tirto.id - Komisi Disiplin (Komdis) PSSI memberikan sanksi bagi klub Liga 1 Persib Bandung terkait insiden tewasnya suporter jelang laga Persib vs Persija yang berlangsung pada 23 September 2018. Sidang Komdis PSSI menyimpulkan terdapat sejumlah pelanggaran disiplin yang membuat klub, suporter, dan panitia penyelenggara pertandingan dijatuhi hukuman.
Sanksi untuk klub, misalnya, berupa pertandingan kandang di luar Pulau Jawa (Kalimantan) tanpa penonton sampai akhir musim kompetisi 2018, serta pertandingan home tanpa penonton di Bandung sampai setengah musim kompetisi tahun 2019.
Untuk suporter, Komdis juga memberikan sanksi berupa larangan untuk menyaksikan pertandingan Persib Bandung pada saat home maupun away serta pertandingan Liga 1 lainnya sejak putusan ini ditetapkan sampai pada setengah musim kompetisi 2019.
Sementara untuk panitia penyelenggara pertandingan, sanksinya adalah menghukum ketua panitia pelaksana pertandingan dan security officer berupa larangan ikut serta dalam kepanitiaan pertandingan Persib selama dua tahun. Panitia juga didenda sebesar Rp100 juta.
Namun demikian, Ketua Viking Frontline Tobias Ginanjar mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Komdis PSSI bisa diartikan sebagai tebang pilih apabila tidak memberlakukan aturan matang bagi semua klub.
Masalahnya, kata Tobias, selama ini dirinya tidak pernah mengetahui apa saja yang menjadi dasar pemberian hukuman tersebut. Semua dibuat berdasarkan keputusan sidang yang bisa saja disesuaikan dengan kondisi tim itu pada saat kejadian.
Misalnya, Tobias mencontohkan, sanksi berat yang diberikan Komdis PSSI kepada Persib terkait kejadian pengeroyokan Haringga Sirla. Tobias mengatakan bukan kali ini saja ada pengeroyokan terhadap suporter. Namun, sanksi yang dijatuhkan tidak seberat yang diterima Persib.
“Makanya perlu diterapkan sanksi atau konsekuensi kalau kejadian serupa terjadi lagi kepada seluruh tim [klub]. Jangan tiap kali kejadian baru sidang lalu berbeda-beda sanksinya. Bisa menimbulkan dugaan tebang pilih,” kata Tobias.
Ketidakjelasan Kriteria Sanksi oleh PSSI
Bila mengacu pada sanksi-sanksi yang pernah dijatuhkan Komdis PSSI, maka pernyataan Tobias ada benarnya. Sebab, setiap pelanggaran yang sama dalam sepakbola dan ditangani oleh Komdis PSSI selalu menghasilkan keputusan yang beragam. Hal ini kemudian yang memunculkan dugaan tebang pilih pada penyelesaian kasus oleh PSSI.
Selama ini, Komdis PSSI memang sering menjatuhkan sanksi yang berbeda kepada setiap klub, meskipun pelanggarannya sama. Misalnya, hasil sidang Komdis PSSI pada 13 September 2017 lalu. Ada tiga klub yang kedapatan melempar botol air, yaitu: Bhayangkara FC, Persipura Jayapura, dan Madura United. Ketiganya masing-masing mendapat denda Rp22,5 juta, Rp10 juta, dan Rp67,5 juta.
Contoh lainnya adalah saat hasil sidang Komdis PSSI pada 24 Agustus 2017. Saat itu, Persik Kediri menyalakan petasan dan mendapat denda Rp10 juta, sedangkan Persigo Semeru FC menyalakan flare dan mendapat denda Rp15 juta. Hal yang sama terjadi dalam penyelesaian kasus Ricko Andrian yang dikeroyok sesama pendukung Persib Bandung. Dalam kasus itu, Persib hanya dijatuhi hukuman 5 laga tanpa penonton.
Pada laga PSMS Medan melawan Persita Tangerang, misalnya, suporter Persita bernama Banu Rusman juga tewas dikeroyok. Akan tetapi, Komdis PSSI hanya menghukum PSMS Medan 4 laga tanpa penonton dan denda Rp30 juta. Lagi-lagi, tidak ada alasan pasti soal pemberian hukuman tersebut.
Menanggapi hal ini, koordinator Save Our Soccer Akmal Marhaly menegaskan seharusnya Komdis PSSI menjelaskan dasar pemberian sanksi tersebut. Selama ini, kata dia, kriteria sanksi yang dijatuhkan Komdis PSSI tidak jelas dan tanpa diketahui masyarakat dan pegiat sepak bola.
“Kan tidak pernah jelas. Kita hanya tahu sanksinya apa, tapi enggak tahu juga kenapa sanksi itu yang diberikan,” katanya pada Tirto, Selasa (2/10/2018).
Akmal menegaskan, Komdis PSSI juga tidak bisa serta-merta memberikan sanksi, lalu merasa semuanya sudah selesai. Masalahnya, kata dia, apabila terjadi kasus serupa, hukuman yang diterapkan belum tentu sama. Lagipula, kasus yang menyebabkan korban jiwa di antara suporter sebelumnya tak terselesaikan.
“Jangan hanya hukuman berat sekarang. Yang sebelumnya itu harus diselesaikan juga. Kalau tidak, jadinya tak adil. Lalu bagaimana juga kalau ada yang berikutnya?” kata Akmal.
Sanksi Diberikan Secara Subjektif
Ketua Komdis PSSI Asep Edwin mengaku pemberian sanksi itu tertera dalam Kode Disiplin PSSI. Dalam aturannya, kata dia, segala sesuatu yang berkaitan dengan pelanggaran berbasis kuantitatif sudah diatur secara tegas.
Misalnya, untuk pelemparan botol. Jika botol tersebut masih berisi, maka dendanya Rp50 juta untuk jumlah satu sampai sepuluh botol. Sementara untuk botol kosong, dendanya Rp30 juta untuk jumlah yang serupa.
Masalahnya, besaran denda setelah sepuluh tidak ditentukan. Jika menilik pada contoh hasil sidang Komdis PSSI di atas, maka aturan ini juga tak diterapkan secara tegas. Buktinya masih ada denda beragam padahal harusnya dendanya sama.
Terkait ini, Asep menegaskan, di setiap pertandingan selalu ada pengawas pertandingan. Mereka bertugas mencatat apa yang terjadi, termasuk jumlah botol yang dilempar. “Laporan pengawas pertandingan adalah bukti yang kuat. Dianggap benar,” kata Asep, pada Jumat (29/9/2018).
Akan tetapi, Asep menegaskan untuk masalah yang bersifat kualitatif seperti halnya pengeroyokan, kriterianya selalu ditentukan dalam sidang. Sebab, belum ada aturan baku yang mengatur hal tersebut. Biasanya, sanksinya bisa berupa denda hingga diskualifikasi. Dan Komdis diberikan kewenangan untuk menimbang hal ini.
Asep mengklaim, lima anggota Komdis PSSI saat ini tidak berafiliasi dengan klub manapun dan mereka dipilih secara musyawarah mufakat oleh seluruh perwakilan klub. Namun demikian, hal ini juga yang membuat hukuman berat sulit dijatuhkan. “Kalau saya mau sanksinya diskualifikasi, lalu empat lainnya tidak setuju, gimana?” katanya.
“Setiap orang punya pretensi masing-masing,” kata Asep.
Untuk mengkategorikan bahwa pelanggaran penganiayaan ringan sampai berat, Asep sendiri tidak bisa menjawab dengan tegas. Menurutnya aturan itu sepenuhnya bergantung pada sidang. Masalahnya, sidang ini dilakukan secara tertutup.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Abdul Aziz