tirto.id - Italia adalah negara yang sangat tidak stabil secara politik. Negara pewaris takhta Romawi ini telah mengalami 63 pemerintahan dalam 70 tahun terakhir, hampir seperti masyarakatnya berganti kalender.
Matteo Renzi adalah korban terakhir dari fenomena itu. Perdana menteri termuda Italia ini harus terpelanting dari kursinya setelah referendum untuk mengubah konstitusi yang disponsorinya kalah. Sejumlah 60 persen suara menolak referendum yang digelar pada awal Desember lalu.
Jauh-jauh hari saat berkampanye untuk referendum, Renzi mengakui langkah politik tersebut adalah pertaruhan terbesar dalam kariernya. Ia menegaskan akan mundur bila hasil referendum gagal. Sebaliknya, jika berhasil, jalan Renzi untuk mereformasi sistem politik Italia yang sangat gaduh akan terbuka lebar.
Referendum rancangan Renzi ditujukan untuk mengamandemen konstitusi 1948 yang memberi kekuatan begitu besar kepada Senat, salah satu dewan tinggi dalam parlemen Italia. Apabila referendum ini lolos, jumlah anggota senat akan berkurang dari 315 orang menjadi hanya 100 orang. Ini akan membatasi peran Senat sebagai lembaga konsultatif semata.
Renzi dan para pendukung referendum menjanjikan, jika proses ini berhasil, pemerintahnya akan dapat menyederhanakan proses pengambilan keputusan. Ujungnya, terbuka pula pemerintahan Renzi mempercepat reformasi struktural khususnya di bidang ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Di sisi lain, referendum juga memperkuat peran eksekutif dan melemahkan legislatif, sehingga dapat mengganggu proses pengawasan dan keseimbangan di antara keduanya.
Renzi sebelumnya begitu optimistis dapat memenangkan referendum, yang jadi alat membungkam lawan-lawan politiknya—yang sangat banyak—serta menunjukkan bahwa rakyat Italia memang memercayainya. Seperti dilansir Vogue, sikap optimistis itulah yang bikin dia berani berkoar untuk mundur bila rencananya gagal.
“Ya, saya akan pulang ke rumah dan melakukan hal lain dengan istri saya. Saya masih 41 tahun; saya masih bisa melakukan apapun sembari tersenyum,” katanya.
Sekarang, senyum itu seketika lenyap dari bibir Renzi bersama kesempatannya mereformasi perpolitikan Italia.
Personalisasi politik yang gagal
Matteo Renzi memang sempat menikmati popularitas yang tinggi. Saat awal menjabat, ia mengeluarkan sejumlah janji progresif seperti reformasi ekonomi dan pajak, pembukaan lapangan pekerjaan baru, serta penyelamatan bank-bank Italia yang hingga saat ini belum pulih akibat krisis ekonomi global 2008.
Ia seringkali menyebut diri “Il Rottamatore” atau Sang Penghancur, analogi untuk memperbaiki borok institusi-institusi pemerintahan di Italia. Namun, seperti ditulis Jason Horowitz dari Vogue, Renzi justru menjelma “Stability Man” yang cenderung moderat—untuk tidak mengatakan lembek—terhadap kekuatan-kekuatan politik maupun ekonomi yang seharusnya dia pangkas.
Renzi memang melakukan serangkaian reformasi, tetapi sifatnya tidak benar-benar progresif dan menyentuh akar struktural dari permasalahan tersebut. Ia melakukan liberalisasi terhadap pasar kerja, mengembangkan kebijakan, bahkan melegalkan perkawinan pasangan sesama jenis yang disetujui otoritas sipil (civil union). Langkah terakhir cukup memantik kontroversi mengingat Italia adalah negara dengan mayoritas Katolik yang cenderung kolot.
Popularitas Renzi benar-benar meroket, tetapi lebih untuk konsumsi dunia internasional, setelah ia memutuskan untuk bantu para pengungsi asal Timur Tengah atau Afrika Utara yang terapung di Laut Tengah. Ia mengaku kebijakan ini dilakukan karena tak ingin melihat “Laut Tengah menjadi kuburan massal bagi para pengungsi.”
Kebijakan menolong pengungsi ini memang cukup populer di Uni Eropa karena mampu meringankan beban negara-negara lain yang jadi tujuan pengungsi. Namun, masyarakat Italia sendiri cenderung menolak kebijakan tersebut. Mereka merasa Renzi hanya menambah beban masyarakat Italia di tengah kondisi ekonomi yang masih buruk.
Komitmen Renzi yang besar terhadap Uni Eropa menjadi perkara yang menurunkan popularitasnya di depan rakyat Italia. Berdasarkan survei dari Pew Research, 2/3 masyarakat Italia percaya bahwa kebijakan ekonomi Uni Eropa berdampak buruk terhadap ekonomi Italia.
Akibatnya, sentimen anti-Uni Eropa makin meningkat dalam beberapa waktu belakangan seiring naiknya popularitas kelompok penolak Uni Eropa (Eurosceptic) seperti Gerakan Bintang 5. Kelompok ini pula yang menjadi motor penggerak opini untuk menentang referendum besutan Renzi yang gagal.
Dari sisi politik dalam negeri, penurunan popularitas Renzi muncul akibat beberapa hal. Pertama, Renzi cukup dekat dengan para konglomerat Italia dan elite politik tradisional yang pada awal pemerintahannya disebut-sebut akan dilawannya, termasuk mantan perdana menteri Silvio Berlusconi yang sangat tidak populer di Italia.
Kedua, Renzi dikenal sosok yang memiliki banyak musuh termasuk dari dalam partainya sendiri. Ini disebabkan rekam jejaknya yang melakukan “kudeta internal” saat menggantikan Enrico Letta, rekan separtainya di Partai Demokratik, dari kursi perdana menteri pada 2014.
Renzi tidak memperhitungkan kalau hal-hal itu menggerus popularitasnya secara perlahan. Ia terus saja mengandalkan popularitasnya saat berkampanye. Belakangan, survei pada dua minggu sebelum pemungutan malah menunjukkan penolak referendum unggul 4 persen.
Kritik atas strategi personalisasi politik Renzi datang dari Elly Schlein, anggota parlemen Uni Eropa dari Italia. Menurutnya, politik pencitraan, personalisasi, dan dramatisasi suara pemilih selama kampanye adalah bumerang. Itu membuat orang-orang yang memilih “Tidak” saat referendum, khususnya kalangan muda, akan menggunakan suaranya secara politis tanpa menghiraukan alasan reformasi dan konsekuensi referendum itu.
“Suara mereka akan diarahkan kepada Renzi dan pemerintahannya, alih-alih kepada agenda reformasinya,” paparnya kepada CNN.
Renzi belakangan menyadari kesalahan strateginya dan melakukan segala upaya untuk membenahi. Ia sampai memundurkan tanggal referendum demi waktu tambahan. Belakangan, ia menegaskan referendum ini bukan tentang dirinya secara pribadi, melainkan “menyangkut nasib Italia dan Uni Eropa secara keseluruhan,” demikian BBC.
Kalah Tapi Belum Mengalah
Kekalahan Renzi dalam referendum tidak serta-merta menyingkirkannya dari percaturan politik. Ia masih dianggap figur penentu, karena Partai Demokratik yang dipimpinnya sejauh ini masih mengontrol parlemen. Di sisi lain, Italia belum akan mengadakan Pemilu sampai 2018. Partai Demokratik sendiri masih mengantongi 30 persen dukungan publik Italia.
Belakangan, presiden Italia Sergio Mattarella justru meminta Renzi untuk menunda pengunduran dirinya. Langkah ini diambil untuk menunggu supaya anggaran negara disahkan pada akhir pekan kedua Desember 2016. Secara politis pula langkah ini diperlukan guna menjaga stabilitas politik Italia sendiri, sekaligus melancarkan pembentukan pemerintahan baru. Renzi dan partainya masih merupakan aktor politik penting.
Renzi mungkin sudah kalah. Namun, kecil kemungkinan ia akan sepenuhnya mengalah dari percaturan politik Italia.
Penulis: Putu Agung Nara Indra