Menuju konten utama

Tak Usah Mencari Kebenaran Sejarah dalam Film Biopik Musisi

Film biopik musisi buatan Hollywood lebih baik dianggap sebagai hiburan.

Tak Usah Mencari Kebenaran Sejarah dalam Film Biopik Musisi
Taylor Hackford dan Jamie Foxx dalam set film Ray. FOTO/REUTERS

tirto.id - Foto Rami Malek dengan gigi tongos dan kumis tebal itu memicu histeria netizen. Dengan mengenakan singlet putih dan celana jeans biru-putih, aktor yang dikenal berkat serial Mr. Robot ini begitu mirip dengan sosok Freddie Mercury. Malek memerankan sosok vokalis Queen dalam film biopik berjudul Bohemian Rhapsody, diambil dari judul lagu tenar band asal Inggris itu.

Rencananya, film ini akan dirilis pada pertengahan 2018. Namun, nampaknya akan tertunda, karena Bryan Singer, sang sutradara, baru saja dipecat. Singer, yang jadi sutradara di empat film X-Men, disebut absen selama beberapa hari dan bertikai dengan Malek. Dalam rilisnya kepada The Hollywood Reporter, Singer mengakui kekecewaannya dan membantah rumor pertikaian dengan sang aktor utama.

Baca juga: Legenda Itu Bernama Freddie

"Tak ada yang lebih kuinginkan selain menyelesaikan proyek ini dan menghormati warisan Freddie Mercury dan Queen, tapi Fox tidak mengizinkanku menyelesaikan film ini karena aku harus mengutamakan kesehatanku dan kesehatan orang-orang tercinta. Rumor aku dipecat karena bertikai dengan Rami Malek adalah bohong," tulis Singer.

Film biopik—dramatisasi kisah hidup seseorang atau kelompok—memang punya aral besar. Karena sejarah kerap kali berbeda, tergantung dari kacamata siapa yang dipakai, tak heran kalau hampir selalu ada protes pada sebuah film biopik. Tak peduli seakurat apa gambaran sang tokoh.

Dalam Bio/pics: How Hollywood Constructed Public History (1992), George Custen, mengutip Hayden White, menyebut hal ini sebagai historiophoty, yakni representasi sejarah dan pemikiran tentang sejarah dalam bentuk visual dan diskursus tertulis. Karena berisi pemikiran banyak orang, wajar kalau ada perbedaan sudut pandang yang kemudian melahirkan polemik.

Polemik semacam itu juga banyak timbul di biopik tentang musisi atau band. Di film Sid & Nancy, misalkan. Film rilisan 1986 ini berkisah tentang kehidupan pemain bass grup punk rock Sex Pistols, Sid Vicious, dengan kekasihnya, Nancy Spungen. Secara akting, Gary Oldman yang memerankan Sid menuai banyak pujian. Tapi vokalis Sex Pistols, John Lydon, mencak-mencak karena, menurutnya, film itu tidak akurat.

Dalam biografinya, Rotten: No Irish, No Blacks, No Dogs:, Lydon mengoceh tentang betapa buruknya film itu, juga tidak realistis. Akting Gary disebutnya jelek karena kurang riset. Begitu pula aktor pemeran Lydon "yang baru datang padaku setelah pengambilan gambar selesai." Selain itu, sutradara Alex Cox disebut tidak memakai narasumber yang bisa tepat mengisahkan kehidupan Sid (Joe Strummer, tahu apa dia soal Sid dan Nancy?)

"Bagiku, film ini adalah picisan paling buruk," makinya.

Baca juga: Sid Vicious

Saat All Eyez on Me (2017), biopik tentang rapper Tupac, dirilis, aktris Jada Pinkett Smith mengkritik film ini dengan menyebutnya tak akurat. Yang ia kritik, antara lain, soal hubungannya dengan Tupac. Smith juga menyebut adegan Tupac membaca puisi di depannya itu bohong belaka.

Dari kisah itu, kita bisa menyebut satu per satu biopik musisi yang menimbulkan protes. Mulai dari The Doors (1991), Jimi: All Is by My Side (2013), Notorious (2009), hingga Man in the Mirror: The Michael Jackson Story (2004).

