tirto.id - Apa yang membuat Game of Thrones menjadi serial televisi terpopuler sejagat raya? Jawaban dari para penggemar sinetron ini bisa bermacam-macam. Ceritanya seru. Gambarnya sedap. Banyak bokepnya. Perkembangan karakter-karakternya menarik. Konfliknya keren, nggak hitam-putih. Dan sederet puja-puji lain yang mustahil ditempelkan kepada sinetron sejenis dalam negeri seperti RadenKian Santang dan kawan-kawannya.
"Nonton Game of Thrones itu kayak berkali-kali disakiti, tapi nagih. Lu malah pengen nonton terus," kata Fifa Chazali, penggemar asal Bekasi yang berdomisili di Bandung.
"Betul," kata Dea Anugrah, penonton asal Bangka yang sekarang menetap di Margonda, sembari mengacungkan dua jempolnya. "Serupa pijat refleksi yang tidak membuat kita merenung sama sekali."
"Ada yang bilang Game of Thrones ini serial feminis," sambar Arman Dhani, penggemar GOT paruh-waktu dan pemuja Catatan Pinggir Senin-Kamis dan mualaf feminis asal Bondowoso yang saat ini tinggal di apartemen mewah di bilangan Kalibata. "Feminis, matamu! Banyak adegan yang melecehkan perempuan begitu. Hanya karena tokoh-tokoh perempuannya bangkit dan berkuasa bukan berarti serialnya mempromosikan feminisme."
"Tapi aku suka," teriak Ulfa, penggemar asal Medan yang menonton semua episode season 6 di sebuah pondokan Kemang Timur. "Aku suka Game of Thrones karena nggak kayak serial atau film lain yang tokoh utamanya terpusat di satu atau dua orang, GoT punya banyak tokoh utama."
"Apaan. Sampah," ujar Sabda Armadio, jelas, jelas bukan penggemar.
"You know nothing, Armandio," kata Nuran Wibisono, penggemar GOT garis keras asal Jember.
Jika ada 1001 alasan untuk menyukai Game of Thrones, akan selalu ada 1001 alasan lain untuk tidak menyukainya. Tapi fakta bahwa jumlah penontonnya meningkat dari tahun ke tahun itu tak terbantahkan. Game of Thrones terus mencatatkan rekor serial televisi dengan jumlah penonton spektakuler.
Ia memiliki basis penggemar internasional yang sangat luas dan aktif. Bahkan para pemimpin politik dunia berada di barisan fans: antara lain Presiden AS Barack Obama, Perdana Menteri Inggris David Cameron, mantan Perdana Menteri Australia Julia Gillard, Menteri Luar Negeri Belanda Frans Timmermans, yang dalam beberapa kesempatan acara kenegaraan mereka menggunakan ungkapan-ungkapan yang khas serial ini. Obama misalnya, pernah bilang "Winter is Coming" dan menyebut "Red Wedding" dalam pidatonya.
Pada tahun 2012, Majalah Vulture mencatatkan Game of Thrones di peringkat teratas budaya populer yang memiliki penggemar paling setia, mengungguli Lady Gaga, Justin Bieber, Harry Potter dan Star Wars.
Pada tahun 2013, BBC News menulis, "semangat dan loyalitas ekstrim para penggemar GOT" melahirkan fenomena baru yang belum pernah ditunjukkan oleh serial TV populer lainnya. Mereka begitu menggilai Game of Thrones sampai-sampai nyaris setiap hari membicarakannya di internet, di media sosial atau blog, dalam tulisan atau video; memakai atribut-atribut yang berhubungan dengannya; bahkan menamai anak dengan nama karakter di Game of Thrones—pada tahun 2012, nama "Arya" adalah nama gadis yang paling cepat menanjak popularitasnya di AS.
Selain menangguk jutaan fans, serial televisi besutan David Benioff dan D. B. Weiss juga mendapat pujian dari para kritikus ternama, terutama karena kualitas aktingnya, karakter-karakter yang kompleks, dan ruang lingkup kisahnya. Serial ini telah memenangkan 26 Primetime Emmy Awards, termasuk gelar Outstanding Drama Series pada tahun 2015. Aktor Peter Dinklage memenangkan dua Emmy Awards untuk Outstanding Supporting Actor dan satu gelar Aktor Pendukung Terbaik di Golden Globe, atas perannya sebagai Tyrion Lannister.
Pada Emmy Awards 2016, Game of Thrones kembali memenangkan penghargaan untuk drama seri terbaik lagi. David Benioff and D.B. Weiss mendapat penghargaan untuk penulis drama terbaik, Miguel Sapochnik sebagai sutradara drama seri terbaik.
Meski di sisi lain, ia juta menerima kritik pedas karena sering menampilkan ketelanjangan, adegan kekerasan, dan pelecehan seksual.
David Benioff dan D. B. Weiss mengadaptasi serial ini dari novel fantasi A Song of Ice and Fire karya George R. R. Martin. Difilmkan di Titanic Studios di Belfast, dengan gambar yang diambil di berbagai lokasi di Irlandia Utara, Kroasia, Islandia, Malta, Maroko, Spanyol, Skotlandia, dan Amerika Serikat. Tayang perdana di HBO pada 17 April 2011, dan season keenamnya ditutup pada 26 Juni 2016 silam. Season ketujuhnya dijadwalkan akan mengudara lagi pada pertengahan tahun depan.
Ceritanya bertempat di dua benua fiktif, Westeros dan Essos, dengan jalinan plot yang cukup rumit dan melibatkan banyak karakter—yang banyak mati di tengah jalan. Narasi utamanya digerakkan oleh konflik dinasti antara para perebut Iron Throne, tahta tertinggi Seven Kingdom. Sederhana sekali. Sesederhana narasi seorang tukang bubur yang berusaha sekuat tenaga agar bisa naik haji.
Yang membuatnya tidak sederhana, klan-klan yang saling berebut itu punya dinamika yang kompleks, tidak sekadar baik-buruk dan benar-salah, setiap karakternya bergerak ke sana ke mari dengan perkembangan yang mengagumkan, dan karenanya menjadi rumit. Serumit “Tukang Bubur Naik Haji” yang terus tayang tanpa keterlibatan tukang buburnya lagi.
Lebih rumit lagi, Jon Snow, salah satu tokoh utama Game of Throne, setelah 60 episode masih saja know nothing, masih belum mengerti apa-apa. Sehingga kita masih harus menunggu kapan si Jon ini bisa memahami dengan benar segala sesuatu yang dialaminya.
Semoga kita tidak perlu menunggu sampai 2000-an episode seperti Tukang Bubur Naik Haji agar bisa melihat Jon Snow tahu sesuatu. Segera akhiri sinetron yang menyiksa ini, David Benioff dan D. B. Weiss!
Penulis: Arlian Buana
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti