tirto.id - Lima miliar adalah sebuah angka yang besar, apalagi jika ditambah simbol “$” di depannya. Nilai yang setara dengan lebih dari Rp70 triliun itu merupakan angka yang harus dibayar Facebook setelah The Federal Trade Commission (FTC) memutuskan bahwa si raksasa media sosial bersalah karena melanggar kesepakatan privasi pengguna.
Sanksi $5 miliar bagi Facebook sukses mengkerdilkan sanksi senilai $22,5 juta yang dijatuhkan FTC pada Google di 2012 lalu karena terbukti melakukan pelacakan penggunanya tanpa persetujuan. Di belahan dunia lain, sanksi pada Facebook ini pun sukses mengalahkan hukuman bagi Google senilai 2,42 miliar Euro (2017) dan 4,34 miliar Euro (2018) yang dijatuhkan otoritas Uni Eropa.
Sayangnya, $5 miliar memang besar. Namun, Facebook adalah perusahaan besar, dan pendapatan mereka tahun lalu ada di angka $55 miliar. Jessica Rich, mantan direktur FTC menyatakan pada The Washington Post bahwa “meskipun orang-orang berpikir bahwa $5 miliar sangat mudah dibayar Facebook, tetap saja angkanya mencengangkan dan dapat merusak margin keuntungan”. Namun, efek hukuman ini kemungkinan tak mengusik terlalu lama Facebook.
Rich menekankan bukan jumlahnya yang terpenting, tetapi bahwa hukuman FTC adalah “sebuah pesan” untuk para perusahaan sejenis lebih peduli melindungi data penggunanya.
Hukuman $5 miliar pada Facebook adalah proses panjang, yang bermula pada akhir Maret 2018 tatkala FTC mengumumkan sedang melakukan investigasi pada Facebook. Investigasi itu menyasar sejauh mana pelanggaran privasi dilakukan Facebook, khususnya terkait skandal Cambridge Analytica.
Cambridge Analytica adalah konsultan politik yang dipekerjakan Donald Trump untuk memenangkan Pemilu Presiden 2016. Cambridge Analytica membantu memenangkan Trump dengan cara baru: memanfaatkan data dari Facebook.
Film dokumenter The Great Hack (2019) menyebutkan dukungan Cambridge Analytica untuk memenangkan Trump termaktub dalam proyek bernama “Alamo.” Tugasnya sederhana: beriklan senilai $1 juta setiap hari di Facebook tentang keunggulan Trump atau kelemahan lawannya, Hillary Clinton. Konten yang diiklankan sifatnya terpersonalisasi (personalized) sehingga memanfaatkan data si pengguna Facebook itu sendiri.
Data pengguna Facebook diambil melalui aplikasi bernama The One Click Personality Test. Alih-alih menambang data para pengguna yang menggunakan aplikasi itu, Cambridge Analytica bermain curang. Ia pun mengambil data-data dari teman-teman si pengguna aplikasi tanpa persetujuan pengguna. Akhirnya, Cambridge Analytica sukses memiliki 5.000 titik data pada setiap pemilih.
Titik data yang lengkap itu, mengutip keterangan Chief Executive Officer Cambridge Analytica Alexander Nix, sukses menciptakan “profil psikologis” pemilih AS.
“Karena kepribadian yang mendorong perilaku dan perilaku jelas mempengaruhi caramu memilih,” tegas Nix.
Christopher Wylie, mantan ilmuwan data Cambridge Analytica, mengatakan bahwa “salah besar bila menyebut Cambridge Analytica sebagai perusahaan murni data atau algoritma" karena sesungguhnya ia adalah "mesin propaganda".
Facebook kemudian diputuskan bersalah karena lalai melindungi data penggunanya.
Dalam opininya di The Economist, musisi asal Amerika Serikat William James Adams alias will.i.am menyatakan bahwa data tak ubahnya air yang tak terpisahkan dari hak asasi manusia. Menurutnya, data harus diperlakukan seperti properti: harus ada kompensasi yang diberikan jika digunakan oleh entitas lain. Alasannya, data merupakan bahan mentah yang bisa disulap menjadi mesin pencetak uang.
Founding Director DIPLO Jovan Kurbalija mengungkap bahwa data digunakan dalam dua pendekatan oleh perusahaan internet. Pertama, data sebagai “mata uang”, lebih tepatnya alat pertukaran antara pengguna dengan layanan yang ditawarkan perusahaan. Kedua, data sebagai “bahan bakar” big data yang diakumulasi hingga mampu menampakkan pola-pola tertentu tentang bagaimana manusia hidup. DIPLO adalah organisasi nirlaba tata kelola internet global.
Kedua pendekatan itu merugikan pengguna.
Sesungguhnya, selain Facebook, pihak lain yang patut dikenakan sanksi dalam skandal penyalahgunaan data ialah Mark Zuckerberg.
Sanksi Terbaik adalah Menghukum Zuckerberg
Facebook identik dengan Mark Zuckerberg, sosok paling berkuasa di perusahaan yang menguasai Facebook, Instagram, dan WhatsApp. Gelarnya sebagai “founder” (pendiri) disandingkan dengan CEO dan chairman. Zuckerberg, pada akhirnya, menguasai 60 persen saham.
Walhasil ia tak bisa digoyahkan, bahkan seandainya semua orang di Facebook menginginkannya. Padahal, sebagaimana diwartakan BBC, Trillium Asset Management, yang memiliki saham Facebook senilai $7 juta, menginginkan Zuckerberg legowo mundur dari perusahaannya. Kata mereka, “Zuckerberg memegang dua jabatan di salah satu perusahaan paling bernilai di dunia. Jika ia dapat menaruh perhatian utamanya sebagai CEO, biarkanlah orang lain memegang jabatan Chairman. Situasinya tentu akan lebih baik.”
Alex Stamos, mantan kepala divisi Keamanan Facebook, tegas mengatakan bahwa Zuckerberg “tidak perlu dibantah, [ia] terlalu berkuasa.”
Karena kekuasaan Zuckerberg itulah Facebook sulit berbenah. Padahal, pada 2018 saja, Facebook dilanda berbagai masalah terkait penyalahgunaan data, ujaran kebencian, hoaks, intervensi asing, hingga kecanduan telepon pintar yang menggelayuti Facebook sebagai rumah maya bagi 2,2 miliar orang di seluruh dunia.
Pada awal 2019 Zuckerberg menyatakan keinginannya untuk membereskan segala problem yang menggelayuti Facebook.
“Tentu saja, kami tidak akan (mampu) mencegah semua kesalahan atau penyalahgunaan yang dilakukan melalui Facebook, tapi saat ini kami merasa terlalu banyak membuat kesalahan dalam menegakkan aturan,” ucap Zuckerberg kala itu.
Namun, janji-janji Zuckerberg tak terpenuhi hingga hari ini.
Editor: Windu Jusuf