tirto.id - Gary Bloom, psikoterapis sekaligus penyiar berita sepakbola dari Inggris Raya, malam itu bertugas menjadi komentator pada pertandingan antara kesebelasan Turki menghadapi Korea Selatan. Stadion Daegu yang berkapasitas lebih dari 66 ribu penonton, dijadwalkan menggelar pertandingan perebutan tempat ketiga dalam Piala Dunia 2002. Tuan rumah Korea Selatan mencatatkan rekor yang cukup impresif: menang atas Spanyol dan Italia. Namun, di semifinal mereka dikalahkan Jerman.
Di balik ruangan khusus media di stadion itu, Gary Bloom dan beberapa kru menyiapkan segala peralatan siaran. Ia harus fokus memperhatikan jalannya pertandingan, detik demi detik.
“Daegu bersiap untuk pesta perpisahan yang emosional bagi tim Korea [Selatan] yang sedang berjuang ini,” kata Gary membuaka siaran.
Belum sepenuhnya selesai menuturkan kalimat pertamanya, tiba-tiba ia tersentak akibat gol kilat. Penyerang Turki, Hakan Sukur, memanfaatkan kelalaian pemain bertahan Korea Selatan, Hong Myung-bo, dalam mengontrol bola kemudian melepaskan tembakan kaki kiri yang tidak terlalu bertenaga. Kiper Lee Woon-jae dipaksa memungut bola dari gawangnya sendiri.
Bagi Hakan Sukur gol itu adalah gol pertamanya pada Piala Dunia 2002. Gol itu makin istimewa karena mencatatkan rekor sebagai gol tercepat yang terjadi di putaran final Piala Dunia sepanjang masa. Menurut catatan resmi FIFA--otoritas organisasi sepakbola dunia--gol itu tercipta pada detik ke-10,8.
Piala Dunia 2002 memang punya cukup banyak catatan rekor serba pertama. Ini adalah Piala Dunia yang pertama kali digelar di milenium baru. Selain itu, untuk pertama kalinya perhelatan akbar Piala Dunia digelar di Asia, artinya pertama kali digelar di luar benua Eropa dan Amerika. Juga untuk pertama kalinya tuan rumah dibagi di dua negara, Korea Selatan dan Jepang.
Publik sepakbola Eropa bahkan mengalami kebiasaan pertama yang belum pernah terjadi sebelumnya. Mereka dipaksa menonton Piala Dunia pada pagi hari karena perbedaan zona waktu. Hal ini membuat sejumlah bar dan beberapa rumah makan di Eropa membuka lapak jualan jauh lebih awal dari biasanya agar dapat menggelar acara nonton bareng tepat waktu.
Kejutan Korea Selatan dan Nasib Nahas Prancis
Di antara dua tuan rumah, Korea Selatan membukukan pencapaian yang lebih trengginas. Mereka maju hingga babak semifinal setelah mengalahkan beberapa raksasa sepakbola dunia seperti Portugal, Italia, dan Spanyol. Capaian ini membuat Korea Selatan menjadi kesebelasan nasional Asia pertama yang sanggup maju hingga babak empat besar Piala Dunia.
Kejutan lain terjadi pada pertandingan pertama, Prancis takluk di tangan Senegal. Kejutan ini bukan hanya kekalahan tim favorit atas tim ‘anak bawang’, tapi lebih tragis lagi karena Prancis adalah juara bertahan. Bersama Cina, Ekuador, dan Slovenia, Senegal adalah tim debutan di Piala Dunia.
Pada 31 Mei 2002, tepat hari ini 19 tahun lalu, pesta pembukaan diadakan di Seoul World Cup Stadium. Sepp Blater, Ketua FIFA dan Wakil Ketua asosiasi sepakbola Korea Selatan Dr Chung Mong-Joon, memberikan sambutan yang ditimpali tepuk tangan meriah.
Menjelang akhir upacara seremonial, Presiden Korea Selatan Kim Dae-Jung meresmikan gelaran akbar itu. "Saya menyatakan, gelaran Piala Dunia FIFA 2002 dibuka."
Setelah itu, stadion disiapkan untuk menggelar pertandingan pertama: Prancis melawan Senegal. Wasit yang bertugas adalah Ali Muhamed Bujsaim, wasit kawakan dari Uni Emirat Arab. Senegal, tim debutan itu, tidak turun dengan formasi 4-4-2 yang biasa mereka mainkan, melainkan formasi klasik 5-4-1.
“Di era ketika kemampuan individu sangat diandalkan dalam permainan, Senegal tampil dengan gaya permainan kerja sama tim yang sangat terorganisasi. El Hadji Diouf jadi figur penting dalam mengatur serangan tim ini,” tulis penyusun buku program resmi, The Official Programme 2002 FIFA World Cup Korea-Japan (2002:32).
Tak heran, pada pertandingan pembuka itu lima pemain bertahan Senegal diturunkan oleh pelatih Bruno Metsu untuk membendung serangan Prancis masih dihuni oleh para pemain juara dunia empat tahun sebelumnya. Para pemain Prancis itu antara lain Patrick Vieira, Lilian Thuram, Thierry Henry, David Trezeguet, Emmanuel Petit, dan kiper Fabien Barthez. Tapi ada satu nama yang tidak muncul: Zinedine Yazid Zidane.
Zidane yang keturunan Aljazair menjadi andalan sekaligus otak pengatur serangan Prancis. Dia juga pencetak dua gol ke gawang Brazil pada final tahun 1998. Namun, pada pertandingan kali ini dia harus absen lantaran dibekap cedera paha kiri beberapa hari sebelumnya. Nyatanya, tak ada yang bisa menggantikan Zidane meski mereka punya pelapis hebat seperti Youri Djorkaeff dan Emmanuel Petit.
Dan malapetaka akhirnya tiba. Memasuki menit ke-30, ketika bola berhasil direbut dari kaki Djorkaeff, El Hadji Diouf dengan cepat menyisir dari sisi kiri, melesakkan bola ke tengah, dan menciptakan kemelut di mulut gawang. Celah sempit pun terbuka dan Papa Bouba Diop melesakkan bola ke gawang Prancis. Para pemain Senegel merayakan gol itu dengan menari di salah satu pojok lapangan.
Setelah kekalahan itu, Prancis bermain imbang 0-0 melawan Uruguay. Lalu pada pertandingan terakhir fase grup melawan Denmark, mereka keok 0-2 dan akhirnya pulang lebih cepat. Kepulangan Prancis itu adalah kepulangan juara bertahan pertama di fase grup sejak Brazil mengalaminya tahun 1966.
“Saya pikir kami mendapatkan apa yang pantas buat kami. Mungkin komitmen kami kurang dan akhirnya kami gagal memenangkan pertandingan yang seharusnya kami menangkan,” ungkap Vieira seperti dilansir The Guardian.
Gol Beckham, Kartu Merah Ronaldinho, dan Kecemerlangan Ronaldo
Nasib Argentina tidak jauh berbeda. Tim unggulan ini harus tersingkir di fase grup. Mereka kalah 0-1 dari Inggris, menang 1-0 atas Nigeria, dan imbang 1-1 melawan Swedia. Kemenangan Inggris atas Argentina punya cerita tersendiri. David Beckham, kapten tim Inggris, mencetak gol kemenangan emosional lewat titik putih. Gol penalti itu menjadi penting karena empat tahun sebelumnya ia diganjar kartu merah setelah menendang jatuh Diego Simeone, pemain tengah Argentina.
Peristiwa lain yang dikenang publik sepakbola dalam Piala Dunia 2002 adalah adalah ketika Ronaldinho diganjar kartu merah, selang beberapa menit setelah menyarangkan gol spektakuler ke gawang David Seaman. Ronaldinho menjadi pemain Brazil pertama dan satu-satunya yang diganjar kartu merah di turnamen itu.
Partai final mempertemukan Brazil melawan Jerman yang digelar di Stadion Internasional Yokohama--kini Nissan Stadium. Stadion dengan kapasitas 74 ribu penonton itu memegang rekor sebagai stadion dengan kapasitas penonton terbanyak selama 21 tahun, sebelum akhirnya dikalahkan oleh Japan National Stadium pada 2019.
Ronaldinho bisa turun kembali. Bersama dengan Rivaldo dan Ronaldo, mereka membentuk trio penyerang 3R yang menakutkan. Aksi saling serang terjadi dengan sengit. Secara kualitas, Jerman kalah tipis. Para pandit bahkan sebenarnya tidak menduga Jerman bisa melesat ke partai final. Tapi kejeniusan pelatih Rudolf "Rudi" Völler dan asistennya Michael Skibbe terbukti sanggup membawa Jerman ke partai akbar itu.
Di sisi lain, pelatih Brazil, Luiz Felipe Scolari justru dijejali talenta-talenta istimewa. Selain trio 3R, dia juga punya Roberto Carlos, Marcos Cafu, Lucio, dan lain-lain.
Babak pertama berakhir imbang tanpa gol. Barulah pada menit ke-67, gol pertama tercipta. Tembakan Rivaldo gagal dijinakkan dan bola liar disambar Ronaldo yang sekaligus mencatatkan namanya di papan skor. Ini merupakan gol ke-7 Ronaldo selama Piala Dunia 2002. Dan di menit ke-79 Ronaldo lagi-lagi merobek gawang Jerman. Oliver Kahn, peraih penghargaan penjaga gawang terbaik di turnamen itu, gagal menepis sepakan mendatar Ronaldo ke sisi kiri gawangnya.
Skor 2-0 untuk keunggulan Brazil bertahan hingga pertandingan usai. Brazil mengakhiri perhelatan ini dengan sangat manis.
Editor: Irfan Teguh Pribadi