tirto.id - Sebut saja namanya Anton. Lelaki berumur 25 tahun ini sudah mengklaim dirinya seorang atheis. Padahal di kolom KTP-nya mencantumkan agama Islam.
Biar bapaknya yang orang Yogyakarta dan ibunya dari Bandung cukup religius dengan selalu mengajaknya salat dan mengaji, Anton tetap dakar pada pilihannya.
Nyalinya masih kelas tempe. Dia tak berbicara blak-blakan tentang keputusan ini ke orang tuanya. Di luar rumah, Anton jadi atheis tapi di dalam rumah dia berpura-pura jadi seorang yang religius.
Akhir pekan kemarin, dia merasa suntuk dan memutuskan pergi ke bioskop menonton film yang sedang ramai dibicarakan orang: The Conjuring 2. Film yang direka James Wan ini menarik minatnya. Usai menonton dia pun bercerita.
“Horornya kerasa banget. Mantap! Sialnya gue nonton sendiri, baliknya jadi ngerasa horor gitu. Haha," kata dia sambil cekikan.
“Baru kali ini gue ngalamin nonton film horor sampai antre gini. Wajar sih filmnya emang bagus. Gue gak pernah nonton senikmat ini.” katanya lagi.
The Conjuring dan Fenomena Horor-Supernatural
Pada beberapa bioskop di kota-kota besar Indonesia, antrean pembelian tiket film The Conjuring 2 mengular panjang. Tak peduli dengan jam tayang, tiket selalu laku terjual. Di beberapa kota seperti Jakarta, Bandung dan Surabaya, CGVBlitz dan Cinema21 bahkan mesti menambah layar.
Dalam cakupan internasional, film yang dilatarbelakangi pengalaman pasangan cenayang Ed dan Lorraine Warren ini merajai box office di mana-mana. Di Amerika Latin yang notabene pengaruh katoliknya kuat, Conjuring 2 tak bisa tertahan. Hal sama terjadi di Australia dan beberapa negara Asia.
Sedangkan di Amerika Serikat, The Conjuring 2 berhasil meraup pendapatan hingga $40,4 juta pada pekan pertama. Capaian ini tak beda jauh dengan sekuel pertama The Conjuring yang memeroleh $41,8 juta saat dirilis 2013 lalu.
Sampai dengan 15 Juni, data Box Office Mojo memaparkan pendapatan The Conjuring 2 mencapai $104 juta. Pundi-pundi yang didapat New Line Cinema dipastikan akan bertambah mengingat film bergenre horor ini baru dirilis sepekan. Di beberapa negara Eropa, Cina dan Jepang, The Conjuring 2 pun belum berputar. Wajar jika banyak pihak memprediksi sekuel kedua ini akan sukses mengikuti pendahulunya.
Subgenre horor-supranatural memang sedang naik daun dalam 20 tahun terakhir. Subgenre ini jadi andalan Hollywood menakuti orang, ketimbang sub-genre lain seperti horor-slasher atau horor-torture.
Ada sebuah perubahan tren dalam perkembangan film Hollywood di sana. Pada dekade 70an hingga akhir 90an, di industri Hollywood cenderung populer subgenre horor-slasher. Film bergenre jagal yang mengeksplorasi sadisme ini kerap merajai tangga box office. Contoh film jagal yang mahsyur di masanya adalah The Texas Chainsaw Massacre, Black Christmas, Halloween,Friday the 13th, Scream, A Nightmare on Elm Street dan Freddy vs Jason.
Meski secara kualitatif jumlah film supranatural kalah dibanding film jagal, bukan berarti film yang mengedepankan okultisme ini tak laku dipasaran. Poltergeist (1982), The Amityville Horror (1979) dan The Exorcist (1973) jadi fenomena pada masa-masa itu. Film terakhir yang disebut bahkan mendapat keuntungan $232 juta – keuntungan yang tak pernah didapat film-film jagal. Tapi tetap saja pasar lebih menghendaki genre film jagal.
Namun penonton lama kelamaan bosan dengan keklisean plot genre film jagal. Di saat itulah subgenre horor-supranatural hadir mengisi. Bermula pada 1999, ketika tiga film yakni The Blair With Project, The Haunting dan The Sixth Sense mendapat predikat blockbuster - pendapatan di atas $100 juta dolar.
The Sixth Sense malah meraup pendapatan besar senilai $672 juta - rekor keuntungan film horor terbesar yang belum pecah sampai sekarang. Tak hanya itu, film yang disutradarai M. Night Shyamalan ini masuk nominasi pada enam kategori penghargaan Oscar.
