Menuju konten utama

Sisi Kelam dari $2 Triliun Valuasi Apple

Di tengah pandemi Corona, valuasi Apple sempat menyentuh $2 triliun. Menjadikan perusahaan ini paling bernilai di dunia.

Sisi Kelam dari $2 Triliun Valuasi Apple
Apple store. FOTO/iStockphoto

tirto.id - “Pada pertengahan 1990-an, Apple berada di ujung tanduk,” papar Jack Nicas dalam laporannya di The New York Times. Alasannya, pasca mengkudeta dan membuang Steve Jobs dari Apple hampir sepuluh tahun sebelumnya, penjual minuman bersoda--alias mantan Presiden Pepsi--bernama John Sculley gagal memimpin Apple. Di bawah kendalinya, Apple hanya sukses menghasilkan Newton yang gagal di pasaran. Tidak ada inovasi lain untuk menggantikan lini Mac yang telah uzur.

Nihilnya inovasi diperparah oleh pukulan telak Microsoft. Di bawah kendali Bill Gates, Microsoft memonopoli pasar komputer, mengikat kerjasama dengan perusahaan-perusahaan pembuat komputer untuk menghasilkan PC berharga terjangkau. Saking buruknya situasi, Fred Anderson, yang kala itu menjabat Direktur Keuangan Apple, bahkan harus mengeluarkan obligasi--surat pinjaman--senilai $661 juta agar Apple dapat bertahan.

Menurut hitung-hitungan fiskal, Apple rugi $867 juta dan valuasi perusahaan hanya berada di titik $3 miliar di akhir tahun 2007. Bandingkan dengan Microsoft. Pada tahun yang sama, perusahaan yang bermarkas di Redmond, Washington tersebut memperoleh pendapatan senilai $11,36 miliar, meningkat 31 persen dibandingkan setahun sebelumnya, $8,67 miliar. Dikurangi biaya pengeluaran, Microsoft untung $3,45 miliar. Artinya, andai saja kala itu Apple menyerah dan menjual dirinya, sangat mudah bagi Microsoft membelinya.

Tapi Apple tidak menyerah. Masih merujuk Nicas, Apple malah 'berjudi' mengeluarkan uang senilai $400 juta bukan untuk berinovasi, tetapi untuk membeli NeXT, startup ciptaan Steve Jobs pasca diusir dari Apple.

Ada dua alasan utama Apple membeli NeXT. Pertama, pembelian dilakukan untuk 'memaksa' Jobs kembali ke Apple. Saat Jobs akhirnya pulang, jabatan CEO dikembalikan padanya. Kedua, Apple mengincar NeXTSTEP, sistem operasi yang diciptakan NeXT. Melalui NeXSTEP, Apple memodernisasi Macintosh, merilis Mac OS X setelahnya. NeXSTEP inilah leluhur sesungguhnya dari macOS modern hari ini, juga iOS, juga iPadOS, bukan Macintosh versi Steve Wozniak--pendiri Apple sesungguhnya.

Perjudian Apple melalui pembelian NeXT berhasil. Di bawah kendali Jobs, Apple mempraktekkan ideologi “Think Different”, fokus pada kekuatan yang mereka miliki dan menciptakan produk berkualitas dari kekuatan itu. Akhirnya, perusahaan yang tengah berada di ujung tanduk itu merilis komputer Mac terbaru, juga Macbook. Tak ketinggalan, Apple pun menciptakan iPod, iPhone, dan iPad.

Produk-produk itu sukses besar.

Pada Agustus 2018, alias 42 tahun selepas didirikan, valuasi Apple menyentuh angka $1 triliun. Dua tahun kemudian, tatkala dunia tengah diguncang pandemi Corona, valuasi Apple semakin berlipat ganda. Pada Rabu (19/8) siang, Apple adalah perusahaan bernilai $2 triliun, selepas nilai per lembar sahamnya merangkak ke angka $468,65. Lebih spesifik, peningkatan dari perusahaan bernilai $1 triliun menjadi $2 triliun terjadi hanya dalam tempo sekitar tiga bulan. Alasannya, pada Maret silam, atau tak lama selepas Amerika Serikat menetapkan Corona sebagai bencana, valuasi Apple sempat turun di bawah $1 triliun. Investor panik menyaksikan keadaan tak menentu akibat pandemi. Namun, merujuk Laporan Fiskal Apple (yang belum diaudit) enam bulan terakhir yang berakhir pada Juni, Apple mencatat peningkatan penjualan. Total penjualan produk-produk Apple mencapai angka $170,6 miliar, meningkat dari $166,3 miliar setahun sebelumnya, dengan lini komputer Mac dan iPad sebagai pendongkrak utama. Mac, selama enam bulan terakhir, memberikan sumbangsih senilai $19,6 miliar kepada Apple. Sementara iPad sukses menyuntik uang senilai $22,7 miliar.

Dalam laporan CNBC, Jessica Bursztynsky menyebut bahwa peningkatan penjualan Mac dan iPad tak lain disebabkan oleh pandemi Corona yang memaksa banyak orang di seluruh dunia bekerja dari rumah. Mac dan iPad akhirnya menjadi kebutuhan yang tak terelakan. Fakta ini pun diamini Tim Cook, penerus Jobs. Katanya, kebijakan work from home “jelas-jelas meroketkan penjualan Mac dan iPad”.

Di satu sisi, suksesnya Apple menjadi perusahaan bernilai $2 triliun jelas menggembirakan. Namun, di sisi lain, sukses di tengah, dan karena, pandemi Corona jelas memuakkan. Masalahnya, dalam catatan sejarah Apple, kesuksesan Apple memang erat kaitannya dengan penderitaan sekelompok orang--tanpa mengikutkan pengembang-pengambang aplikasi yang diterkam kebijakan monopolistik App Store--dan kehancuran lingkungan.

Yang Berkorban demi Apple

Tak bisa dipungkiri, produk paling sukses Apple yang mengantarkan perusahaan ini menjadi salah satu yang paling bernilai di dunia tak lain adalah iPhone (beserta ekosistem yang diciptakannya, khususnya App Store). Brian Merchant, editor Motherboard--kompartemen khusus teknologi pada media Vice--dalam bukunya berjudul The One Device: The Secret History of The iPhone (2017), menyebut bahwa iPhone adalah “bintang paling bersinar di seluruh dunia ritel, puncak tertinggi dari segala produk yang diciptakan kapitalisme”. iPhone, singkat kata, mengalahkan semua produk unggulan yang diciptakan berbagai perusahaan di seluruh dunia. Misalnya, di tahun 2016, Toyota Corolla terjual 43 juta unit. Sony PlayStation terjual 382 juta unit. Seri buku Harry Potter terjual 450 juta eksemplar. iPhone, si bintang paling bersinar itu, terjual 1 miliar unit.

Horace Dediu, seorang analis industri yang diwawancarai Merchant, menegaskan bahwa “iPhone bukan hanya ponsel paling laku, tetapi juga alat pemutar musik, video, komputer, dan perangkat apapun paling laku. iPhone, singkat kata, adalah produk paling moncer sepanjang masa.” Atas kesuksesan ini, Merchant menjuluki iPhone sebagai “Jesus Phone”. Namun, kini muncul anggapan bahwa status “Jesus Phone” pindah kepada Android. Tunggu, Android milik Google dan Google, meski akhirnya ikut menciptakan ponsel, gagal mengoptimalkan status kepemilikan Android itu. Ponsel-ponsel Android dibuat oleh banyak perusahaan, dengan Samsung dan Huawei sebagai pemenang. Sayangnya, kembali ke awal, Samsung dan Huawei bukan pemilik Android. Di sisi lain, Apple menggenggam seluruh ekosistem iPhone, dari perangkat keras hingga, tentu saja, App Store.

Sebagai produk ritel, iPhone tidak muncul serta-merta layaknya Big Bang. Pada tataran paling dasar, iPhone adalah produk yang dihasilkan setelah mencampur-baurkan berbagai materi. iPhone 6, yang dibawa Merchant untuk dianalisis di firma konsultan bisnis tambang 911 Metallurgist, dari total berat per unitnya yang berada di angka 129 gram, 24 persen-nya mengandung aluminium. Terdapat tungsten sebesar 0,02 persen dari total berat iPhone. Silikon sebesar 6 persen. Emas sebesar 0,01 persen, lalu timah, besi, litium, sulfur, dan 22 materi lainnya.

Tentu, materi-materi yang menjadi bahan baku paling mendasar iPhone tersebut tidak dihasilkan karyawan-karyawan Apple di 1 Infinite Loop, Cupertino, AS, tetapi oleh buruh kasar di negara-negara berkembang. Timah yang digunakan untuk menyolder atau mematri modul-modul iPhone, misalnya, diakui Apple, beberapa di antaranya, berasal dari perusahaan bernama EM Vinto dan Operaciones Metalúrgicas S.A, perusahaan smelter milik negara dan swasta asal Bolivia. Masalahnya, dua perusahaan itu memperoleh timah yang mereka jual dari suatu gunung bernama Cerro Rico di kota Potosi, Bolivia.

Menurut penelusuran yang dilakukan Merchant, meskipun Cerro Rico sepenuhnya dikuasai perusahaan tambang negara Comibol, mayoritas penambang timah--dan berbagai bahan baku lain--bukanlah pekerja Comibol, melainkan pekerja-pekerja independen yang bekerja dalam status ilegal. Tercatat ada sekitar 15 ribu penambang timah di Cerro Rico, dan untuk menambang di area-area yang sukar dijangkau orang dewasa, anak-anak juga bekerja di sini.

Bagi Merchant, Cerro Rico tak ubahnya “neraka”. Terowongan-terowongan yang sengaja dibuat dengan cara dibom di Cerro Rico untuk menanmbang timah, terasa sangat pengap, menyesakkan, dan panas. Lebih parah, udara di dalam terowongan tambang mengandung debu silika. Jika bekerja terlalu lama, sangat mungkin penambang terkena silikosis alias peradangan pada paru-paru. Atas ganasnya lingkungan Cerro Rico, pada 2008 saja, 60 pekerja yang berusia anak-anak tewas. Jumlahnya tak pernah menurun. Rata-rata para penambang di Cerro Rico memiliki angka usia harapan hidup di kisaran 40 tahun. Salah satu yang terendah di dunia.

Memang, jika beruntung, penambang bisa mengantongi uang $50 per hari, angka yang sangat besar bagi mereka. Namun, karena ganasnya medan pekerjaan, nilai sebesar itu sangat jarang dicapai. Yang paling diuntungkan, tentu saja, adalah penadah timah-timah yang dihasilkan penambang ilegal ini. Dari penadah, timah diserahkan pada EM Vinto dan Operaciones Metalúrgicas S.A.

Karena Cerro Rico terus-terusan ditambang, kerusakan lingkungan tak terelakkan. Perlu dicatat. Ini baru timah dan ini baru Cerro Rico. Untuk memperoleh materi-materi bahan baku iPhone, Apple mendapatkannya dari berbagai lokasi, dari berbagai wong cilik. Tak terkecuali dari Indonesia.

Seperti Cerro Rico di Bolivia, timah juga tersedia di Pulau Bangka, Indonesia. Melalui Foxconn, tangan kanan Apple untuk menciptakan iPhone, timah Bangka juga ikut serta menjadi bahan baku iPhone. Sialnya, kisah timah Bangka mirip dengan Cerro Rico. Menurut Merchant, pada 2014 saja, 1 orang penambang timah tewas per pekan. Kisah lain, kobalt dan tantalum diperoleh Apple dari Republik Demokratik Kongo. Seperti halnya, penambangan kobalt dan tantalum melibatkan anak-anak.

Secara menyeluruh, meskipun satu unit iPhone 6 memiliki berat 129 gram, dibutuhkan kumpulan material seberat 34 kilogram untuk menciptakannya. Bermacam material Bumi seberat 34 kilogram itu hanya dibeli Apple senilai $1, dengan 56 persen dari nilai itu dibayarkan hanya untuk membeli emas. Artinya, ketika sukses menjual 1 miliar unit iPhone pada 2016, Apple menambang 34 miliar kilogram material tambang tersebut dari perut Bumi.

Infografik Penjualan Apple

Infografik Penjualan Apple. tirto.id/Fuadi

Mengekstraksi material tambang perlu air. Tercatat, untuk menciptakan 1 unit iPhone, Apple butuh 100 liter air. Artinya, dibutuhkan 100 miliar liter air untuk 1 miliar iPhone. Selain air, ekstraksi juga kadang membutuhkan sianida, khususnya emas. Untuk mengolah emas yang hanya menyumbang 0,01 persen total berat satu unit iPhone, Apple butuh 20,5 gram sianida.

Derita buruh kasar dan kerusakan lingkungan yang terjadi untuk menciptakan suatu produk, tentu saja, tak hanya dilakukan Apple.

Dalam laporannya untuk Quartz yang terbit Desember silam, Cassie Werber menulis bahwa Apple memang menyatakan akan berbenah setelah menyaksikan kerusakan lingkungan dan penderitaan pekerja tambang, khususnya anak-anak. Apple mengklaim tengah berupaya menggunakan energi terbarukan dan berjanji suatu saat tidak akan menambang lagi material Bumi untuk menciptakan produk. Daur ulang jadi jalan keluar.

Lisa Jackson, Direktur Tata Lingkungan, Kebijakan, dan Inisiatif Sosial Apple, dalam keteranganya pada Werber, menyatakan Apple “kini tengah berupaya menihilkan jejak karbon yang diciptakan perusahaannya”. Masalahnya, untuk memperoleh material Bumi, Apple mendelegasikan ke perusahaan pihak ketiga, dan perusahaan pihak ketiga itu mendelegasikan pula produk jualannya pada perusahaan pihak ketiga lain, begitu seterusnya. Maka, upaya membuat produk yang ramah lingkungan lagi ramah pekerja merupakan usaha yang kompleks.

Selain kompleksitas pihak ketiga, teknologi daur ulang yang benar-benar mumpuni, yang bisa digunakan untuk membuat Apple tidak perlu menambang material dari perut Bumi, belum tersedia. Jackson mengakui hingga hari ini belum ada cara untuk mengekstrak kobalt dari baterai yang sudah tidak terpakai. Belum ada pula teknologi untuk mengambil disprosium dan neodymium dari magnet yang tersemat dalam iPhone bekas.

Salah satu usaha Apple untuk ramah lingkungan adalah dengan menciptakan robot bernama Daisy, robot yang bertugas melucuti produk-produk Apple bekas. Masalahnya, Daisy belum bekerja dengan kapasitas penuh. Saat ini ia baru sanggup melucuti 1,2 juta iPhone bekas per tahun.

Werber akhirnya bertanya, apakah upaya Apple menjadi perusahaan “hijau” sebatas memperkuat citra, merek, atau benar-benar usaha tulus? Hanya Apple yang tahu jawabannya.

Baca juga artikel terkait APPLE atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Windu Jusuf