tirto.id - Gelaran MotoGP 2019 ialah tentang Marc Marquez melawan dirinya sendiri, lalu Marquez melawan pembalap-pembalap lainnya. Sudah berlangsung dalam 7 seri, Marquez sudah naik podium 6 kali dan 4 di antaranya sebagai pemenang. Saat ia tak naik podium, ia terjatuh. Dan seperti yang sudah-sudah, ia kini nangkring di peringkat pertama dengan perolehan 140 angka, unggul 37 angka dari Andrea Dovizioso yang berada di peringkat kedua.
Namun, menjelang Grand Prix Assen, Belanda, yang akan digelar akhir pekan nanti (30/6/2019), Marquez tak mau sesumbar.
“Assen adalah sirkuit yang menuntut Anda tampil presisi, dan akan sangat sulit untuk bisa tampil konsisten di sana,” kata Marquez, dilansir dari Crash. “Memiliki kemampuan untuk melahap tikungan cepat sangat penting untuk bisa meraih hasil memuaskan di Assen.”
Lewat komentarnya itu, Marc Marquez seakan menandaskan bahwa lintasan sepanjang 4,5 kilometer akan menyulitkan motor tunggangannya, Honda RC213V. Motor itu memang bertenaga dan cepat, tapi kurang gesit terhadap tikungan cepat.
Selain itu, saat ia menyebut bahwa Assen cocok untuk motor yang mampu melahap tikungan cepat, Marquez juga meyakini satu hal: Valentino Rossi, dengan motor Yamaha YZR-M1 yang punya keunggulan dalam melahap tikungan cepat, masih layak untuk diperhitungkan.
Keyakinan Marquez ini tentu berdasar. Di Assen, Marquez memang berhasil menang pada musim 2018, tapi Rossi mampu menang lebih banyak terutama di kelas MotoGP: Marquez menang 2 kali, Rossi menang 3 kali.
Namun di balik hitung-hitungan Marquez tersebut, ada satu pertanyaan penting: apakah Rossi yang saat ini sudah berusia 40 tahun masih memiliki kemampuan untuk memenangi sebuah Grand Prix?
Kehebatan Rossi Belum Menjadi Mitos
Dalam salah satu tulisannya di BBC, Maret 2019, Victoria Turner memberikan banyak alasan mengapa Valentino Rossi masih layak didukung dalam gelaran MotoGP 2019. Ia menyebut Rossi adalah satu-satunya pembalap yang berhasil menjadi juara dunia di kelas 125cc, 250cc, 500cc, dan MotoGP. Rossi pun mampu menginspirasi pembalap lainnya.
Selain itu, Turner juga tak luput memberikan alasan yang masih sangat relevan hingga sekarang: Rossi ialah ikon MotoGP. Soal ini, Turner bahkan tak luput memberikan penjelasan.
“Anda dapat membeli pizza atau es krim yang dinamai sesuai dengan namanya, membeli pasir tempat ia pernah menyalip saingannya, dan bahkan tempat asalnya rajin dikunjungi para wisatawan,” tulis Turner.
Sayangnya, ajakan Turner untuk mendukung Rossi ternyata juga berbarengan dengan fakta buruk. Kapan Rossi terakhir kali menjadi juara dunia? Hampir sekitar satu dekade lalu. Kapan Rossi terakhir kali menjadi juara Grand Prix? Sudah dua tahun lamanya.
Pada Februari 2019, Jawab Yakub, pengamat MotoGP dari Roar Australia, menyebut Rossi sudah tidak akan mampu kembali meraih gelar juara dunia. Yang menarik, Yakub berpendapat seperti itu bukan karena menganggap performa Rossi sudah menurun, melainkan karena performa buruk tungggangan Rossi.
Sejak mengalami masalah pada 2017, kata Yakub, Yamaha dinilai masih kesulitan memperbaiki performa motor Rossi. Sementara Ducati dan Honda terus-terusan menang, Yamaha M1 tak kunjung mempunyai setelah yang pas. Elektronik motor tersebut masih bermasalah, mesin tidak mampu mengeluarkan tenaga secara maksimal, dan ketidakcocokan motor tersebut dengan ban Michelin membuat masalah semakin pelik.
Menghadapi masalah seperti itu, Yamaha sebetulnya tak tinggal diam. Untuk memperbaiki performa, mereka lantas mengangkat Michele Gadda untuk menjadi Kepala Kontrol Perangkat Elektronik Yamaha Eropa. Sayangnya, meski Yamaha mengalami peningkatan performa bersama Gadda, M1 masih tertinggal dari Honda dan Ducati.
“Dengan gelas setengah kosong, Rossi akan sangat sulit untuk kembali mengangkat gelar juara dunia,” kata Yakub.
Yang menarik, dengan performa motor seperti itu, penampilan Rossi di MotoGP ternyata tak ampas-ampas amat. Pada MotoGP 2018, ia masih mampu finis di peringkat ketiga dan lima kali naik podium. Sedangkan dalam delapan seri awal MotoGP 2019, ia mampu naik podium dua kali. Hebatnya, dua podium tersebut diraih saat ia mampu finis di peringkat dua di GP Argentina dan Amerika.
Dari sana, jika ia sudah dinilai tidak mungkin untuk kembali meraih gelar juara dunia, Rossi barangkali masih mempunyai peluang besar untuk kembali finis di urutan pertama dalam sebuah Grand Prix. Ia barangkali bisa melakukannya di Assen akhir pekan nanti, tempat ia terakhir kali finis di urutan pertama pada 2017. Atau, ia bisa melakukannya di tempat-tempat lainnya.
Yang jelas, harapan itu tentu bergantung dengan perkembangan terbaru motornya. Tetapi, para pesaingnya setidaknya harus ingat pujian Casey Stoner, mantan juara MotoGP, terhadap Rossi tahun 2018 lalu.
“Dia [Rossi] sepertiku. Kalau saja bukan karena masalah elektronik atau kalau saja sebuah kekuatan motor hanya tergantung pada pengendaranya, Rossi tetaplah pembalap nomor 1 di dunia.”
Editor: Mufti Sholih