Menuju konten utama
14 November 1805

Sejarah Sultan Nuku dari Tidore: Lord of Fortune Tak Terkalahkan

Sultan Nuku dari Tidore disebut-sebut satu-satunya pahlawan nasional dalam sejarah Indonesia yang tak pernah kalah melawan penjajah.

Sultan Nuku. tirto.id/Deadnauval

tirto.id - Sultan Nuku Muhammad Amiruddin barangkali satu-satunya pahlawan nasional dalam sejarah Indonesia yang tak terkalahkan. Penguasa Kesultanan Tidore ini berkali-kali memukul mundur Belanda, bahkan akhirnya mampu mengusir penjajah dari Maluku Utara.

Ade Muhammad Nur, produser film yang berniat mengangkat kisah kepahlawanan Sultan Nuku ke layar lebar, meyakini hal itu. "Beliau [Sultan Nuku] adalah pahlawan yang gigih. Satu-satunya pahlawan nasional yang tak pernah kalah saat melawan penjajah,” sebutnya dikutip dari JPNN (3 September 2015).

Selama 25 tahun di perjalanan abad ke-18 Masehi, Nuku berulangkali menghadapi Belanda, bahkan sebelum ia menjadi sultan dan hidup di tanah pelarian. Hebatnya, konon tidak sekalipun ia menelan kekalahan.

Sultan Nuku tampaknya selalu dinaungi keberuntungan. Maka tak heran, julukan The Lord of Fortune pun tersemat, berkah yang selalu mengiringi hidup sang pemimpin besar Kesultanan Tidore hingga wafatnya tanggal 14 November 1805, tepat hari ini 214 tahun silam.

Berjuang dari Tanah Pelarian

“Nuku, dengarkan baik-baik. Kalau kau mau mengangkat senjata dan melawan Belanda, persiapkan dulu alat-alat senjata dan perlengkapan. Jangan terburu nafsu,” demikian pesan sang ayah yang selalu diingat Nuku.

Lahir pada 1738 dengan nama Muhammad Amiruddin, Pangeran Nuku adalah anak kesayangan Sultan Muhammad Mashud Jamaluddin, pemimpin Kesultanan Tidore yang bertakhta sejak 1757.

Sultan Jamaluddin sering tak sepakat dengan kepentingan VOC/Belanda yang ingin menguasai perdagangan di Maluku. Hingga pada Mei 1779, dikutip dari The World of Maluku (1993) karya Leonard Y. Andaya, Sultan Jamaluddin ditangkap atas perintah Gubernur Jenderal VOC.

Ayahanda Pangeran Nuku ini kemudian dibawa ke Batavia untuk ditahan. Dari Batavia, Sultan Jamaluddin diasingkan ke Pulau Sailan atau Sri Lanka hingga wafat di sana. Sebagai gantinya, Belanda menunjuk Patra Alam, adik Sultan Jamaluddin, sebagai Sultan Tidore yang baru.

Kendati sudah menjadi raja, namun Sultan Patra Alam belum tenang karena keberadaan Pangeran Amiruddin alias Nuku dan adiknya yang bernama Pangeran Kamaluddin. Jelas, dua pangeran yang sebenarnya merupakan pewaris sah takhta Tidore ini merupakan ancaman bagi kekuasaannya.

Dengan dukungan dari Belanda, Sultan Patra Alam memerintahkan penangkapan terhadap kedua keponakannya itu. Beruntung, Pangeran Amiruddin alias Nuku bisa lolos, sedangkan adiknya, Pangeran Kamaluddin, tertangkap.

Abdul Hamid Hasan dalam Aroma Sejarah dan Budaya Ternate (2001) menyebutkan, Pangeran Nuku melarikan diri Halmahera bagian selatan. Nuku pun langsung mempersiapkan diri untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda sekaligus pamannya yang kini menduduki singgasana Tidore.

Pangeran Nuku mulai menghimpun kekuatan dengan mengirimkan utusan ke tempat-tempat yang kala itu termasuk ke dalam wilayah kekuasaan Kesultanan Tidore, termasuk Seram bagian timur hingga Kepulauan Raja Ampat di Papua.

Para pemimpin lokal di daerah-daerah tersebut ternyata bersedia mendukung perjuangan Pangeran Nuku. Selain jengah terhadap Belanda, kekuasaan Patra Alam di Kesultanan Tidore juga tidak mendapatkan legitimasi yang kuat.

Patra Alam, tulis M. Adnan Amal dalam Kepulauan Rempah-Rempah (2016), tidak berhak menjabat sebagai sultan karena hanya merupakan keturunan raja muda. Sebaliknya, Nuku dinilai paling layak menduduki takhta lantaran ia adalah anak laki-laki pertama penguasa Tidore sebelumnya yakni Sultan Jamaluddin.

Atas dasar itulah maka pada 11 November 1781 Nuku diangkat sebagai pemimpin oleh para pendukungnya di tanah pelarian dengan gelar Sri Maha Tuan Sultan Amiruddin Syaifuddin Syah Kaicil Paparangan.

