Menuju konten utama
Sejarah Indonesia

Sejarah Kutai Martapura dan Prasasti Kerajaan Tertua di Indonesia

Kutai Martapura disebut-sebut sebagai kerajaan tertua di Indonesia, setidaknya berdasarkan bukti-bukti atau prasasti sejarah yang ditemukan.

Sejarah Kutai Martapura dan Prasasti Kerajaan Tertua di Indonesia
Prasasti Kerajaan Kutai. wikimedia commons/free

tirto.id - Kutai Martapura (Martadipura) disebut-sebut sebagai kerajaan tertua di Indonesia, setidaknya berdasarkan bukti-bukti atau prasasti sejarah yang ditemukan. Kerajaan ini berbeda dengan Kerajaan Kutai Kartanegara meskipun diperkirakan eksis di periode yang sama dan nantinya menjadi satu.

Dalam buku Mengenal Kerajaan-kerajaan Nusantara (2009:10), Deni Prasetyo menerangkan bahwa lokasi Kerajaan Kutai Martapura terletak di hulu Sungai Mahakam, Muara Kaman (kini termasuk wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara), Kalimantan Timur.

Kerajaan bercorak Hindu ini didirikan Kudungga yang sebelumnya merupakan kepala adat sekaligus pemuka agama di Kalimantan Timur. Di sana, Kudungga menyebarkan agama hingga akhirnya mendirikan kerajaan pada sekitar tahun 400 Masehi atau abad ke-3.

Setelah menjadi kerajaan, pemerintahan diwariskan secara turun-temurun ke anak Kudungga. Penerus Kudungga adalah Asmawarman selaku anaknya, kemudian dilanjutkan oleh Mulawarman yang merupakan cucunya.

Prasasti Kerajaan Kutai Martapura

Sejarah adanya keberadaan Kerajaan Kutai dibuktikan dalam tujuh Prasasti Yupa yang telah ditemukan. Batu tertulis ini diamankan dari bukit Brubus, Muara Kaman, lalu dipindahkan ke Museum Nasional Indonesia.

Berdasarkan buku Riwajat Indonesia I (1952:8), Poertbatjaraka menjelaskan, prasati itu berbahasa Sanskerta, bahasa tulen India, dan beraksara Pallawa dari India Selatan.

Dengan aksara dan bahasa yang digunakan, Kerajaan Kutai dapat dianggap sebagai kerajaan yang menganut kepercayaan Hindu Syiwa. Hal ini dibuktikan dalam salah satu prasasti terdapat kata vaprakecvara yang memiliki arti "lapangan luas untuk pemujaan agama (Hindu)".

Selain itu, dalam buku Sejarah Nasional Indonesia II (1993:31) yang ditulis oleh Nugroho Notosusanto dan kawan-kawan, diterangkan bahwa prasasti yang ditemukan itu mencatat silsilah raja-raja.

“Sang Mahārāja Kundungga, yang amat mulia, mempunyai putra yang mashur, Sang Aśwawarman namanya, yang seperti Angśuman (Dewa Matahari) menumbuhkan keluarga yang sangat mulia. Sang Aśwawarmman mempunyai putra tiga, seperti api (yang suci). Yang terkemuka dari ketiga putra itu ialah Sang Mūlawarmman, raja yang berperadaban baik, kuat, dan kuasa. Sang Mūlawarmman telah mengadakan kenduri (selamatan yang dinamakan) emas-amat-banyak. Untuk peringatan kenduri (selamatan) itulah tugu batu ini didirikan oleh para Brahmana.”

Selain bukti yang tercatat dalam prasasti, Kerajaan Kutai juga tertulis dalam Kitab Salasilah Raja dalam Negeri Kutai Kertanegara yang ditulis dengan bahasa Arab Melayu.

Kejayaan dan Keruntuhan Kutai Martapura

Kerajaan Kutai Martapura berada di jalur perdagangan internasional pada zaman itu. Dengan begitu, para pedagang yang melewati Selat Makassar, Filipina, serta Cina menjadikan pelabuhan Kutai sebagai tempat singgah.

Pada masa pemerintahan Mulawarman, Kerajaan Kutai Martapura mencapai masa kejayaannya. Mulawarman dikenal sebagai pemimpin yang baik hati dan hormat kepada para brahmana. Berkat itu, Mulawarman sangat diagungkan oleh penduduk Kutai Martapura.

Setelah masa pemerintahan Mulawarman usai, Kerajaan Kutai Martapura mulai mengalami kemunduran. Maharaja Dharma Setia yang merupakan pemimpin terakhir kerajaan ini tewas dalam perang melawan kerajaan tetangga, Kutai Kartanegara.

Maharaja Dharma Setia terbunuh dalam peperangan di tangan Raja Kutai Kartanegara ke-13, Aji Pangeran Anum Pandi Mendapa.

Setelah kehancurannya, wilayah Kerajaan Kutai Martapura dikuasai oleh Kerajaan Kutai Kartanegara yang nantinya dikenal sebagai kerajaan bercorak Islam yang memegang kekuasaan di kawasan Kalimantan Timur.

Baca juga artikel terkait SEJARAH KERAJAAN atau tulisan lainnya dari Yuda Prinada

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Yuda Prinada
Penulis: Yuda Prinada
Editor: Iswara N Raditya