Menuju konten utama

Soal KPK Jadi Eksekutif, Wiranto: Harus Tunduk pada Aturan

Wiranto menegaskan, revisi UU KPK yang menyatakan KPK sebagai eksekutif merupakan konsekuensi putusan MK sehingga lembaga antirasuah harus tunduk pada UU KPK yang direvisi.

Soal KPK Jadi Eksekutif, Wiranto: Harus Tunduk pada Aturan
Menko Polhukam Wiranto memberikan keterangan pers terkait kondisi terkini Papua di Kemenko Polhukam, Jakarta, Senin (2/9/2019). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/aww.

tirto.id - Menkopolhukam Wiranto meminta agar publik tidak mendebatkan tentang posisi Komisi Pemberantasan Korupsi yang menjadi bagian eksekutif. Wiranto mengingatkan, sikap pemerintah sejalan dengan putusan MK yang menyatakan kalau lembaga antirasuah adalah bagian dari eksekutif.

"Lembaga KPK masuk dalam ranah kekuasaan eksekutif atau (sebagai) lembaga pemerintah. Sebenarnya itu berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 36 PUU XV/2017," kata Wiranto di kantor Kemenko Polhukam, Rabu (18/9/2019).

Pernyataan tersebut merespon penolakan pegiat antikorupsi yang menempatkan KPK sebagai bagian eksekutif dalam revisi UU 30 Tahun 2002 tentang KPK (UU KPK). Pasal 1 ayat 3 Revisi UU KPK yang sudah disahkan menyatakan KPK merupakan bagian eksekutif.

Wiranto mengingatkan, KPK harus mematuhi putusan MK yang bersifat final dan mengikat. Akan tetapi, Wiranto mengklaim KPK bisa tetap independen meski dinyatakan sebagai bagian eksekutif.

"Namun, sebagai lembaga pemerintah, (KPK) harus tunduk pada aturan perundangan yang ada," ujar mantan Panglima ABRI itu.

Wiranto meminta masyarakat untuk tidak sembarangan curiga dan menuduh presiden dan pemerintah hari ini. Ia tidak ingin publik berpikir buruk kepada DPR (sebagai pengesah undang-undang) lantaran banyak anggota Senayan yang terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK. Ia menyatakan konferensi pers hari ini merupakan 'pembenaran secara proporsional.'

Pengesahan revisi UU KPK idilakukan dalam Rapat Paripurna DPR RI yang dipimpin Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah dan dihadiri 102 anggota DPR RI berdasarkan hitung kepala, Selasa (17/9/2019) pukul 12.18 WIB.

Sebelum ketok palu sah, Ketua Badan Legislasi DPR Supratman Andi Agtas membacakan laporan pembahasan revisi UU KPK di Badan Legislatif. Ia mengungkapkan bahwa tujuh fraksi menerima tanpa catatan revisi UU: PDIP, Golkar, Nasdem, Hanura, PPP, PKB, dan PAN.

"Setelah rapat intensif dengan pemerintah, fraksi-fraksi memberikan pandangan mininya. Tujuh fraksi menerima tanpa catatan, dua fraksi belum dapat menerima atau menyetujui terutama soal dewan pengawas," ujar Supratman.

Dalam kesempatan yang sama, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly yang mewakili Presiden Joko Widodo bersyukur atas disahkannya revisi UU KPK ini menjadi undang-undang. Ia mengklaim Presiden Jokowi telah menyetujui pengesahan revisi UU itu.

"Kita semua mengharapkan agar rancangan Undang-Undang atas UU 30 Tahun 2002 tentang KPK bisa disetujui bersama," tutur Yasonna.

Sementara itu, pimpinan KPK membentuk tim transisi sebagai respons pengesahan revisi undang-undang. Namun, dalam analisa awal internal KPK, lembaga antirasuah menemukan perubahan si

Pihak KPK menemukan sejumlah perubahan aturan antara poin revisi UU KPK yang disahkan dengan pernyataan presiden. KPK mengindikasikan ada potensi pelemahan kinerja KPK lewat pengesahan revisi undang-undang sehingga perlu mitigasi risiko kinerja lembaga antirasuah itu.

Baca juga artikel terkait REVISI UU KPK atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Andrian Pratama Taher