Istilah “Kaicil Paparangan” berarti “Raja Perang” yang sekaligus menjadi sinyal bahwa Nuku siap berperang demi menuntut haknya dan mengusir kaum penjajah dari Maluku Utara.

Nuku tidak hanya dibantu oleh raja-raja kecil di sebagian kawasan Indonesia timur saja. Ia juga melibatkan orang-orang Mindanao (kini termasuk wilayah Filipina) dan mendapat bantuan dari Inggris yang memang menjadi pesaing terkuat Belanda.

Sultan yang Selalu Diberkati

Pada 1783, pasukan Nuku menyerbu pos Belanda di Halmahera dan memperoleh hasil gemilang. VOC yang murka mencoba membalas serangan, namun selalu gagal karena Nuku menerapkan strategi pertempuran laut dengan sangat baik yang membuat Belanda kerepotan dan mengalami kerugian besar.

Di tahun yang sama, Belanda mencopot Sultan Patra Alam dari singgasananya lalu membuangnya ke Jawa. Salah satu sebabnya adalah lantaran Patra Alam atas nama Kesultanan Tidore terindikasi telah melakukan kerja sama rempah-rempah dengan pihak lain tanpa sepengetahuan VOC.

Tidak ada pilihan lain bagi Belanda untuk menaikkan Pangeran Kamaluddin, adik Pangeran Nuku, sebagai Sultan Tidore berikutnya. Sementara itu, perlawanan yang dilakukan Nuku dari negeri pelarian masih berlanjut dan berlangsung cukup lama.

Elvianus Katoppo Nuku: Sultan Saidul Jehad Muhammad el Mabus Amirudin Syah Kaicil Paparangan (1984) mencatat, salah satu pertempuran penting terjadi pada 1791. Belanda yang mendatangkan bantuan dari Ambon menggempur pasukan Nuku. Namun, serangan tersebut berhasil diatasi, bahkan Belanda terpaksa mundur.

Infografik Mozaik Sultan Nuku

Infografik Mozaik Sultan Nuku. tirto.id/Nauval

Perang demi perang berlangsung dalam beberapa tahun berikutnya. Selama masa genting itu, upaya Belanda untuk menaklukkan Nuku tidak pernah membuahkan hasil. Sebaliknya, Nuku berulangkali membuat Belanda kewalahan.

Itulah alasan mengapa Nuku diserahi gelar sebagai Jou Barakati atau “Tuan yang Selalu Diberkati”. Orang-orang Inggris, yang mendukung perlawanan Nuku terhadap Belanda, menjulukinya The Lord of Fortune.

Tanggal 12 April 1797, seperti yang tertulis dalam Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900 (1987) karya Sartono Kartodirdjo, angkatan laut Nuku yang terdiri dari 79 kapal dan sebuah kapal Inggris muncul di Tidore. Lewat serangan massal, Tidore akhirnya bisa direbut.

Belanda terpaksa angkat kaki bersama Sultan Kamaluddin yang melarikan diri ke Ternate. Sehari kemudian, tanggal 13 April 1797, Pangeran Nuku dinobatkan menjadi Sultan Tidore dengan gelar Sultan Syaidul Jehad Amiruddin Syaifuddin Syah Muhammad El Mab’us Kaicil Paparangan Jou Barakati Nuku.

Dari Ternate, Belanda yang rupanya belum menyerah melancarkan serangan ke Tidore pada 15 Juli 1799. Tujuannya, dikutip dari Maluku Utara: Perjalanan Sejarah 1250-1800 (2002) yang disusun M. Adnan Amal, adalah menduduki Tidore sekaligus menangkap Sultan Nuku. Namun, justru Belanda yang dipukul mundur.

Dua tahun berselang, giliran Sultan Nuku yang mengirim serangan balasan ke Ternate. Ratusan perahu yang membawa lebih dari 5 ribu prajurit mengepung benteng Belanda di Ternate. Belanda menyerah dan terpaksa hengkang ke Ambon.

Maluku Utara untuk sementara terbebas dari cengkeraman penjajah berkat andil besar Sultan Nuku. Di bawah kepemimpinannya, Tidore kembali meraih kejayaan, wilayahnya meliputi Tidore, sebagian Halmahera, Seram Timur, hingga ke pesisir barat serta utara Papua, termasuk Raja Ampat dan sekitarnya.

Di tengah suasana damai dan tenang, Sultan Nuku berpulang pada 14 November 1805 dalam usia 67 tahun. The Lord of Fortune mewariskan masa-masa emas Kesultanan Tidore sebagai negeri yang diberkati dan berdaulat.

Atas segala pengorbanan dan perjuangan Sultan Nuku, Pemerintah RI menetapkannya sebagai pahlawan nasional berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 071/TK/1995 tanggal 7 Agustus 1995.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Humaniora
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Ivan Aulia Ahsan