tirto.id - Sersan kelas satu Salimin dari korps infanteri Koninklijk Nederlansch Indische Leger (KNIL), menjadi tawanan perang Jepang pada 1942. Hal ini membuat sekolah putrinya yang bernama Suratmi alias Ratmi jadi berantakan. Saat itu Ratmi baru duduk di kelas tiga Holandsch Inlandsch School (HIS) Cilacap.
Salimin dibebaskan setelah 3 bulan ditawan, namun maut menjemput tak lama setelah ia bebas. Ratmi, putrinya yang sekolah hanya sampai kelas tiga HIS itu lalu ikut pamannya yang bekerja di pabrik senjata Kiaracondong (sekarang PINDAD) di Bandung.
Suara Ratmi yang cukup bagus membuat pamannya menyuruhnya belajar menyanyi di Orkes Kroncong Pabrik Kiaracondong (ORPAKI). Di zaman Jepang Ratmi juga sudah ikut kelompok wayang orang Sri Surya. Setelah perang kemerdekaan berlalu, Ratmi menjadi orang sipil pemegang Bintang Gerilya karena keterlibatannya dalam revolusi.
Menurut laporan Tempo (17/04/1976), Ratmi pernah menjadi anggota Barisan Srikandi, Laskar Wanita Indonesia, dan anggota staf sebuah batalion di Jawa Tengah. Pangkatnya nyaris seperti ayahnya di KNIL: sersan dua TNI. Setelah perang kemerdekaan reda pada 1949, Ratmi mundur dari ketentaraan.
Setelah itu, Ratmi sempat menyambung hidup sebagai pekerja honorer di Radio Republik Indonesia (RRI) dan menjadi biduan dalam Orkes Studio Bandung (OSB). Dia juga bergabung dalam kelompok wayang orang Tritunggal di Kebon Kelapa, Jakarta Pusat. Pimpinan kelompok itu adalah Idris Indra, suami pertamanya. Setelah cerai dengan Idris Indra pada 1959, Ratmi ikut kelompok wayang orang yang kerap tampil di Kosambi Bandung. Dia menyanyi, menari, bermain peran, dan melawak.
“Waktu muda aku tidak segede ini lho,” kata Ratmi kepada Tempo.
“Saya melawak justru setelah badan saya berubah,” tambahnya.
Pada 1960, Ratmi pernah manggung atas undangan keluarga Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI). Komodor Ace Wiriadinata—salah satu pendiri Paskhas—yang melihat Ratmi dengan tinggi 155 cm dan berat 70 kg pun nyeletuk: ini dia bomber kita. Bomber di kalangan AURI mengacu pada pesawat pembom yang ukurannya lebih besar daripada pesawat pemburu. Era 1950-an pesawat pembom B-29 masih kesohor.
Ratmi kemudian dikenal sebagai Ratmi B-29. Versi lain tentang nama panggung Ratmi dikemukakan Dikky Fabrian dalam majalah Akses edisi 6 tahun 2007. Dia menyebut bahwa nama belakang B-29 diambil dari nama merek sabun cuci buatan PT Sinar Antjol yang sudah hadir sejak tahun 1942 dan terjual hingga ke Ethiopia.
Warsa 1962, seperti disebut Tempo, Ratmi pernah main dalam film Kuntilanak. Dia dibayar Rp 80 ribu untuk dua hari syuting. Itu bukan filmnya yang pertama, sebab menurut JB Kristanto dalam Katalog Film Indonesia 1926-2005 (2005:56), pada tahun 1960 Ratmi sudah tampil dalam film Si Djimat. Setelah itu, Ratmi tak langsung kebanjiran order main film, sebab produksi perfilman dipengaruhi oleh situasi politik yang kian memanas.
Setelah 1965, Ratmi hijrah ke Jakarta. Dia hidup dari panggung ke panggung. Namanya makin terkenal setelah film Indonesia bangkit lagi. Era 1970-an, dia ikut bermain dalam banyak film. Menurut Tempo, hingga tahun 1976 Ratmi sudah bermain dalam 20 film. Dalam film-film itu, meski tak dianggap sebagai film komedi, Ratmi kerap berperan sebagai sosok yang mengundang tawa. Peran Ratmi dalam film biasanya mewakili wajah rakyat jelata.
Selain itu, wajah Ratmi juga memang kerap muncul dalam film-film komedi era 1970-an. Ia di antaranya bermain bersama Benyamin Sueb, Bing Slamet, Bagyo, dan Tan Tjeng Bok. Bersama Benyamin, Ratmi bermain dalam film Ratu Amplop (1974). Dalam film itu tampil juga Ida Royani, Rahayu Effendi, dan Gombloh. Sementara dengan Tan Tjeng Bok, Ratmi tampil dalam film Bagong Mujur yang juga diperkuat oleh Fifi Young.
Di samping film, Ratmi juga kerap tampil dalam iklan di televisi. Bersama Bing Slamet, dia membintangi iklan Laserin. Sementara bersama Bagyo dalam iklan Enkasari. Menurut Frans Royan dalam Marketing Selebritis (2004:26), Ratmi terlibat dalam pemasaran sabun cuci krim B-29.
“Menyebut nama Ratmi berarti beli B-29,” tulis Frans Royan.
Meski tak populer sebagai penyanyi, tetapi Ratmi sempat muncul dalam lagu anak-anak di album Diana Papilaya. Sekitar tahan 1970-an, Ratmi kerap tampil bersama bekas Letnan Polisi Slamet Harto dan mantan Letnan Angkatan Darat Saparbe Notowidagdo alias Bendot. Tarif manggung mereka sangat fleksibel, tergantung siapa penyelenggara. Maka itu, mereka pernah dibayar Rp 50 ribu. Tapi jika penyelenggaranya bank atau departemen pemerintahan, mereka berani minta Rp 500 ribu.
Dari melawak hidup Ratmi berkecukupan. Tahun 1973, ia menikah lagi untuk yang ketiga kali dengan Didi Sugandhi yang lebih muda 10 tahun darinya. Tanggal 31 Desember 1977, saat syuting film Direktris Muda di Makasar, Ratmi mendapat serangan jantung dan akhirnya meninggal. Sebagai pemegang Bintang Gerilya, Ratmi berhak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta.
Kelompok lawaknya bersama Letnan Slamet dan Letnan Bendot bubar. Namun Bendot terus eksis hingga tutup usia di dunia hiburan. Era 1990-an Bendot masih muncul di televisi dalam salah satu sinetron Indonesia paling legendaris: Si Doel Anak Sekolahan.
Editor: Irfan Teguh