Menuju konten utama

Sosialisasi Sertifikasi Halal ke Pengusaha Kecil Belum Optimal

Mulai Oktober 2019 setiap produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikasi halal.

Sosialisasi Sertifikasi Halal ke Pengusaha Kecil Belum Optimal
Pelaku usaha Industri Kecil dan Menengah (IKM) menerima Sertifikat Halal di Bale Asri Pusdai Jabar, Bandung, Jawa Barat, Rabu (20/9/2017). ANTARA FOTO/Agus Bebeng

tirto.id - Setiap produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikasi halal. Kewajiban itu diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang (UU) Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.

Kewajiban sertifikasi halal itu akan berlaku mulai tahun depan, sesuai dengan Pasal 67 ayat (1) UU yang sama, yang menyatakan bahwa kewajiban tersebut berlaku mulai lima tahun terhitung sejak UU tersebut diundangkan. Jika merujuk pada waktu UU tersebut diundangkan, yakni 17 Oktober 2014, maka kewajiban bersertifikasi halal akan mulai berlaku pada Oktober 2019.

Meski masih ada waktu sepuluh bulan lagi, namun hingga mendekati 2019, sosialisasi mengenai kewajiban tersebut belum tersampaikan dengan baik.

Silahudin, pedagang gorengan di kawasan Monas, mengaku belum menerima sosialisasi dalam waktu dekat ini. Meski demikian, ia mengaku sertifikasi halal gorengannya sudah diurus oleh pihak Dinas Koperasi, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.

“Semua perizinan sudah diurus sama pihak dinas. Saya di sini dari tahun 1990-an, tapi baru dari 2014 diurus untuk sertifikasi halal,” kata Silahudin kepada reporter Tirto saat ditemui di Lenggang Jakarta, Jakarta Pusat, Minggu (16/12/2018) siang.

Indira Hijayanti, pengusaha UMKM berupa kue kering, juga mengaku belum menerima sosialisasi terkait kewajiban untuk memiliki sertifikasi halal tahun depan. “Kalau yang [sosialisasi] ini belum,” katanya.

Pengakuan dua pedagang itu dibantah oleh Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita. Enggartiasto mengaku sudah melakukan sosialisasi terkait kewajiban sertifikasi halal.

“[Sosialisasi] sudah, sudah berjalan,” kata Enggartiasto saat ditemui di Gedung e Perdagangan, Jakarta Pusat, Minggu (16/12/2018) sore.

Kepala Bidang Luar Negeri Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muhyiddun Junaedi mengatakan, produk yang diwajibkan memiliki sertifikasi halal adalah makanan dan minuman. Sedangkan produk non-makanan seperti pakaian, perkakas, dan sebagainya, tidak diwajibkan.

“Jadi yang dikonsumsi oleh umat Islam Indonesia harus bersertifikat halal dari makanan, minuman," kata Muhyiddun saat dihubungi Tirto pada Minggu (16/12/2018) siang.

Tunggu PP

Muhyiddun mengakui hingga saat ini memang belum ada kejelasan terkait kapan aturan wajib tersebut akan benar-benar diterapkan. Pasalnya, ia menunggu dibentuknya Peraturan Pemerintah (PP) mengenai ini.

“Pertama-tama, perlu dipahami bahwa UU jaminan produk halal memang sudah dikeluarkan, tapi PP-nya belum. Diharapkan di tahun 2019 selesai dan mulai diterapkan, karena pembahasan terakhir belum mencapai sebuah kesepakatan sampai sejauh ini. Belum ada keputusan halal sebagai mandatory,” jelas Muhyiddun.

Muhyiddun mengatakan, MUI tidak dapat mengenakan sanksi apapun kepada pelaku industri yang melanggar jika belum ada PP yang mengatur persoalan ini. Dalam proses pembentukannya, kata dia, masih banyak ketidaksepahamannya.

“Untuk pembagian wewenang masih belum seperti auditori,” kata Muhyiddun.

Anggota Komisi VIII DPR RI, Sodik Mudjahid tidak menampik apa yang dikatakan Muhyiddun. Pun begitu, ia mengaku pihaknya terus mendorong agar PP tersebut segera terbentuk.

“Jika sudah ada PP, lebih mantap operasi, termasuk sanksi bagi pelanggar,” ujar Sodik.

Baca juga artikel terkait SERTIFIKASI HALAL atau tulisan lainnya dari Fadiyah Alaidrus

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Fadiyah Alaidrus
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Abul Muamar