tirto.id - “Permisi, mau beli Rinso.”
“Oh ya, Royco, Pepsodent, sama Sunlight sekalian.”
Sering mendengar kalimat seperti itu? Ada sebuah kultur unik yang mungkin hanya berlaku di Indonesia: orang-orang terbiasa menyebut sebuah produk dengan satu merek tertentu yang melekat di kepala, sekalipun produk yang dimaksud diproduksi oleh perusahaan yang berbeda. Misal, kita menyebut Pepsodent untuk menggantikan pasta gigi. Rinso untuk deterjen. Sunlight untuk cairan pencuci piring. Juga Royco untuk kaldu bubuk.
Di Indonesia, produk yang mendapat perlakuan istimewa ini cukup banyak. Selain produk yang sudah disebutkan di atas, ada pula Vaseline atau Citra bagi pelembut kulit, Clear untuk sampo, Walls untuk es krim, juga Molto untuk pewangi pakaian.
Meski mereknya berlainan, semua produk di atas punya satu kesamaan yang mendasar: yakni sama-sama produk keluaran perusahaan besar Unilever.
Perkawinan Margarin dan Sabun
Unilever, perusahaan multinasional yang memiliki lebih dari 400 merek dan kini bermarkas di Inggris, dimulai dengan memproduksi dua barang bersahaja: margarin dan sabun.
Pada mulanya adalah Antoon Jurgens, seorang warga negara Belanda, yang menjalankan usaha perniagaan mentega dan margarin di bawah bendera Antoon Jurgens United. Pada 1927, Jurgens United bergabung dengan tiga perusahaan lain: Van den Bergh’s, Centra, dan Schichts, untuk kemudian menjelma menjadi perusahaan besar bernama Margarine Unie. Kelak, perusahaan ini bergabung dengan Lever & Co, sebuah perusahaan keluarga dari Inggris Utara, yang awalnya bergerak di bisnis grosir.
Perusahaan yang didirikan oleh William Hesketh Lever dan James Darcy Lever itu menjadi besar karena membuat produk sabun yang terbuat dari kopra dan minyak kacang pinus—alih-alih dari lemak binatang sebagaimana lazimnya sabun kala itu.
Sabun bikinan Lever & Co juga jadi laris dan terkenal lantaran mereka mengemas produknya dengan apik dan memberinya merek. Sabun dengan merek Sunlight yang diluncurkan pada 1884 bahkan disebut-sebut sebagai sabun bermerk pertama di dunia.
Perusahaan gabungan Margarin Unie dan Lever & Co ini diberi nama Unilever, singkatan dari Unie dan Lever. The Economist menyebut merger ini sebagai, “salah satu penggabungan terbesar dalam sejarah industri Eropa.” Meski pakta penggabungan ini ditandatangani pada 2 September 1929, Unilever resmi dibentuk pada 1 Januari 1930.
Bertahan Melewati Tantangan Zaman
Unilever sukses sebagai perusahaan multinasional karena, ketimbang melakukan ekspor, mereka memilih untuk membangun pabrik di banyak negara dan berproduksi di sana. Konsep seperti ini bahkan sudah dilakukan oleh perusahaan awal mereka, Jurgens, Van den Bergh, dan Lever yang mendirikan pabrik produksi di luar negara mereka.
Kebijakan seperti itu juga tercermin ketika mereka mendirikan Lever Zeepfabrieken N.V pada 5 Desember 1933, tepat hari ini 87 tahun lalu di Batavia. Dalam surat No. 14 yang disetujui Jenderal Geoual van Nederlandsch-Indie, perusahaan ini bermarkas di kawasan Angke, kini masuk wilayah Jakarta Utara. Ppada 22 Juli 1980, perusahaan ini berganti nama menjadi PT Unilever Indonesia, kemudian berubah menjadi PT Unilever Indonesia Tbk per 30 Juni 1997.
Unilever terus berkembang berkat produk-produk yang merajai pasar, mulai dari produk makanan (Bango, Royco, Knorr, Walls, Buavita, Sari Wangi) hingga produk kebersihan, serta produk-produk rumah tangga (Clear, Sunsilk, Lifebouy, Molto, Wipol, Axe, Super Pell, serta tentu saja Dove dan Axe). Beragamnya produk Unilever ini membuat Geoffrey Jones, penulis Renewing Unilever: Transformation and Tradition (2005), berseloroh betapa sulitnya membayangkan dunia tanpa produk Unilever.
Di Indonesia, Unilever punya 44 produk, mempekerjakan lebih dari 5.000 karyawan, mendirikan 9 pabrik, dan pada 2019 berhasil memenangi 48 penghargaan bergengsi. Kini, jelang ulang tahun ke 87, Unilever Indonesia terus memperkuat komitmennya untuk menjadikan kehidupan berkelanjutan sebagai hal yang lumrah atau Make sustainable living commonplace sesuai dengan tujuan utama atau purpose-nya.
