tirto.id - Riset Resesi 2023: Masyarakat Tidak Terlalu Khawatir Tapi Tetap Waspada
Isu resesi pada tahun 2023 telah banyak menjadi bahan diskusi di tengah masyarakat, bahkan sejak pertengahan tahun 2022 lalu. Hal ini tidak lepas dari prediksi lembaga internasional seperti International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia yang melihat adanya ancaman resesi global.
IMF misalnya, menyatakan bahwa ekonomi global menghadapi berbagai tantangan berat, yang salah satunya disebabkan oleh invasi Rusia ke Ukraina, krisis biaya hidup karena tekanan inflasi, serta perlambatan ekonomi di Tiongkok. Karena itulah, lembaga ini memprediksi perlambatan pertumbuhan ekonomi dari 3,2 persen tahun 2022 menjadi 2,7 persen tahun 2023. Negara-negara yang proporsinya sepertiga ekonomi global diperkirakan akan mengalami perlambatan ekonomi tahun ini, artinya mengalami resesi.
Presiden Bank Dunia, David Malpass, juga mengatakan adanya risiko resesi dan stagflasi (stagnasi ekonomi sekaligus inflasi) setelah pandemi.
Menurut Muhammad Syamil Iklil, researcher dari Continuum Data Indonesia, beberapa hal yang bisa menyebabkan risiko adanya resesi global 2023 antara lain pengetatan kebijakan moneter (kenaikan suku bunga), krisis geopolitik seperti perang yang terjadi antara Rusia dan Ukraina, pembatasan suplai minyak oleh OPEC+, dan terjadinya inflasi karena ketidakseimbangan supply-demand.
Di dalam negeri, Presiden Joko Widodo juga sempat mengingatkan kondisi dunia saat ini yang ada dalam pusaran 'awan gelap' yang dihadapkan dengan bayang-bayang resesi pada 2023. Hal ini juga yang kemudian memacu perbincangan resesi menjadi kian ramai.
Untuk menelusuri lebih lanjut isu ini, lembaga survei Jakpat berkolaborasi dengan Continuum Data Indonesia dan meluncurkan laporan berjudul “Isu Resesi 2023: Analisis Keyakinan Masyarakat Menghadapi Tahun Penuh Ketidakpastian”. Laporan ini berisikan analisis mengenai pandangan, tanggapan, dan sentimen masyarakat Indonesia terhadap isu resesi pada tahun ini. Salah satu pendekatan yang dilakukan dalam riset ini lewat survei.
Survei Jakpat terkait resesi 2023 menyasar ke 1.434 orang responden, dengan proporsi yang cenderung seimbang untuk gender (52 persen perempuan: 48 persen laki-laki). Dilihat dari kelompok umurnya, kebanyakan responden adalah generasi milenial (49 persen), diikuti dengan Gen Z (31 persen), dan Gen X (20 persen).
Mayoritas konsumen juga datang dari kelompok sosio-ekonomi menengah (57 persen), diikuti kelompok atas (35 persen) dan sekitar 7 persen kelompok sosio-ekonomi bawah. Melihat area sebaran, dominasi memang masih ada dari responden di wilayah Jabodetabek yang mencapai 43 persen, lalu 40 persen berasal dari wilayah Pulau Jawa lain, dan sisanya dari luar Pulau Jawa sebanyak 17 persen.
Gen Z Paling Yakin, dan Khawatir Terjadinya Resesi
Temuan pertama dari riset ini, sekitar 84 persen responden mengaku tahu akan adanya isu resesi 2023. Meski begitu, lebih dari setengah responden mengaku tidak begitu paham mengenai resesi itu sendiri.
Lebih lanjut Head of Research Jakpat Aska Primadi menjabarkan, Gen Z sebagai kelompok dengan proporsi terbesar asing akan istilah resesi (22,1 persen).
"Sekitar 1 dari 4 orang remaja remaja usia 15-19 tahun mengaku belum pernah mendengar isu tentang resesi tahun 2023," ujarnya.
Terkait keyakinan akan terjadinya resesi pada tahun 2023, kebanyakan responden mengaku ragu-ragu (53,3 persen). Sementara mereka yang yakin (18,7 persen) dan sangat yakin (6,2 persen) proporsinya cukup seimbang dengan mereka yang tidak yakin (18,6 persen) dan sangat tidak yakin (3,2 persen).
Dari skala 1-5, terkait keyakinan akan terjadinya resesi di Indonesia, rata-rata penilaian dari responden ada di angka 3,06.
"Masyarakat cenderung meragukan terjadinya resesi di Indonesia," sebut salah satu poin dari laporan.
Namun, terkait kekhawatiran akan terjadinya resesi di Indonesia, persentase responden yang menyatakan khawatir cukup besar, yakni sekitar 44,1 persen.Terdapat juga 21,2 persen responden yang mengaku sangat khawatir dan 27,1 persen yang biasa saja menanggapi isu resesi di Indonesia.
Hanya ada sekitar 7 persen responden yang mengaku tidak khawatir atau sangat tidak khawatir akan terjadinya resesi di Indonesia. Melihat dari nilai rerata, dengan skala 1-5, terkait kekhawatiran resesi di Indonesia, penilaian responden berada di angka 3,77.
Temuan ini sejalan dengan survei yang sempat dilakukan Tirto lewat kolaborasi dengan Jakpat, akhir 2022 lalu. Hasil survei kala itu menunjukkan terdapat sekitar 54 persen mengaku cukup khawatir dengan isu resesi dan sekitar 13 persen yang tidak atau sangat tidak khawatir akan isu resesi di Indonesia pada 2023.
