tirto.id - Ada banyak pepatah konyol. Di antara yang paling konyol adalah pepatah tanpa-tanpa. Hidup tanpa cinta bagai sayur tanpa garam, misalnya. Atau taman tanpa bunga. Atau pantai tanpa laut. Atau Playboy tanpa gambar telanjang.
Orang-orang yang pertama kali mencetuskan ungkapan-ungkapan itu pastilah pujangga yang kekurangan imajinasi. Atau terlalu keras kepala. Atau pengetahuan geodesinya kurang. Atau gagap teknologi.
Memangnya kenapa kalau sayur tanpa garam? Toh enak-enak saja dimakan. Itu sayur-mayur dicocol saus juga enak, kok. Taman tanpa bunga juga bukan masalah besar, yang penting bisa dipakai piknik manusia-manusia urban bersama sang kekasih atau keluarga besar atau selingkuhan. Pantai tanpa laut? Tolonglah, yang namanya pantai ya harus di tepi laut. Kalau tidak ada lautnya, itu pasti tambang pasir.
Kalau Playboy tanpa gambar telanjang? Nah, ini panjang ceritanya.
September 2015, Cory Jones, Direktur Konten Playboy, menghadap Hugh Hefner di Playboy Mansion. Jones mengenakan pakaian resmi, berdasi, dan berjas. Hefner, sang pendiri Playboy, menyambut Jones hanya dengan memakai piyama.
Di sebuah ruangan makan berdinding kayu, dengan lukisan Picasso dan de Krooning tergantung di dinding, Jones deg-degan habis karena harus menawarkan perubahan radikal: majalah Playboy, yang telah memimpin revolusi membawa seks dari sesuatu yang tabu menjadi tidak lagi abu-abu, harus berhenti menayangkan gambar-gambar perempuan telanjang.
Seiring perkembangan media digital, para eksekutif Playboy meyakini perusahaan mereka tidak bisa bertahan dengan gambar telanjang. Masih ada sekian hal lain yang hakiki dan telah menjadi ikonik dan layak diperjuangkan dalam diri Playboy: brand, logo, budaya-tanding.
Seorang pejabat teras Playboy mengakui, Playboy telah ditaklukkan oleh perubahan yang mereka bikin sendiri. "Sekarang kamu hanya berjarak satu klik dari semua laku seksual yang bisa kamu bayangkan, dan semuanya gratis. Dalam situasi seperti ini, Playboy telah menjadi kudet."
Lantaran tidak ingin menjadi basi dan usang seperti pepatah tanpa-tanpa, mereka pun mulai berpikir untuk merangkul semua perubahan yang terjadi di zaman ini: bagaimana menarik perhatian pembaca dari generasi milenial. Sebagai bagian dari rencana redesain, mereka akan lebih banyak memperbaiki kualitas konten di internet. Seperti yang diusulkan Jones dengan gugup kepada Hefner: tidak ada lagi telanjang bulat.
Tak disangka, Hefner, yang sudah berumur 89 tahun dan masih menjabat sebagai pemimpin redaksi, ternyata setuju.
Bukan Sekadar Telanjang
Dalam sebuah episode acara Night Beat di tahun 1965, Mike Wallace muda mengucapkan selamat datang kepada penontonnya, lalu mengumumkan bintang tamu mereka malam itu: Hugh Hefner. Kamera menyorot bayangan wajah Hefner yang seperti maling tertangkap basah.
"Kita akan cari tahu apa sebenarnya motif dia bikin Playboy?" kata Wallace, "dan apakah benar atau tidak semua itu hanya kisah cabul belaka?"
Alih-alih menjadi acara bincang-bincang biasa, sesi itu kemudian menjadi perdebatan politik dan ideologi seksual dari dua ikon media Amerika. Wallace mencap Hefner sebagai tua-tua keladi yang mempromosikan pandangan ganjil tentang seksualitas. Hefner menggeleng-gelengkan kepala, nyengir, dan berkata bahwa ia "secara sadar menganggap" seks adalah "laku yang sehat."
Malam itu, Hefner dengan elok membungkam kritik Wallace yang menyebut Playboy oversexed. Hefner bilang, di antara banyak hal lainnya, Playboy bukan sekadar kecabulan. Majalah itu juga berisi, "kesusastraan dari para penulis hebat," katanya.
Lebih dari setengah abad kemudian, pendekatan Hefner mengenai seks menjadi budaya arus utama, dan pandangan konservatif Wallace menjadi sama kunonya dengan tayangan hitam-putih Night Beat.
Hefner benar, meski Playboy dikenal luas pertama-tama dan terutama karena piktorial telanjangnya, editorial yang mereka kembangkan sebenarnya apik dan menjanjikan. Mereka menyajikan campuran laporan jurnalistik yang memikat dan mendalam, opini sosial-politik yang progresif, rubrik wawancara yang tidak biasa, dan cerita pendek dari para sastrawan kelas dunia—antara lain Jorge Luis Borges, Vladimir Nabokov, Gabriel Garcia Marquez, dan Haruki Murakami.
Di New York, karena bacaan berkualitas yang dihadirkannnya, seloroh mengenai Playboy jadi lelucon yang sangat terkenal. "Saya beli Playboy HANYA untuk membaca artikel-artikelnya."
Tuntutan Perubahan
Maret 2016, untuk pertama kali dalam sejarah, Playboy meluncurkan edisi yang bebas-ketelanjangan. Perhatikan dengan seksama, bolak-balik halamannya, Anda tidak akan menemukan gambar wanita tanpa sehelai benang.
Sebagai gantinya, Anda akan melihat bagaimana usaha sungguh-sungguh Playboy melakukan rebranding agar lebih bisa diterima generasi milenial. Yang paling mencolok adalah kovernya. Menampilkan Sarah McDaniel, seorang seleb-Instagram, dengan pose dan pesan selfie ala Snapchat. Terkesan sangat tidak serius dan monoton jika dibandingkan dengan foto-foto cover Playboy sebelumnya—yang menampilkan berbagai gaya yang terlihat elegan dan mewah.
Pergeseran ini, bagaimanapun, tak ada hubungannya dengan kemenangan kaum feminis atau pandangan konsevatif Mike Wallace. Semuanya harus dilakukan karena kesadaran para eksekutif Playboy bahwa dunia digital adalah masa depan.
Pada 1953, Hugh Hefner mengejutkan dunia dengan gambar telanjang Marilyn Monroe di sampul majalah yang ia dirikan. Majalah ini kemudian berkembang menjadi ikon seks generasi 60 hingga 90-an. Playboy pun tumbuh menjadi bisnis raksasa. Selain penjualan majalah, mereka merambah ke acara televisi yang meraup jutaan dolar—tetap dengan gambar telanjang sebagai daya tarik utamanya.
Tapi hari ini, model bisnis yang dipelopori Hefner ini telah ditinggalkan banyak orang. Di internet, banyak orang meniru Hefner menjual ketelanjangan, tapi mereka tidak lagi menjualnya dengan harga mahal. Kebanyakan malah gratis. Anda tidak perlu lagi mencari Playboy untuk melihat perempuan telanjang. Hefner telah ditelan revolusi yang dicetuskannya sendiri.
Seks itu menjual, tentu saja. Apalagi kalau gratis.
Bagi pria yang berusia di atas 40 tahun, pernah memegang majalah Playboy adalah pengalaman yang hampir mistis dengan daya tarik dan sensasi terlarang. Tapi pengalaman itu terasa menggelikan sekarang, ketika kita hidup di dunia di mana materi porno tumpah-ruah di internet, dan "gratis"—diproduksi oleh perusahaan-perusahaan "amatir", tidak seprofesional Playboy, dengan biaya murah.
Pergeseran ini tidak pernah diprediksi Hefner sebelumnya.
Keruntuhan ekonomi hiburan dewasa ini tidak hanya memengaruhi sirkulasi Playboy yang terus anjlok, industri pornografi juga limbung karena serbuan pornografi "amatir" dan rekaman seks artis yang bocor di internet. "Iklim politik dan seksual 1953, tahun ketika Hugh Hefner memperkenalkan Playboy kepada dunia, hampir tidak ada kemiripannya dengan hari ini," kata Scott Flanders, CEO Playboy Enterprises .
Untungnya, Playboy tidak sepenuhnya tentang ketelanjangan. Lelucon "membeli Playboy untuk membaca artikelnya" itu tidak keliru-keliru amat. Salah satu nilai jual penting yang telah majalah ini ciptakan adalah kesusastraannya. Pembaca Playboy bukan hanya para pecinta payudara semlohay, melainkan juga karya sastra berkualitas.
Playboy tampaknya mulai memahami beberapa model bisnis digital yang berkembang dalam lima tahun terakhir: Uber, Airbnb dan Seamless, untuk menyebut beberapa nama, seperti Go-Jek dan Traveloka di Indonesia. Bisnis model baru ini telah mengeksploitasi dan berhasil mengisi kekosongan dan kelemahan bisnis model lama. Dan Playboy juga ingin mengembangkan model serupa, dengan bentuk yang terus digodok. Para eksekutif Playboy akhirnya menyadari, mereka perlu melakukan inovasi atau menjadi basi.
Keputusan meninggalkan gambar telanjang adalah pilihan yang mereka ambil untuk berinovasi dan menyesuaikan diri dalam peradaban digital. Sebagai media, Playboy sadar betul peran media sosial untuk meningkatkan jumlah pembaca. Sementara media sosial yang menjadi sumber lalu lintas pembaca; Facebook, Twitter, dan Instagram adalah platform yang melarang ketelanjangan. Ini langkah yang masuk akal.
Sejak Agustus 2014, Playboy memulai eksperimen menghilangkan gambar telanjang dari situs mereka. Hasilnya cukup menggembirakan. Menurut Flanders, setelah mereka menyingkirkan ketelanjangan dari edisi online, usia rata-rata pengunjung situs mereka turun ke usia 30 dari usia 47, dengan traffic tumbuh empat kali lipat dari 4 juta ke 16 juta kunjungan per bulan
Akankah rebranding ini mengangkat kembali pamor Playboy?
Meski beberapa perubahan online yang mereka buat dampaknya sudah cukup baik, tantangan untuk memperbaiki citra merek Playboy tampaknya bukan pekerjaan mudah. Membaca Playboy masihlah bukan sesuatu yang patut dibanggakan bagi banyak orang. Nyaris tidak ada yang memamerkan diri sedang membaca Playboy di kafe atau bus kota. Di Indonesia, beberapa operator bahkan memblokir situsnya karena dianggap menyebarkan pornografi saja.
Selain itu, jika Playboy berubah semata-mata berkonsentrasi pada jurnalisme sastrawi atau fotografi berseni, Playboy harus berhadapan dengan brand mapan seperti The New Yorker dan Vanity Fair (yang di edisi bulan Oktober menampilkan foto "glamor dan artistik" Kourtney Kardashian). Ini adalah perjudian. Playboy masih perlu menemukan formula yang tepat untuk brand digital mereka.
Akankah Playboy 2.0 memenangkan hati kaum perempuan, generasi milenial dan demografi pembaca yang secara tradisional menolak Playboy? Ini pertaruhan sekaligus pertarungan luar biasa.
Tapi berinovasi, dalam industri apapun, sangat krusial untuk kelangsungan hidup.
Penulis: Arlian Buana
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti