Menuju konten utama

Status Darurat Ethiopia Pascaprotes Antipemerintah

Pemerintah Ethiopia menyatakan status darurat selama enam bulan setelah terjadinya protes antipemerintah. Unjuk rasa itu menyebabkan kematian dan rusaknya sarana negara.

Status Darurat Ethiopia Pascaprotes Antipemerintah
Perdana Menteri Ethiopia Hailemariam Desalegn. [foto/youtube]

tirto.id - Pemerintah Ethiopia mengumumkan status darurat selama enam bulan pada Minggu (9/10/2016). Status ini merupakan yang pertama sejak 25 tahun lalu ketika perang saudara selama 16 tahun usai. Berlaku sejak 8 Oktober lalu, Perdana Menteri Ethiopia Hailemariam Desalegn menyatakan status darurat ini dikeluarkan karena telah terjadi perusakan fasilitas umum sebagai bentuk aksi protes sejak beberapa hari terakhir.

“Kami memprioritaskan keselamatan warga. Selain itu, kami ingin mengakhiri kerusakan yang terjadi pada proyek infrastruktur negara, institusi pendidikan, rumah sakit, perkantoran dan kantor pengadilan,” tutur Desalegn seperti dikutip The Guardian. Desalegn menyebut perkembangan terkini di Ethiopia telah membahayakan integritas bangsa.

Mendukung status darurat Ethiopia, Pemerintah juga memblokir jaringan internet di berbagai daerah. Akses internet dibatasi untuk mencegah pengunjuk rasa merencanakan demonstrasi dan mengumpulkan massa di media sosial, demikian yang terlansir di Antara, Senin (10/101/2016).

Meski begitu, Pemerintah menjamin status darurat ini tidak akan melanggar HAM yang telah diabadikan di bawah konstitusi Ethiopia dan tidak akan juga mempengaruhi hak diplomatik yang telah terdaftar dalam Konvensi Wina.

Di antara para pengunjuk rasa antipemerintah adalah Oromos, kelompok etnis terbesar di Ethiopia yang berjumlah sekitar 100 juta orang dan merupakan mayoritas penduduk Ethiopia. Mayoritas kelompok etnis Oromos didukung kelompok Amhara yang memulai protes karena merasa terpinggirkan oleh pemerintah yang dipimpin minoritas selama berpuluh-puluh tahun. Ketegangan meningkat baru-baru ini ketika pemerintah mengatakan akan mengembangkan daerah pertanian Oromo.

Unjuk rasa menegang di Ethiopia sejak setidaknya 52 orang kehilangan nyawa saat acara Irreecha di Oromia. Aktivis Ethiopia mengatakan pihak keamanan menembakkan senjatanya dan melemparkan gas air mata ke kerumunan manusia yang menghadiri festival keagamaan tersebut. Peristiwa ini menambah jumlah korban meninggal menjadi sekitar 500 orang selama protes di daerah sekitar ibu kota Addis Ababa itu.

Menanggapi kejadian ini, Pemerintah mengelak pasukan keamanan menembaki demonstran dan menyalahkan “pembuat onar” atas bentrokan tersebut.

Sementara itu, terkait kondisi darurat di Ethiopia, Mesir mengaku tidak mencampuri urusan dalam negeri di negara manapun. Komentar itu dikeluarkan Kementerian Luar Negeri Mesir untuk menjawab adanya video yang menunjukkan salah seorang demonstran Mesir tengah berpartisipasi dalam pertemuan publik antarpendukung Oromos di Kairo.

"Mesir tidak mencampuri urusan dalam negeri negara itu [Ethiopia]," jelas Duta Besar Mesir untuk Ethiopia Abu Bakar Hefny, menurut sebuah pernyataan yang dikeluarkan Kementerian Mesir Urusan Luar Negeri.

Hefny mengatakan bahwa video tersebut "tidak mencerminkan realitas sama sekali" dan menggambarkannya sebagai upaya oleh pihak ketiga untuk menabur perselisihan antara Mesir dan Ethiopia. “Terutama, mengingat bahwa hubungan bilateral telah memanas dalam beberapa bulan terakhir,” ungkap pernyataan itu, seperti dilansir dari media dalam negeri Mesir, Ahram Online, Minggu (9/10/2016).

Baca juga artikel terkait KONDISI DARURAT NASIONAL atau tulisan lainnya dari Yuliana Ratnasari

tirto.id - Politik
Reporter: Yuliana Ratnasari
Penulis: Yuliana Ratnasari
Editor: Yuliana Ratnasari