Sejak 1999 itulah film supranatural lalu mulai sering diputar. Dalam kurun waktu 15 tahun terakhir, rerata film supranatural yang diputar oleh studio-studio besar Hollywood berkisar 6-7 film per tahun. Lebih besar ketimbang dekade 70-80an yang hanya 2-3 film per tahun. Apa yang terjadi di Hollywood bisa dijadikan sebagai gambaran besar dalam industri film horor di seluruh dunia.
Atheis dan Film Horor
Sebagai bangsa yang dikenal religius dan identik percaya dengan hal-hal klenik, orang Indonesia akan sedikit terheran dengan kondisi yang terjadi di atas.
Bagaimana mungkin dunia barat yang dikenal sekular, menuhankan akal dan toleran terhadap atheisme masih memberi ruang adanya kepercayaan terhadap roh-roh gentayangan?
Jika merujuk dari hasil survei yang dilakukan Gallup, tren orang yang tidak beragama meningkat pesat dalam waktu 40 tahun terakhir di Amerika Serikat. Pada survei 1970, persentasenya hanya 3 persen, 2015 naik berkali-kali lipat menjadi 17 persen. Data PEW Research Center bahkan menyebut 24 persen.
Tren yang sama juga terjadi di Eropa. Survei Eurobarometer 2010 memaparkan persentase itu mencapai 22 persen dari keseluruhan populasi Eropa. Padahal 30 tahun sebelumnya angka itu hanya 10 persen.
Pada beberapa negara seperti Estonia, Perancis, Belanda, Swedia, dan Norwegia populasi orang yang tak bergama lebih dari 40 persen. Di Inggris dan Jerman berkisar 30 persen. Di Ceko, kaum religius malah kalah secara populasi. Jumlah kaum tak beragama mencapai 61 persen.
Terlalu subjektif memang jika menyebut orang yang tidak berafiliasi dengan agama itu sebagai seseorang atheis, sebab agnostik pun masuk dalam kategori ini. Agnostik dan atheis adalah dua hal yang berbeda. Namun, mereka sepakat dalam satu hal, yakni menafikan kepercayaan yang berbau gaib dan klenik.
Ada sebuah pertanyaan menarik terkait populernya tren horor-supranatural dan populasi atheis serta agnostik. Tentunya ini adalah sebuah paradoks. Mestinya genre horor yang populer pada era ini adalah horor-slasher atau horor-torture yang lebih riil.
Dalam kaitannya dengan dengan The Conjuring 2, film ini tidak hanya mendapatkan tempat di Amerika saja tetapi juga pada negara-negara Eropa yang tingkat agnostik dan atheis cukup tinggi. Conjuring 2 bahkan masuk jajaran film terlaris pada pekan ketiga bulan Juni.
Di Belanda, Conjuring 2 mendapat $431 ribu, Norwegia $488 ribu, Ceko $171 ribu dan Sweden $231 ribu. Sedang di Inggris, Perancis dan Jerman data belum didapat karena film ini baru beredar Sabtu kemarin (17/06/16).
Memahami Cara Atheis Menikmati Conjuring 2
Dari data di atas, kita tidak tahu berapa persen orang atheis atau agnostik yang menonton Conjuring 2. Namun, populernya film ini di negara-negara berpenduduk mayoritas atheis membuat kita bisa mengambil pertanyaan retoris, bagaimana mungkin orang atheis dan agnostik bisa menikmati film Conjuring 2 jika dalam benak mereka tak percaya dengan sesuatu hal yang bersifat ghaib.
Sebuah diskusi menarik di Quora.com membahas peristiwa ini. Diskusi dimulai saat seseorang bertanya bagaimana mungkin seorang atheis yang tak percaya tuhan dan hantu bisa menggidik ketakutan saat menonton film horor?
Percaya atau tidak percaya terhadap Tuhan dan hantu tidak ada hubungannya dengan kenikmatan yang didapat saat menonton film horor. Kita tak perlu yakin bahwa dunia sihir dan perang galaksi itu benar-benar ada agar bisa menyenangi Harry Potter dan Stars Wars.
Secara ilmiah istilah ini dikenal sebagai Suspension of Disbelief. Dengan sukarela kita menerima begitu saja dunia fiksi yang disajikan. Tidak mempertanyakan lebih jauh hal-hal yang sebenarnya bisa dipertanyakan.
Selama 90 menit, Si Atheis akan menghapus dari kenyataan, masuk secara emosional ke dalam cerita dan yakin hantu-hantu yang muncul itu benar-benar ada. Pertanyaan selanjutnya muncul, lantas kenapa mereka juga mesti merasa ketakutan saat menonton film horor?
Rasa takut adalah sesuatu hal yang alamiah. Di bagian bawah otak besar terdapat organ yang disebut amygdala. Bagian inilah yang bertanggung jawab memunculkan rasa takut. Setelah mendapat respons dari luar, Amygdala akan melepaskan senyawa neurotransmitter, disebut glutamat
Senyawa ini adalah senyawa kimia di balik rasa takut. Tak peduli theis atau atheis, amygdala ini akan bekerja saat ancaman ketakutan dari luar datang. Novelis kisah horor kenamaan di Amerika Serikat, Stephen King mengutarakan jenis ketakutan yang biasa dieksplotasi dalam kisah horror itu ada ada tiga.
Pertama adalah The Gross-out, suatu momen ketika anda melihat kepala yang jatuh menuruni tangga atau tubuh manusia yang tercabik-cabik. Namun, semakin kita sering melihat hal-hal ini maka ketakutan itu yang datang akan semakin rendah. Contohnya dokter bedah, ahli otopsi atau polisi yang sering menangani kasus pembunuhan.
Ketakutan kedua adalah horror yakni ketika anda melihat sesuatu hal yang tidak wajar, laba-laba seukuran beruang atau orang mati yang bangkit kembali. Sudah jadi fitrah manusia untuk takut terhadap sesuatu yang mengancam kehidupan mereka.
Terakhir adalah teror, yakni ketika kita merasakan sesuatu di belakang kita, dan mendengar suaranya,merasakan napasnya di telinga, tetapi ketika kita berbalik, dia tidak ada ada. Teror terjadi ketika imajinasi mengambil alih keputusan di otak. Poin terakhir ini yang biasa dipakai film-film bertemakan supranatural.
Kunci dari film seram adalah cerita yang memanfaatkan ketegangan dan kejutan dalam setiap adegan dengan kombinasi audio visual yang menyeramkan. Namun, cerita itu tidak akan bekerja jika penonton tidak memiliki imajinasi. Tak ada imajinasi maka tak akan ada Suspension of Disbelief.
Imajinasi ini bisa dipengaruhi oleh banyak hal, baik itu lingkungan maupun pengalaman-pengalaman di masa lampau. Robert Frost, seorang Insiyur di NASA yang mengklaim sebagai Atheis berbagi cerita. Menurut dia, rasa takut yang dirasakannya disebabkan imajinasi saat dia menonton film horor di masa kecil. Wajar, anak-anak memang tidak punya pemikiran untuk bisa memisahkan antara fakta atau fiksi.
Di lain sisi, pengaruh verbal keluarga dan teman-temannya terkait kisah horor menambah imajinasi terhadap hantu itu sendiri. Menurutnya, wajar jika orang-orang yang telah tumbuh dalam tradisi Kristen akan merasa ketakutan jika disuguhi film-film horor yang memakai embel-embel dari tradisi keagamaan. Itu sebab, The Exorcist, The Poltergeist, dan The Conjuring laku di dunia barat.
Bagi beberapa orang Asia atau Indonesia pada khususnya, kengerian The Conjuring 2 mungkin dianggap biasa saja. Mengingat imajinasi terhadap pocong, kuntilanak, genderuwo dan sebangsanya sudah terpatri begitu dalam, mengalahkan sosok Valak, Bill Wilkins dan hantu-hantu rekaan James Wan.
Meski begitu, imajinasi akan ketakutan itu tentunya bisa diciptakan. Sadar atau tidak upaya New Line Cinema yang menambah embel-embel “Based on true story”, memperdengarkan rekaman Bill Wilkins, memunculkan testimoni Janet Hodgson dan kliping koran Daily Mirror pada trailer adalah bagian dari propaganda guna membentuk imajinasi itu.
Namun, di Indonesia persepsi terhadap kengerian The Conjuring 2 diluluhlantakan seketika oleh meme-meme Valak yang dibuat kocak. Kelucuan ini juga menimpa Anton, tokoh kita di awal tulisan.
Dengan lagak keren dia bisa mengatakan “Tuhan telah mati” atau “Agama adalah candu”. Namun, jadi sesuatu hal yang jenaka ketika dia mengaku sehabis menonton jadi risau tidur dalam kondisi gelap karena takut setan menyergap.
Yang dikhawatirkan Anton sebenarnya bukan Valak, tetapi kuntilanak yang bermukim di pohon mangga rimbun di samping rumahnya. Kengerian terhadap Valak telah mengaktifkan imajinasi Anton terkait cerita-cerita kuntilanak di rumahnya yang pernah dia dapat.
Robert Frost mengungkap seorang atheis akan tetap sama-sama mendapatkan sensasi dari film horor-supranatural. Namun, rasa takut itu tidak akan berlangsung berkepanjangan, dan akan hilang saat lampu bioskop dinyalakan kembali. Sensasi ketakutan akan datang bagi orang-orang yang benar-benar percaya pada kehadiran hantu dan setan. Lantas bagaimana dengan Anton? Ah, lupakanlah teman kita yang satu ini. Dia memang atheis setengah masak!
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti