di Amerika Serikat, kritik terhadap kebijakan Israel seringkali ditanggapi dengan tudingan bahwa si pengkritik anti-semit.

Rabbi Jil Jacob, dalam sebuah opininya di Washington Post menuliskan pentingnya membedakan kritik terhadap kebijakan negara Israel dan sikap anti-semit. "Orang-orang yang memberikan perhatian khusus pada kebijakan Israel tidak selalu anti-semit: aktivis dan organisasi HAM hampir selalu memilih fokus," jelasnya.

Menurut Jacob, tidak ada masalah ketika orang menuduh Israel berusaha melakukan pembersihan etnis di Israel. Memboikot Israel juga tak selalu bisa dikategorikan sebagai tindakan anti-semit. Asalkan tujuannya jelas, yakni "menekan Israel untuk mengubah kebijakan."

Dalam tulisannya di majalah Yahudi progresif Forward, Peter Feld, direktur perusahaan konsultan digital The Insurrection, menyatakan bahwa kritik atas lobi Yahudi—dalam kasus Omar adalah AIPAC—yang membeli pengaruh di Washington bukanlah tindakan anti-semit.

Kendati demikian, Deborah Lipstadt, seorang profesor Universitas Emory dan pakar kajian anti-aemitisme terkemuka memiliki pendapat berbeda. “[Omar] mungkin berpikir dia sekadar mengkritik Israel dan kebijakannya,” sebut Deborah, seperti dikutip dari Jewish Insider. “Tapi kita tidak bisa mengabaikan fakta bahwa dia menggunakan kiasan khas anti-semit ketika mengkritik.”

Infografik Anti Semit dan Islamofobia AS

Infografik Babak Baru Anti-Semit & Islamofobia di AS

Beberapa aktivis Muslim di Minnesota pun memiliki pendapat senada dengan Lipstadt. Seperti dilaporkan CNN, aktivis Muslim Omar Jamal, misalnya, menyatakan kekecewaannya terhadap pernyataan Omar. Menurut Jamal, apa yang dilakukan oleh Omar tidak mencerminkan tindakan seorang tokoh politik.

"(Ketika Anda terpilih) kamu seharusnya menyatukan masyarakat, Anda mestinya menciptakan rasa persatuan bukannya semakin memisahkan mereka dan mengadu satu kelompok dengan kelompok lain," ucap Jamal.

Mohamed Ahmed adalah seorang aktivis Muslim yang meyakini warga Palestina harus dijamin hak dan kebebasannya. Namun bagi Ahmed, tindakan Omar hanya melukai perasaan komunitas Yahudi di AS.

Demokrat memang segera bereaksi. Masih dari Vox, mereka langsung menyusun draf awal yang tujuannya mengutuk anti-semitisme sekaligus berbagai macam bentuk ekspresi kebencian, termasuk serangan terhadap “Muslim-American Members of Congress”.

Al Jazeera melaporkan bahwa sebelum kontroversi itu terjadi Omar kerap menjadi obyek serangan kelompok sayap kanan. Ia tak hanya menjadi korban poster yang mengaitkan dirinya dengan serangan teroris 9/11 dalam sebuah pertemuan yang disponsori oleh Partai Republikan. Hampir setiap hari, Omar juga mendapat ancaman pembunuhan.

Setelah melalui desakan Omar dan pejabat partai termasuk Alexandria Ocasio-Cortez (AOC) yang namanya kini tengah naik daun, Demokrat merevisi resolusi tersebut. Hasilnya, fokus resolusi diperluas hingga mencakup segala ujaran kebencian.

Seperti dilansir Politico, Demokrat kini memang tengah terbagi antara politisi muda yang menginginkan perubahan besar di satu kubu dan mereka yang ‘tidak nyaman’ dengan perubahan di kubu lainnya. Namun, keluarnya resolusi ini mengindikasikan bahwa Omar dan tokoh muda seperti AOC semakin memiliki peran kunci dalam Partai Demokrat.

Baca juga artikel terkait ISLAMOFOBIA atau tulisan lainnya dari Ign. L. Adhi Bhaskara

tirto.id - Politik
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Windu Jusuf