tirto.id - Menteri Keuangan Sri Mulyani membuka peluang merevisi ketentuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau value added tax (VAT).
Ia menjelaskan tujuan dari revisi ini terkait dengan belum maksimalnya potensi PPN yang berhasil dikumpulkan pemerintah.
“Dari VAT yang kita collect dari potensi yang bisa di-colect ada 50 persen saja, jadi kita review perlu dilanjutkan atau revisi ulang,” ucap Sri Mulyani di Hotel Fairmont, Rabu (5/2/2020).
Pernyataan ini diucapkan Sri Mulyani saat menjawab pertanyaan dari moderator sekaligus Wakil Komisaris Utama Bank Mandiri Chatib Basri.
Dalam sesi tanya-jawab itu, Chatib menanyakan strategi Sri Mulyani untuk meningkatkan pendapatan pajak di tengah perlambatan ekonomi global dan wabah virus Corona.
Menjawab itu Sri Mulyani bilang menggenjot penerimaan pajak memang saat ini cukup menantang.
Pasalnya saat ini harga komoditas sedang turun dan sejumlah pelaku usaha kesulitan melakukan ekspor. Alhasil VAT korporasi juga terdampak di samping pajak korporasi atau PPh Badan.
Yang terpikirkan oleh Sri Mulyani adalah sejumlah solusi seperti pemanfaatan akses informasi pertukaran pajak (AEOI).
Terutama menghadapi mereka yang terbilang kaya tetapi tak membayar pajak.
Lalu ada juga upaya menggenjot pajak dari perusahaan digital yang sampai hari ini belum berhasil dipajaki karena mereka tidak memiliki kehadiran fisik.
Soal penggenjotan penerimaan pajak ini sempat disinggung oleh Bank Dunia dalam rilis laporan bertajuk Aspiring Indonesia-Expanding the Middle Class.
Menurut Bank Dunia Indonesia memiliki 115 juta jiwa yang belum masuk kelas menengah tapi masih cukup lemah untuk kembali masuk kelas rentan miskin. Agar 115 juta jiwa itu benar-benar bisa naik kelas, mereka perlu dibantu dengan program dan investasi pemerintah yang didanai dengan pajak.
“Indonesia sebenarnya perlu meningkatkan perpajakan. Ini penting untuk melengkapi reformasi ini untuk memeperluas penarikan basis pajak,” ucap World Bank Acting Country Director untuk Indonesia, Rolande Pryce, Kamis (30/1/2020).
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Hendra Friana