Menuju konten utama

Tarif Airport Tax Naik, Siapa yang Untung?

Perubahan tarif pelayanan jasa penumpang pesawat udara (PJP2U) atau airport tax berdampak pada kenaikan harga tiket pesawat.

Tarif Airport Tax Naik, Siapa yang Untung?
Ruang Tunggu Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta. tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Mulai 17 September 2017, para penumpang Bandara Soekarno Hatta dimanjakan dengan fasilitas skytrain. Keberadaan skytrain jadi fasilitas tambahan yang disediakan oleh PT Angkasa Pura II (AP II) untuk transportasi antar terminal yang nyaman.

Namun, semua itu tidak "gratis" dalam arti ada konsekuensi yang harus ditanggung secara tak langsung oleh sebagian penumpang Bandara Soekarno Hatta. Baru-baru ini, AP II mengumumkan kenaikan airport tax di sejumlah terminal Bandara Soekarno-Hatta mulai 1 Maret 2018, antara lain Terminal 3 Internasional, Terminal 1, dan Terminal 2 Domestik.

Pada Terminal 3 Internasional, tarif airport tax naik menjadi Rp230.000 per penumpang dari sebelumnya Rp200.000 per penumpang atau naik 15 persen. Kenaikan juga terjadi pada Terminal 2 Domestik menjadi Rp85.000 dari Rp60.000 atau naik sekitar 40 persen, dan Terminal 1 menjadi Rp65.000 dari Rp50.000 atau 30 persen, dan Terminal 3 Domestik tak ada kenaikan, tetap Rp130.000.

“Tujuannya agar pengguna jasa semakin nyaman dengan bertambah fasilitas baru yang secara terus menerus berinovasi,” kata Erwin Revianto, Senior Manager Of Branch Communication and Legal Bandara Soekarno-Hatta dalam keterangan resminya AP II.

Apa yang disampaikan Erwin Revianto menegaskan bahwa kenaikan tarif airport tax merupakan imbas dari beroperasinya sejumlah layanan baru di terminal Soekarno-Hatta, tak kecuali skytrain. Juga beberapa fasilitas seperti pelaporan mandiri (self check-in), vending machine, informasi digital, dan fasilitas pendukung keberadaan kereta bandara. Selain itu, AP II juga melengkapi terminal dengan fasilitas yang lebih modern, seperti sistem penanganan bagasi, sistem tayang informasi penerbangan, sistem pendukung di darat, dan sistem pemandu docking visual.

Penetapan Tarif Airport Tax

Airport tax adalah besaran biaya atas pelayanan penumpang pesawat udara yang dihitung sejak memasuki beranda keberangkatan, pintu keberangkatan bandara hingga pintu kedatangan dan beranda kedatangan penumpang di bandara tujuan.

Dalam bahasa sederhana, airport tax atau Passenger Service Charge (PSC) adalah biaya yang dibebankan pengelola bandara kepada penumpang yang menggunakan jasa bandara, yakni jasa pelayanan dan penggunaan fasilitas bandara tersebut. Tarif ini juga seringkali dikaitkan dengan cost recovery, atau istilah umum yang digunakan dalam hal pengembalian dana yang digunakan untuk kegiatan operasi. Adapun, istilah cost recovery juga biasa dikaitkan dengan kegiatan migas.

Saat ini, biaya PSC sudah termasuk dalam tiket pesawat. Artinya kenaikan tarif PSC otomatis menaikkan harga tiket pesawat para maskapai penerbangan, termasuk Garuda Indonesia. Sebelum 2015, biaya PSC sempat terpisah dari tiket pesawat, karena dipungut langsung di bandara oleh operator seperti AP I maupun AP II.

“Kalau di kita, harga tiket pesawat itu kan gabungan dari semua, ada fare ada airport tax. Nah, harga fare enggak naik, airport tax yang naik,” tutur Senior Manager Public Relation Garuda Indonesia Ikhsan Rosan.

Dalam menetapkan tarif PSC, pengelola bandara seperti AP I dan AP II tidak bisa sembarangan. Pada UU No. 1/2009 tentang Penerbangan menyebutkan pengenaan tarif di bandara harus sesuai dengan jasa yang disediakan.

Pengenaan tarif PSC diatur di dalam Peraturan Menteri Perhubungan No. 81/2016 tentang petunjuk pelaksanaan jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada Dirjen Perhubungan Udara. Selain itu, pengenaan tarif PSC juga didasari dari ketentuan yang tertuang di dalam Peraturan Menteri Perhubungan No. 129/2015 tentang pedoman penyusunan perjanjian tingkat layanan dalam pemberian layanan kepada pengguna jasa bandara.

Setelah menentukan tarif PSC, pengelola bandara tidak bisa serta merta mengenakan tarif tersebut kepada penumpang pesawat. Tarif PSC harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari Kementerian Perhubungan. Rata-rata tarif PSC pada setiap bandara di Indonesia saat ini cenderung berbeda-beda. Perbedaan tarif di setiap bandara menandakan layanan yang diberikan di setiap bandara juga berbeda-beda.

“Sebenarnya, standar pelayanannya di setiap bandara itu sama. Perbedaannya hanya dari sisi kenyamanan, dan luas bandara. Semakin luas, semakin banyak butuh orang,” jelas Sekretaris Perusahaan Angkasa Pura I Israwadi kepada Tirto.

Sebagai contoh, tarif PSC bandara yang dikelola AP I antara lain di terminal domestik Bandara Juanda Surabaya dipatok Rp90.000 per penumpang untuk domestik dan Rp210.000 untuk internasional. Sementara itu, tarif PSC di terminal domestik Bandara Ngurah Rai Bali sebesar Rp75.000, dan Rp200.000 untuk terminal internasional.

Infografik pendapatan bandara

Pendapatan di Luar Airport Tax

Selain pendapatan PSC, pengelola bandara memiliki sumber-sumber pendapatan lainnya. Pendapatan bandara terbagi atas dua bagian, yakni pendapatan aeronautika dan pendapatan nonaeronautika. Pendapatan nonaeronautika merupakan pendapatan yang didapatkan dari pengusahaan jasa yang menunjang penerbangan. Sementara pendapatan aeronautika berasal dari jasa pelayanan langsung terhadap kegiatan penerbangan.

Pendapatan aeronautika itu antara lain seperti pelayanan jasa pendaratan, penempatan, dan penyimpanan pesawat udara (PJP4U), PSC, pemakaian aviobridge, pemakaian counter dan lain sebagainya. Sedangkan pendapatan nonaeronautika antara lain seperti sewa ruangan, konsesi, hotel, utilitas, parkir kendaraan, pemasangan reklame, sewa tanah, lounge, pelayanan kargo dan lain sebagainya.

“Pendapatan dari PSC masih menjadi penyumbang paling besar bagi AP I, bisa sekitar 20-30 persen dari total pendapatan. Mungkin di AP II juga sama. Bagaimanapun fasilitas yang disediakan itu kebanyakan untuk penumpang,” ujar Israwadi.

Saat ini, pendapatan aeronautica tercatat masih menjadi penyumbang terbesar pendapatan pengelola bandara, baik AP II maupun AP II. Rata-rata pendapatan aeronautika menyumbang sekitar 60 persen dari total pendapatan bandara.

Sepanjang 2017, AP I mencatatkan pendapatan sebesar Rp7,1 triliun atau naik 17 persen dari realisasi 2016 sebesar Rp6,1 triliun. Dari total pendapatan 2017, sekitar 59 persen disumbang dari pendapatan aeronautika AP I. Dari pendapatan yang berhasil diraup, pengelola bandara di kawasan Indonesia Timur itu membukukan laba bersih sebesar Rp1,6 triliun, naik 39 persen dibandingkan dengan realisasi 2016 sebesar Rp1,1 triliun.

AP II meraup pendapatan sebesar Rp8,24 triliun sepanjang 2017, naik 24 persen dari realisasi 2016 sebesar Rp6,65 triliun. Pendapatan aeronautika menyumbang 61 persen dari total pendapatan. Tahun ini, AP II menargetkan pendapatan Rp9,2 triliun atau naik 20 persen. Target kenaikan ini mengacu dari porsi tren pendapatan nonaeronautika yang porsinya berkembang dari 40 persen jadi 45 persen.

Pengenaan PSC memang menjadi konsekuensi bagi penumpang yang ingin menggunakan transportasi udara. Namun, tarif PSC dapat ditekan serendah mungkin agar tiket pesawat tetap terjangkau bagi konsumen. Para pengelola bandara perlu mengoptimalkan pendapatan dari nonaeronautika. Sehingga tak hanya mengandalkan sumbangan dominan pemasukan dan keuntungan dari biaya yang harus ditarik dari kantong konsumen seperti airport tax atau PSC.

Baca juga artikel terkait KENAIKAN AIRPORT TAX atau tulisan lainnya dari Ringkang Gumiwang

tirto.id - Bisnis
Reporter: Ringkang Gumiwang
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Suhendra