Menuju konten utama

Sidang Kedelapan Korupsi e-KTP Hadirkan Delapan Saksi

Sidang kedelapan kasus korupsi pengadaan e-KTP kembali digelar dengan menghadirkan 8 saksi untuk membuktikan skenario persekongkolan dari pihak konsorsium proyek ini, Senin (10/4/2017).

Sidang Kedelapan Korupsi e-KTP Hadirkan Delapan Saksi
Mantan Ketua Fraksi Partai Demokrat Anas Urbaningrum (bawah kiri) bersama Mantan Ketua Fraksi Partai Golkar Setya Novanto (bawah kanan) bersaksi dalam sidang kasus dugaan korupsi pengadaan e-KTP dengan terdakwa Irman (kiri atas) dan Sugiharto (kanan atas) di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (6/4). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay.

tirto.id - Sidang kedelapan kasus korupsi pengadaan e-KTP kembali digelar dengan menghadirkan 8 saksi untuk membuktikan skenario persekongkolan dari pihak konsorsium proyek ini, Senin (10/4/2017).

"Pada persidangan e-KTP ke-8 Senin rencana akan hadirkan 8 orang saksi," ujar Kepala Biro Humas KPK Febri Diansyah saat dihubungi Tirto, Jakarta, Senin (10/4/2017).

Kedelapan saksi itu adalah Sambas Maulana (Direktur Keuangan Kementerian Keuangan), Wirawan Tanzil (Presdir PT Avidisc Crestec Interindo), Meidy Layooari (Asisten Chief Engineer Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi), Setya Budi Arijanta (Dirut Penanganan Permasalahan Hukum Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang Jasa Pemerintah/ LKPP), F.X. Garmaya Sabarling (Direktur olah info administrasi Kementerian Dalam Negeri), Berman Jandry Hutasoit (PT Hewlett Packard), Dedi Prijono (Pengusaha Industri Rumah Tangga Elektroplating) dan Kristian Ibrahim Moekmin (Kementerian Luar Negeri).

Kedelapan saksi itu dipanggil karena KPK ingin membuktikan tentang dugaan penyimpangan dalam proyek sebesar Rp5,9 triliun itu.

"Saat ini KPK ingin membuktikan terlebih dahulu proses pengadaan yang diduga dilakukan secara menyimpang," kata Febri.

Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Irene Putri mengatakan, pihaknya akan membuktikan skenario persekongkolan dari pihak konsorsium dalam kasus pengadaan proyek e-KTP.

"Ini kami akan masuk ke konsorsium. Yang tadi sama sebelumnya kami terus bahas soal anggaran, untuk bagian DPR kami rasa cukup. Kami akan mulai buka persekongkolan mulai dari tim Fatmawati, persoalan pengadaan. Kami akan mulai ke sana beberapa waktu ke depan," kata Irene, usai menjalani sidang perkara e-KTP di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (6/4/2017).

Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan membongkar persekongkolan pengadaan e-KTP oleh Tim Fatmawati--tim konsorsium pengatur proyek e-KTP yang berkantor di Ruko Fatmawati milik Andi Agustinus alias Andi Narogong.

JPU KPK Irene Putri usai sidang e-KTP pada Kamis (6/4/2017) malam menyampaikan, KPK sudah cukup membedah proses penganggaran di DPR dan akan berlanjut membongkar praktik pengadaan e-KTP yang dilakukan Tim Fatmawati.

Pada sidang sebelumnya, JPU masih berfokus pada tahap perencanaan dan penganggaran proyek e-KTP. Adapun saksi-saksi yang hadir di tahap tersebut di antaranya, Muhammad Nazaruddin, Anas Urbaningrum, dan Setya Novanto.

Seperti diberitakan sebelumnya, dalam dakwaan terhadap dua pejabat Kemendagri Irman dan Sugiharto, disebut beberapa anggota tim Fatmawati antara lain Jimmy Iskandar Tedjasusila, alias Bobby, Eko Purwoko, Andi Noor, Wahyu Setyo, Benny Akhir, Dudi dan Kurniawan menerima masing-masing sejumlah Rp60 juta terkait proyek sebesar Rp5,95 triliun tersebut.

Di dakwaan disebutkan proses lelang dan pengadaan itu diatur oleh Irman, Sugiharto dan diinisiasi oleh Andi Agustinus.

KPK telah menetapkan pengusaha Andi Agustinus dan mantan Anggota Komisi II DPR RI 2009-2014 Fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani sebagai tersangka dalam perkara tersebut.

Andi disangkakan pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo pasal 64 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.

Sementara Miryam S Haryani disangkakan melanggar Pasal 22 juncto Pasal 35 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pasal tersebut mengatur mengenai orang yang sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar dengan ancaman pidana paling lama 12 tahun dan denda paling banyak Rp600 juta.

Baca juga artikel terkait KORUPSI E-KTP atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Maya Saputri