Membuat hal baik sebagai sesuatu yang lumrah dan wajar adalah semangat yang dicetuskan William Hesketh Lever ketika ia pertama kali membuat sabun Sunlight lebih dari 135 tahun lalu. Dalam bayangan William, kebersihan harus menjadi hal penting, meski saat itu kebersihan bukan sesuatu yang umum atau lazim ditemui di mana-mana.
Bagi Unilever, kehidupan yang berkelanjutan adalah kehidupan yang ramah sosial dan ramah lingkungan. Perusahaan ini percaya bahwa keberadaannya harus selalu membawa nilai lebih bagi masyarakat, baik dalam hal kesehatan, kebersihan, lingkungan dan kesejahteraan. Seiring waktu, komitment Unilever semakin kuat untuk terus menjadi perusahaan yang berlandaskan pada tujuan mulia (purpose-led) serta terus relevan dan siap menghadapi masa depan (future-fit). Unilever percaya bahwa perusahaan dengan tujuan mulia akan bertahan, brand dengan tujuan mulia akan bertumbuh, dan individu dengan tujuan mulia akan berkembang.
Unilever juga yakin bahwa menjalankan bisnis dengan bertanggung jawab adalah cara berbisnis yang paling baik, dan kepercayaan ini diwujudkan dengan saksama. Misal, Lifebuoy yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Unilever, secara berkelanjutan mengkampanyekan peningkatan perilaku hidup sehat dan bersih lewat program Cuci Tangan Pakai Sabun. Kampanye ini telah menjangkau 1 miliar orang di dunia. Di Indonesia, Lifebuoy menargetkan bisa menjangkau lebih dari 100 juta tangan sehat pada 2020. Hingga 2019, Lifebuoy sudah memfasilitasi edukasi cuci tangan pakai sabun ini di lebih dari 8.200 sekolah dasar dan pesantren yang tersebar di 64 kota dan kabupaten di 11 provinsi, dan menjangkau 99 juta tangan sehat.
Demi lingkungan, Unilever Indonesia berkomitmen mengurangi separuh dampak lingkungan dari pembuatan dan penggunaan produknya pada 2030 dengan cara Reduce, Reuse, dan Recycle. Sejak 2018, Unilever sudah menerapkan 100 persen zero waste di kantor pusat; menurunkan intensitas energi sebanyak 42 persen dibanding 2008; mengurangi intensitas pemakaian air sebanyak 26,6 persen, dan menurunkan emisi karbon dioksida sebesar 34,15 persen.
Selain itu, Unilever Indonesia juga membina hampir 4.000 Bank Sampah di seluruh Indonesia yang berkontribusi menurunkan sampah anorganik sebanyak 12.487 ton.
Purpose diyakini Unilever Indonesia sebagai hal mendasar yang paling penting. Purpose yang kuat juga membawa Unilever Indonesia tetap berkembang pada tahun 2020 meski harus berhadapan dengan pandemi yang berkepanjangan, market yang terkontraksi, dan tantangan yang semakin berat. Pencapaian ini didorong oleh tiga fokus utama perusahaan sepanjang tahun 2020, yaitu: memastikan kesehatan, keselamatan, dan kesejahteraan karyawan; memastikan keberlangsungan bisnis dan pemenuhan kebutuhan produk untuk konsumen; serta membantu masyarakat luas dalam berbagai upaya mengatasi pandemi COVID-19.
Pada masa pandemi ini, dukungan yang berarti terus diberikan bagi masyarakat. Selama pandemi, Unilever Indonesia juga telah memastikan ribuan karyawannya tetap bisa bekerja; membantu 147.000 pedagang warung agar tetap sehat, selamat dan tetap berjualan; serta mendonasikan 8,5 juta produk kebersihan dan kesehatan kepada masyarakat serta puluhan ribu PCR tes kit, masker N95, ventilator, makanan bagi rumah sakit beserta tenaga kesehatan, dan lainnya.
Hingga bulan Agustus 2020 tercatat bantuan senilai total lebih dari Rp200 miliar telah disalurkan melalui 34 bentuk kemitraan, baik itu dengan pemerintah, institusi, LSM maupun komunitas.
Unilever Indonesia telah beroperasi selama 87 tahun dan akan senantiasa bersama masyarakat, bukan hanya dalam merayakan kesuksesan, namun yang utama dalam bergotong royong mengatasi rintangan demi rintangan menuju Indonesia Sehat, Hijau, dan Sejahtera.
(JEDA)
Penulis: Tim Media Servis