Baca juga: Jimi Hendrix Mati Muda, tapi Namanya Begitu Melegenda

Yang turut menjadi masalah adalah, film biopik musisi kemudian menjelma jadi klise. Jalan ceritanya mirip antara satu dengan yang lain: merintis karier, terkenal, masa hura-hura, kejatuhan, dan kebangkitan atau kematian. Hal ini membuat biopik jadi membosankan.

Laporan The Guardian pada Juli 2017 menyebut bahwa sebelum Straight Outta Compton (2015), hanya ada satu biopik musisi yang mendapat pemasukan lebih dari 100 juta dolar, yakni Walk the Line (2005) yang mengisahkan kehidupan musisi legendaris Johnny Cash.

Memang ada banyak masalah dalam pembuatan biopik musisi. Secara finansial, ia juga tak menguntungkan. Tapi kenapa biopik musisi terus dibuat? Jawabannya sederhana: karena musisi punya basis massa besar. Bisa dibilang membuat biopik musisi adalah perjudian. Sebab, jumlah massa ini seperti pisau bermata dua. Kalau biopik jelek dan digarap seadanya, semisal Nina (2016), banyak penggemar akan mengutuknya beramai-ramai.

Tapi jika digarap dengan baik, maka biopik itu akan meninggalkan impresi yang baik pula, walau tidak selalu menguntungkan secara finansial, seperti film biopik Bob Dylan, I'm Not There (2007). Salah satu film yang diapresiasi dengan baik dan menguntungkan adalah Straight Outta Compton (2015). Film yang disutradarai oleh Gary Gray ini mengambil kisah hidup kelompok gangster rap N.W.A.

Gray bertindak cemerlang dengan mengajak nyaris semua pihak penting dalam film ini. Ice Cube dan Dr. Dre yang merupakan personel N.W.A bertindak sebagai produser, MC Ren dan DJ Yella bertindak sebagai konsultan kreatif. Lalu istri mendiang Eazy-E juga turut terlibat. Hal ini bisa meminimalisir gesekan setelah film dirilis. Hasilnya sukses besar.

Dengan bujet $50 juta, film ini meraih pendapatan lebih dari $200 juta dolar. Film ini juga dipuji oleh para kritikus, terutama akting pemain dan lagu latarnya. Meski begitu, tetap saja film ini mendapat protes. Kali ini dari mantan manajer N.W.A, Jerry Heller. Ia menyebut film ini melibatkan namanya tanpa izin dan mengambil sebagian cerita dari biografinya.

Mengingat hampir tak ada biopik musisi yang luput dari kritik dan protes, wajar kalau banyak orang bertanya-tanya: seperti apa biopik yang ideal? Untuk menjawab pertanyaan ini, para penonton harusnya sudah menyadari bahwa: biopik bukanlah film dokumenter yang harus berjalan sejajar dengan fakta sejarah. Biopik sering mendramatisasi adegan, atau bahkan mereka adegan, agar kisahnya semakin menarik.

infografik musisi di layar lebar

Dalam "Film Biopic Musisi: Fakta Sejarah atau Usaha Pengkultusan?", penulis Sandy Allifiansyah mengatakan bahwa film biopik musisi telah menjadi bagian dari industri film. Dengan kata lain, semua pihak pasti berusaha mencari laba dari nama besar sang musisi. Meski itu dengan menciptakan adegan fiktif.

Penonton film menyukai drama. Maka dibuatlah adegan rekaan Tupac membaca puisi, atau Jim Morrison yang hampir setiap hari mabuk dan bertingkah konyol serta destruktif, ataupun Jimi Hendrix yang memukuli salah seorang temannya.

Maka ada baiknya kita mengikuti petuah George Custen. Dalam bukunya itu, ia memberikan garis pembatas penting yang seharusnya membuat penonton tak usah terlalu berharap semua isi biopik adalah kenyataan. Secara tersirat, ia seperti ingin berkata, nikmati saja biopik sebagai film hiburan.

"Sebagian besar biopik yang dibuat di Hollywood tidak harus dianggap sebagai kebenaran," tulisnya.

Baca juga artikel terkait INDUSTRI FILM atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Musik
Reporter: Nuran Wibisono
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Maulida Sri Handayani