Menuju konten utama

Rindu Dendam di Antara PSMS dan Persib

Setelah sekian lama, pertandingan klasik Indonesia antara PSMS Medan melawan Persib Bandung akhirnya kembali terjadi.

Rindu Dendam di Antara PSMS dan Persib
Pesepak bola Persib Bandung Atep (kanan) berusaha melewati dua pesepak bola PSMS Medan pada laga pertandingan persahabatan di Stadion Teladan Medan, Sumatera Utara, Minggu (26/3). Pertandingan yang berakhir dengan bermain imbang 0-0 itu merupakan sebagai laga uji coba resmi pertama bagi kedua tim untuk mencari formasi tim terbaik, sekaligus dalam persiapan menghadapi kompetisi sepakbola nasional. ANTARA FOTO/Septianda Perdana/pd/17

tirto.id - Butuh waktu hampir lima tahun bagi penggemar sepakbola di Medan untuk bisa merasakan nostalagia di era Perserikatan. Kemarin (26/3/2017), Stadion Teladan, Medan, akhirnya kembali disinggahi oleh Persib "Maung" Bandung. Kali ini Persib datang ke Medan untuk menerima tawaran ujicoba dari PSMS Medan.

Terakhir kali mereka berduel di Teladan terjadi pada 2012 silam. Laga kala itu berlangsung seru dan sengit, penuh duel-duel keras, dan diwarnai kartu merah. PSMS unggul 3-2 dengan cara yang dramatis saat itu, namun di akhir musim mereka terdegradasi.

Duel PSMS kontra Persib adalah pertarungan antara dua tim tradisional sejak era Perserikatan yang amat begitu klasik. Keduanya punya basis primodialisme kesukuan begitu kuat: Batak dan Sunda. Rivalitas keduanya pada era 80-an pun amat mengakar, wajar jika laga PSMS lawan Persib sering disebut El Classico-nya Indonesia.

Ketika PSMS dan Persib bertarung sore kemarin, animo penonton yang hadir di Stadion Teladan Medan sangat tinggi. Sekitar 30 ribu orang hadir di dalam stadion. Angka ini tentu di luar batas kemampuan Stadion Teladan yang hanya bisa menampung 20 ribu orang. Laga ini sendiri berakhir dengan skor imbang kacamata 0-0.

Penuhnya Teladan jadi penegas bahwa ada kerinduan publik Medan untuk bisa berkompetisi di kasta tertinggi dan bertanding bersama klub-klub besar Perserikatan lainnya. Sejak terdegradasi dari ISL ke Divisi Utama pada tahun 2012, PSMS memang seperti kepayahan untuk kembali bangkit.

Pertandingan PSMS melawan Persib memang kaya dengan catatan sejarah. Persib boleh saja merasa jemawa sebagai kampiun terakhir Kejuaraan Perserikatan. Persib juga boleh saja menepuk dada sebagai juara terakhir kompetisi resmi (ISL pada 2014). Namun di hadapan PSMS, cerita menjadi lain.

Rivalitas PSMS dan Persib bermula pada dekade 1980-an. Kala itu keduanya bertemu dua kali secara berturut di Final Perserikatan 1983 dan 1985. Persaingan keduanya amat begitu sengitu. Dua kali final, dua kali pula laga harus diakhiri dengan adu penalti. Dan dua kali itu pula Persib harus menelan kekalahan. Atas dasar itulah begitu bencinya publik Bandung terhadap PSMS Medan.

Laga final Perserikatan 1985 yang mempertemukan kedua tim bahkan menjadi salah satu laga paling dikenang sepanjang sejarah sepakbola negeri ini. Berlangsung di Senayan, Jakarta, laga itu dianggap AFC sebagai pertandingan amatir dengan jumlah penonton terbanyak ketiga mencapai 150 ribu penonton.

Padahal kapasitas Stadion Utama Senayan hanya mampu menampung 120.000 orang. Di laga itu, semua pintu masuk menuju tribun jebol. Mau tak mau, untuk mencegah terjadinya korban jiwa akibat mati terdesak atau terinjak, pihak panpel membiarkan penonton meluber hingga sentelban. Harian Kompas menyebut, kondisi ini sempat membuat merinding Wakil Presiden Umar Wirahadikusumah dan Menteri Pemuda dan Olahraga Abdul Gafur yang sengaja datang ke stadion.