Jika dibedah berdasar kelompok usia, Gen Z cenderung lebih yakin sekaligus lebih khawatir akan terjadinya resesi di Indonesia (skor rerata 3,19 untuk variabel keyakinan dan 3,92 untuk kekhawatiran). Ada dugaan generasi Z mudah terbawa isu-isu fear-mongering (menjual ketakutan) terkait isu resesi 2023 yang ada di media sosial.
Menariknya dari riset Tirto terdahulu, sekitar 40 persen responden dari riset kala itu, mengaku mendengar isu resesi global dari influencer dari beragam platform. Artinya mayoritas masyarakat memang mendapat info dari figur publik yang banyak beredar salah satunya di kanal media sosial.
Hal yang Dikhawatirkan dan Respon Terhadap Resesi
Lalu apa yang dikhawatirkan kalau memang terjadi resesi pada 2023? Berdasarkan penelitian Jakpat dan Continuum Data Indonesia, kebanyakan responden mengkhawatirkan soal kenaikan harga (81,9 persen). Hal ini menjadi perhatian dari semua kelompok umur dari berbagai generasi.
Namun, terdapat perbedaan pada responden Gen X dibanding responden Gen Z. Setelah kenaikan harga (88,9 persen), kekhawatiran Gen X berikutnya adalah kelangkaan bahan pokok (63,1 persen) dan PHK (62 persen).
Sedangkan, pada responden milenial dan Gen Z, walaupun kekhawatiran akan kenaikan harga juga menempati peringkat tertinggi (83,5 persen dan 75,6 persen), di peringkat kedua, ketakutan milenial dan Gen Z adalah terjadinya penurunan pendapatan atau gaji. Pada milenial kekhawatirannya mencapai 71,5 persen sementara pada Gen Z 70,9 persen.
Gen Z juga punya ketakutan akan kesulitan mendapatkan pekerjaan yang cukup tinggi (64,2 persen). Menurut Aska dari Jakpat, hal ini tidak lepas dari kondisi mereka yang memang baru masuk angkatan kerja atau memulai karier.
Perubahan Perilaku Masyarakat Menanggapi Isu Resesi 2023
Dalam menyikapi isu resesi pada 2023, secara umum masyarakat tetap menjaga pola pengeluaran untuk membeli kebutuhan pokok. Namun, perubahan perilaku yang paling dominan adalah pembatasan pengeluaran non-pokok dan mengurangi hutang atau kredit.
Sebanyak 66 persen responden secara umum menjawab tidak akan ada perubahan dalam pola pembelian kebutuhan pokok. Sementara sekitar 50 persen mengaku akan mengurangi belanja kebutuhan non-pokok dan 63 persen berencana mengurangi hutang dan/atau kredit.
Dalam upaya meminimalisir risiko keuangan, masyarakat juga cenderung akan tetap mempertahankan alokasi pengeluaran untuk asuransi (52,8 persen). Terdapat juga hampir 30 persen responden yang akan meningkatkan alokasi dana untuk tabungan dan 26 persen responden yang akan menambah alokasi untuk dana darurat.
Menariknya jika dilihat lebih detail berdasar kelompok usia, Gen Z punya kecenderungan mengalokasikan dana yang ada untuk kebutuhan investasi, tabungan, dan dana darurat jika dibandingkan dengan Gen X dan milenial. Analisis Jakpat, hal ini tidak lepas dari behavior Gen Z yang melek finansial dan kebanyakan punya visi untuk mencapai financial freedom.
Secara keseluruhan, laporan ini menyimpulkan kalau masyarakat tidak terlalu khawatir, tetapi tetap waspada terhadap isu resesi 2023. Adanya rencana perubahan alokasi dana menjadi implikasi akan hal ini.
Dalam diskusi bertajuk “Haruskah Khawatir di Tengah Ketidakpastian 2023?” yang diadakan oleh Continuum Data Indonesia dan Jakpat, Maychelie Vincent Liyanto, seorang Certified Financial Planner, menyatakan bahwa jika resesi terjadi pasti semuanya terdampak.
Vincent menambahkan dari pertumbuhan PDB yang cenderung menjadi stabil yang menandakan perekonomian Indonesia terus berjalan dengan baik di tengah isu resesi dunia. Namun demikian, menurutnya, orang-orang tetap perlu waspada dengan cara mengamankan diri sendiri dahulu dari segi personal finance, caranya dengan membuat perencanaan keuangan yang tepat.
Adapun hasil survei ini hanya menjadi satu bagian dari laporan lengkap yang disusun Jakpat dengan Continuum Data Indonesia. Jakpat juga mengombinasikan data hasil survei dengan big data dari informasi di media sosial Twitter, untuk menangkap opini masyarakat. Kedua metode digabungkan untuk menghasilkan analisis yang bisa menangkap opini masyarakat dan perbincangan media sosial terkait topik bahasan. Data yang didapatkan oleh Tim Continuum Data Indonesia dan Jakpat kemudian dibandingkan dengan kondisi riil ekonomi, himbauan para ekonom, lembaga di bidang ekonomi dan keuangan, serta pejabat publik terkait.
Laporan lengkap “Isu Resesi 2023: Analisis Keyakinan Masyarakat Menghadapi Tahun Penuh Ketidakpastian” dapat diunggah diunduh di sini.
(JEDA)
Penulis: Tim Media Servis