tirto.id - Layanan transportasi berbasis aplikasi mobile Uber di Cina mengalami kerugian sekitar USD 1 miliar per tahun, disebabkan oleh ketatnya persaingan dengan layanan serupa milik otoritas resmi pemerintah Cina, Didi Kuadi.
Didi Kuadi mulai beroperasi pada 2015 dengan 500 armada dengan 15.000 pengemudi, dan dengan penguasaan pasar sekitar 80 persen, berhasil meraih pembukuan senilai USD 3 miliar pada awal operasionalnya. Saat ini, nominalnya meningkat sekitar USD 16,5 miliar.
Layanan "Uber" sendiri mulai beroperasi di Cina, khususnya di kota-kota besar seperti Beijing, Shanghai dan Guangzhou, pada tahun 2014.
Selain merugi, seperti di banyak negara lainnya, termasuk Indonesia, Uber juga mengalami penolakan yang kuat dari para pengemudi taksi.
“Tentu ini sangat merugikan kami. Jumlah pengguna taksi saya relatif menurun, sejak kehadiran Uber," kata Yong Li, seorang sopir taksi konvensional di Beijing, Senin, (21/3/2016).
Ia menambahkan bahwa di sisi lain mereka juga tidak bisa menolak kehadiran Uber, oleh karena itu mereka berusaha untuk meningkatkan kualitas layanan mereka.
“Mau tidak mau kami memang harus meningkatkan layanan kepada pengguna jasa kami. Karena aturan yang ketat dari perusahaan, kami juga tidak bisa menurunkan tarif.”
Namun demikian, Ia mendesak pemerintah untuk hendaknya dapat bersikap tegas terhadap keberadaan Uber. "Jika perlu, pemerintah menutup operasional mereka," kata Yong Li.
Di sisi lain, layanan Uber diakui warga Beijing memberikan kemudahan dan kenyamanan dibandingkan taksi konvensional. Abishek, seorang warga asing di Beijing, mengatakan bahwa dirinya merasa sangat terbantu dengan kehadiran Uber.
"Saya mendapatkan kepastian layanan, dan harga yang murah. Kita dapat memantau keberadaan Uber yang terdekat dengan lokasi kita berada, dan pula dapat memantau rute yang digunakan, semuanya melalui telepon selular," ungkapnya.
Namun tidak semua pengguna ambil pusing dengan ada tidaknya layanan Uber di Beijing. Yaqi seorang warga Beijing, misalnya, mengatakan ia tidak terlalu mempermasalahkan keberadaan Uber di kotanya.
"Saya bukan pengguna Uber yang rutin. Saya hanya menggunakan jika terburu-buru. Jadi, bagi saya, Uber ada atau tidak, bukan masalah," ujarnya.
Cina adalah salah satu pasar potensial dunia bagi bisnis transportasi dan sekitar 150 ribu penduduk menggunakan aplikasi layanan transportasi berbasis mobile. Kini, tercatat sekitar 66.600 perusahaan taksi yang terdaftar secara resmi. (ANT)