Ketika Persib menjuarai kompetisi Divisi Utama Perserikatan 1986 setelah mengandaskan Perseman Manokwari dengan skor tipis 1-0. Itulah penantian panjang lebih dari dua dekade bagi para bobotoh untuk mencicipi gelar juara. Penantian yang terasa semakin pahit karena dua musim sebelumnya mereka dipecundangi anak-anak Medan lewat adu penalti di laga puncak.

Tidak heran jika saat akhirnya menjadi juara pada 1986, walau pun bukan PSMS yang dikalahkan, redaksi harian Pikiran Rakyat menerima bakakak (ayam bakar) beserta pesan di selembar kertas dengan isi meledek: “Inilah Ayam Kinantan yang sudah dibakakak sehingga tidak bisa berkokok.”

“Tadinya kami ingin mengirimkan bakakak ini ke pemain dan pengurus PSMS Medan, tapi karena jaraknya terlalu jauh, maka silakan bakakak ayam kinantan ini dilumat habis-habisan oleh saudara-saudara selaku suporter Persib,” kata sang pengirim. Ini jadi lucu karena musuh yang dihadapi Persib di final adalah Perseman, bukan PSMS Medan (Persib Undercover, halaman 56). Apa boleh bikin: tak ada PSMS, Perseman pun jadi.

Saat kedua tim ini bertemu kali pertama di laga final yaitu pada 1983, dan Persib keok, Pikiran Rakyat menggambarkan betapa sedihnya pada pendukung Persib yang diledek suporter Medan.

"Mereka (bobotoh)berangkat dengan semangat dan optimisme yang besar, tapi pulang dengan kelesuan dan kesedihan. Pergi dengan suara lantang, pulang seperti orang bisu. Suara suporter Medan yang sebelumnya tertelan oleh teriakan suporter Persib, setelah kemenangan itu, ganti bersorak-sorai. Teriakan “horas, horas” menggema di seluruh stadion. Lagu mars “Halo-halo Bandung” yang jadi andalan pendukung Persib mereka pelintir menjadi “Halo-halo Medan”".

Dalam sejarahnya, tercatat hanya dua kali Lapangan Merdeka yang terletak di jantung Kota Medan dibanjiri ratusan ribu orang. Yang pertama terjadi sekitar tahun ’50-an, saat Presiden Sukarno menggelar rapat umum terbuka di lapangan itu. Yang kedua adalah saat penyambutan sang jawara Perserikatan 1985 yang baru saja pulang dari Jakarta.

Lebih dari setengah juta orang, atau hampir separuh penduduk Medan yang berjumlah 1,2 juta jiwa, ikut menyambut kedatangan anak-anak PSMS. Seturunnya dari pesawat Airbus 300 Garuda Indonesia di Bandara Polonia, Medan, tepat pukul 14.45, manajer, pelatih, pemain, dan ofisial langsung dipangku para penyambut berjumlah ribuan orang yang sudah menunggu dua jam lamanya. “Ayam Kinantan sudah pulang!” teriak salah seorang pendukung Medan sembari menggendong manajer tim Bawono. (Harian Kompas, 24 Februari 1985)

Untaian bunga dikalungkan kepada semua anggota tim. Malah manajer tim Bawono, seturunnya dari pesawat, langsung diserahi ayam jago sebagai tanda kejayaan Ayam Kinantan di masa penjajahan dulu. Ketika Bawono mengacungkan ayam itu, sontak semua pendukung Medan melambai-lambaikan poster bertuliskan “Goyang Bandung, Dilibas Ayam Kinantan”.

Dari Bandara Polonia, anak-anak Medan langsung diarak menggunakan becak menuju Lapangan Merdeka. Iring-iringan rombongan berjalan lambat karena terhambat ratusan ribu orang yang ingin melihat atau bahkan memegang sang idolanya.

Momentum masa lalu seperti inilah yang kembali diharapkan para suporter PSMS Medan. Juga sedikit banyak dirindukan oleh para bobotoh. Sangat biasa merasa kehilangan rival yang sedang tenggelam terlalu lama.

Baca juga artikel terkait PERSIB atau tulisan lainnya dari Aqwam Fiazmi Hanifan

tirto.id - Olahraga
Reporter: Aqwam Fiazmi Hanifan
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti