tirto.id - Nicky Hayden, mantan juara MotoGP 2006 meninggal dunia pada Selasa (23/5/2017) setelah lima hari kritis pasca-kecelakaan mobil di Pantai Rimini, Cesena, Italia. Kepolisian Rimini menyebut penggunaan earphone sebagai penyebab kecelakaan.
Menurut rekaman CCTV di perempatan jalan Via Tavoleto sebagai lokasi terjadinya kecelakaan, pembalap berusia 35 tahun itu diduga sedang asyik mendengarkan musik di iPod-nya. Hayden juga terlihat menerobos lampu merah dan tak memperhatikan bahwa di saat yang bersamaan ada mobil yang akan melintas.
Pembalap “The Kentucky Kid” itu tetap melaju seakan tak ada bahaya apapun di sekitarnya. Ia sempat berhenti sejenak di persimpangan jalan tersebut, dan di sisi lain mobil melaju dalam kecepatan yang terlalu tinggi untuk bisa berhenti atau menghindar. Hayden terhantam mobil dengan keras, ia terpental dan tergeletak tak sadarkan diri di tepi jalan.
Hayden adalah korban kesekian dari pelanggaran keselamatan mengemudi kendaraan bermotor akibat menggunakan fitur penjejal telinga untuk mendengarkan lagu yang berakibat terganggunya konsentrasi selama perjalanan. Jika selama ini berkembang pemahaman bahwa yang berbahaya itu adalah menggunakan ponsel yang digenggam tangan, bukan lewat earphone, sejumlah penelitian justru membuktikan sebaliknya.
David Schwebel adalah profesor psikologi di Universitas Alabama, Birmingham. Dalam sebuah pertemuan American Psychological Association di San Diego, Amerika Serikat, pada Jumat (13/8/2010), ia mempresentasikan hasil risetnya berkenaan dengan bahaya kebiasaan menggunakan earphone untuk melakukan panggilan telepon selama mengemudikan kendaraan bermotor.
Schwebel dan sejumlah rekannya mengajak 110 mahasiswa dengan rata-rata usia 20 tahun untuk berpartisipasi dalam riset dan diminta untuk melaporkan penggunaan earphone maupun menggenggam langsung ponsel saat melakukan telepon saat sedang mengemudi dan tidak. Mereka juga diminta untuk melaporkan jumlah kecelakaan sepeda motor dan tilang lalu lintas selama lima tahun terakhir.
"Hasilnya, tak ada data statistik yang membedakan efek antara penggunaan ponsel lewat genggaman tangan dengan yang memakai earphone. Secara statistik justru keduanya memiliki rekam jejak angka kecelakaan yang setara,” kata Schwebel kepada WebMD.
Kesimpulan serupa juga tersaji dalam riset beberapa peneliti di Universitas Sussex, Inggris, yang dipublikasikan tahun lalu. Pengemudi yang menggunakan earphone untuk bertelepon maupun dengan cara menggenggam ponselnya sama-sama akan teralihkan konsentrasinya. Kondisi ini lebih mudah menuntun si pengemudi dalam sebuah kecelakaan fatal yang mengancam nyawanya maupun korban yang tertabrak.
Kepala penelitian tersebut berkata pada BBC bahwa segala perangkat dan penggunaan ponsel seharusnya dilarang untuk seluruh pengemudi mobil, motor, maupun kendaraan bermotor lain. Langkah pelarangan ini sudah diterapkan oleh pemerintah Perancis dua tahun lalu. Earphone yang terkoneksikan ke ponsel untuk bertelepon ditetapkan sebagai tindakan ilegal. Peraturan yang sama juga berlaku untuk ponsel tanpa kabel yang biasanya tinggal dilekatkan ke telinga.
Peraturan baru ditetapkan pemerintah Perancis karena angka kecelakaan di negara itu naik 3 persen pada 2014 dibanding tahun sebelumnya. Totalnya sudah mencapai 3.388, demikian kutipan France 24. Bagian statistik lain menunjukkan kasus pada 2014 juga mengorbankan 503 pejalan kaki (naik 8 persen) dan 158 pengendara sepeda (naik 7 persen).
Di bagian pembahasan penelitian Schwebel maupun akademisi Universitas Sussex, dapat diambil benang merah bahwa persoalannya bukan earphone maupun ponsel. Keduanya hanya medium bagi akar persoalan dalam berkendara, yakni hilangnya konsentrasi menyetir. Saat kita menyetir, kata Schwebel, kita hanya menggunakan sebagian dari otak saja, padahal untuk bisa aman kita perlu menggunakan 100 persen kesadaran kita.
Menyetir bukanlah sebuah rutinitas yang bisa dilakukan sambil lalu, tegas Schwebel.”Menyetir adalah aktivitas yang sulit dan berat sehingga membutuhkan kemampuan menyeluruh dari otak,” katanya.
Riset Universitas Sussex melibatkan 20 responden laki-laki dan 40 responden perempuan yang dites saat berada di belakang setir mobil virtual. Satu kelompok diperbolehkan untuk menyetir tanpa gangguan sementara kelompok lain menyetir dalam kondisi harus mendengarkan suara yang keluar dari speaker berjarak hampir satu meter dari tempat duduk pengemudi.
Responden yang mendengar suara tersebut akan segera menimpalinya dalam sebuah percakapan ala dua orang yang sedang saling menelpon. Namun, dalam beberapa detik selanjutnya si pengemudi akan mengalami gangguan saat harus menghindari sejumlah masalah virtual yang meliputi pejalan kaki yang masuk ke area khusus kendaraan bermotor, mobil yang datang dari arah berlawanan, dan mobil yang kembali ke jalan setelah keluar dari area parkir.
Kelompok yang tak diganggu juga dihadapkan pada persoalan yang sama, tetapi responden yang juga bercakap-cakap selama perjalanan ternyata tercatat memiliki respons beberapa detik lebih lambat ketimbang reponden yang menyetir tanpa gangguan.
Padahal pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada responden tergolong sederhana, semisal “di mana kamu meninggalkan berkas berwarna biru itu?”. Dalam elaborasi hasil riset ditemukan bahwa area otak yang bertanggung jawab atas konsentrasi mengemudi lebih kecil empat kali lipat saat diberondong pertanyaan simpel tersebut—apalagi untuk pertanyaan berat. Si pengemudi akhirnya mengalihkan konsentrasi untuk memikirkan soal berkas yang sedang ditanyakan, bukan apa yang ada di tengah jalan.
Earphone Ancam Pejalan Kaki
Feras Saad, staf kolumnis untuk website The Tech yang dikelola universitas terkemuka Massachusetts Institute of Technology (MIT), pada dua tahun silam bercerita tentang pengalamannya kala sedang bersepeda di Vassar Street.
Saat sedang berada di jalur sepeda, tiba-tiba seorang pejalan kaki masuk ke jalurnya. Saad tak bisa serta merta berhenti sebab di belakangnya juga padat oleh pesepeda lain yang sedang melaju di arah yang sama. Ia membunyikan bel sepeda sambil berteriak “Awas!” kepada si pejalan kaki. Si pejalan kaki terlihat menyumpal telinga dengan iPod sehingga tak bisa mendengar suara lain di sekelilingnya.
Saad menyadari hal tersebut usai melakukan penghindaran darurat. Ia membelokkan sepedanya secara drastis ke sisi kanan hingga harus “melayang” barang satu detik sebelum akhirnya menabrak pagar kawat yang berdiri di sepanjang sisi jalan. Si pejalan kaki, dengan raut muka tak bersalah, tetap melanjutkan perjalanannya, sama sekali tak sadar bahwa dirinya baru saja menjadi penyebab sebuah kecelakaan.
Saad menyesalkan kebiasaan tersebut dengan mengutip sebuah riset yang dipublikasikan di Jurnal Injury Prevention bahwa kecelakaan yang melibatkan pejalan kaki di AS akibat terlalu sibuk menikmati percakapan atau lagu lewat earphone-nya naik 300 persen sejak tahun 2006 hingga 2012.
Bagian utama penelitian tersebut menyatakan bahwa dalam periode 2004-2011 terdapat 116 korban kecelakaan dan kematian akibat menggunakan earphone selama berjalan kaki. Ada tren kenaikan sebab selama 2004-2005 korbannya hanya berjumlah 16 orang, tetapi pada periode 2010-2011 jumlahnya naik menjadi 47 jiwa. Sebanyak 81 orang dari 116 total korban, atau kurang lebih 70 persennya, berakhir dengan kematian.
Sebagian besar korbannya adalah laki-laki (68 persen) dan di bawah usia 30 tahun (67 persen), satu dari 10 kasusnya melibatkan korban di bawah usia 18 tahun. Dalam bagian yang khusus menyelami kecelakaan yang timbul, 89 persennya terjadi di area kota alias wilayah dengan kepadatan kendaraannya yang tinggi. Kereta api adalah kendaraan yang paling banyak terkait dalam kecelakaan ini (55 persen). Pejalan kaki dengan earphone-nya tak waspada di stasiun hingga akhirnya tertabrak kereta.
“Tuli sementara” adalah efek utama yang dihasilkan dari kebiasaan menggunakan earphone baik untuk bercakap-cakap dalam telepon atau mendengarkan musik dalam volume yang keras. Barangkali kebiasaan ini terlihat asyik, tetapi hasil riset menunjukkan aksi tersebut sangat berisiko, sebab 29 persen dalam kasus yang tercatat ternyata si korban sudah diberi peringatan (teriakan atau klakson) tetapi tak mendengarnya.
Apa yang terjadi pada korban disebut oleh ketua periset, Richard Lichenstein, M.D., adalah "perampasan sensor" baik sensor pendengar maupun penglihatan. Tak hanya tuli terhadap peringatan berbasis suara, si pejalan kaki juga kerap terus melihat ponselnya (bermain media sosial, berkirim pesan, dan lain sebagainya) sehingga tak awas dengan potensi bahaya di depannya.
“Semua orang sadar akan risiko menggunakan telepon seluler atau berkirim pesan saat mengendarai mobil, namun yang kulihat adalah semakin banyak remaja yang terganggu konsentrasinya akibat penggunaan perangkat ponsel pintar maupun earphone yang menyumbat telinga mereka,” ungkapnya dalam website resmi Universitas Maryland.
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti