Menuju konten utama

Prabowo-Puan untuk 2024 adalah Wacana Lama yang Gagal

Prabowo dan Puan digadang-gadang menjadi pasangan capres-cawapres untuk Pemilu 2024. Wacana ini sempat muncul dari mulut paranormal dan belum jadi nyata.

Prabowo-Puan untuk 2024 adalah Wacana Lama yang Gagal
Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri (kedua kanan) didampingi Puan Maharani (kiri) dan Prananda Prabowo (kanan) menerima Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (tengah) di kediaman Jalan Teuku Umar, Jakarta, Rabu (24/7/2019). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/hp.

tirto.id - Joko Widodo merancang periode kedua dengan merekrut oposisi yang punya suara terbanyak, Prabowo Subianto dengan Partai Gerindra-nya. Hal ini membuat pemerintahannya didukung nyaris sebagian besar kekuatan politik di parlemen. Para pengamat menyatakan situasi tersebut tak bagus bagi demokrasi karena mekanisme checks and balances menjadi minim.

Menyambut pemilu selanjutnya, kondisi seperti ini bukannya berkurang tapi malah tampak dipertahankan. Ada kelompok masyarakat yang ingin menjadikan PDIP-Partai Gerindra--peringkat pertama dan kedua Pileg 2019--berkoalisi di Pilpres 2024, dengan Prabowo Subianto sebagai presiden dan Puan Maharani sebagai wakil. Jabatan Mereka adalah sejumlah relawan di Jakarta Timur, menamakan diri sebagai “Poros Prabowo-Puan”.

Keduanya dianggap punya rekam jejak yang cukup bagus. Dalam konferensi pers, Rabu (3/11/2021), deklarator Poros Prabowo-Puan Andianto mengatakan Prabowo sukses melengkapi alat utama sistem senjata (alutsista) dan membentuk Komponen Cadangan (Komcad). Sedangkan Puan dianggap sudah memiliki pengalaman politik yang cukup. Sebelum menjadi Ketua DPR, ia memang punya beberapa pengalaman lain: anggota DPR, pengurus partai, kemudian Menteri Pembangunan Manusia dan Kebudayaan selama 2009-2014.

Andianto juga mengatakan Puan dipilih karena kebesaran nama kakeknya, Sukarno, yang merupakan Presiden ke-1 Indonesia. Andianto yakin Puan bisa jadi penerus Sukarno dalam memimpin negeri.

Masalahnya kemampuan dalam memimpin tidak diwariskan lewat darah. Menjabat Ketua DPR, Puan bukannya banyak menerima pujian tapi justru kritik. Sebagai Ketua DPR perempuan pertama, ia diharapkan dapat mempercepat RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS), tapi sampai sekarang tak jelas ujungnya. Puan juga memimpin pengesahan RUU Cipta Kerja yang dianggap tidak ramah perempuan. Dalam rapat pengesahan peraturan itu, Puan kedapatan mematikan mik Benny K. Harman, salah satu kader Partai Demokrat yang sedang menyatakan keberatan.

Belum lagi soal banyaknya baliho “Kepak Sayap Kebhinekaan” yang dianggap tak sensitif dengan situasi masyarakat selama pandemi sehingga menjadi bahan olok-olok di media sosial.

Elektabilitas Puan dalam berbagai survei juga tak bagus. Dia harus susah payah untuk menembus angka 3 persen. Survei dari Charta Politika yang terbit Agustus lalu bahkan mencatatkan elektabilitas Puan hanya 0,7 persen, jauh berada di belakang kader PDIP lain macam Ganjar Pranowo dengan 16,2 persen.

Sementara soal Prabowo, ia sudah berkali-kali didera masalah kejahatan hak asasi manusia (HAM) di masa lalu ketika masih menjadi tentara aktif. Memang isu itu tidak pernah sepenuhnya efektif. Dia mendapat elektabilitas 14,8 persen dalam survei yang sama, tertinggi kedua mengungguli beberapa politikus populer lain seperti Anies Baswedan dan Ridwan Kamil.

Dengan semua itu, wajar jika duet Puan-Prabowo dipertanyakan. Selain itu, faktanya duet dua partai ini pernah dicoba di masa lampau dan berakhir dengan kegagalan.

Ambisi Lama yang Rapuh

Apa yang ditawarkan oleh Andrianto bukanlah hal baru. Lebih dari satu dekade lalu, Permadi sudah menawarkannya.

Permadi Satrio Wiwoho atau yang kerap disapa Ki Permadi adalah seorang paranormal sebelum masuk ke dunia politik. Salah satu iklan yang masih bisa ditelusuri sekarang menyebut Permadi adalah “dukun pesugihan paling ampuh di Indonesia.” Orang bisa mendapat uang tanpa perlu banyak bekerja, hanya dengan syarat patuh pada ritual Permadi.

Entah ada hubungan dengan profesinya di masa lampau atau tidak, Permadi, yang pernah menjadi politikus PDIP kemudian pindah ke Partai Gerindra, punya mimpi menyatukan “dua Sukarno”: Prabowo Subianto yang disebutnya Sukarno kecil dan Puan Maharani cucu Sukarno. “Ini pasangan hebat,” kata Permadi, dikutip dari Majalah Tempo edisi 4 Mei 2009.

Sumber Tempo yakin Permadi adalah salah satu tokoh yang mendorong Prabowo ngotot menjadi presiden. Ini membuat PDIP bingung karena sebelumnya mantan Danjen Kopassus ini telah rela menjadi wakil presiden untuk pemimpin PDIP yang tak lain ibu Puan, Megawati Soekarnoputri.

Maruarar Sirait, Ketua DPP PDIP saat itu, menilai duet Megawati-Prabowo memang yang paling masuk akal. “Ini pasangan dahsyat,” katanya.

Partai Gerindra sejalan dengan keinginan Prabowo. Mereka tetap memasang Prabowo RI 1 sebagai harga mati dan ingin duet Prabowo-Puan. Tapi tentu saja PDIP enggan dan itu masuk akal.

Prabowo waktu itu belum terlalu populer seperti sekarang. Ada tiga jenderal militer yang bersaing: Susilo Bambang Yudhoyono, Wiranto, dan Prabowo. Di antara ketiganya, Prabowo biasa saja. Elektabilitasnya sebagai capres hanya 4,5 persen, sedangkan survei lain mencatat elektabilitasnya mencapai 10,3 persen dan masih di bawah Mega dengan 15,3 persen.

Ketika itu sebagian partai besar sudah membangun koalisi. Partai Golkar dengan Partai Hanura, Partai Demokrat dengan PPP, PKS, PKB, dan PAN.

Akhirnya Prabowo melunak. Menjelang penutupan pendaftaran calon presiden-wakil presiden, Prabowo mendatangi rumah Megawati di Jalan Teuku Umar Jakarta. Satu jam sebelumnya, Tjahjo Kumolo, politikus PDIP, sudah yakin “Mega-Pro (bukan nama motor) malam ini dideklarasikan.”

Tentu saja kesepakatan itu bukan tanpa syarat. Berkali-kali perundingan berujung buntu. Prabowo sempat meminta posisi menteri bidang ekonomi dan energi dan peran lebih besar sebagai perdana menteri. Tapi akhirnya, setelah pertemuan di Istana Batu Tulis, Bogor, kedua pihak sepakat untuk berkoalisi. Salah satu hasil dari perjanjian batu tulis itu adalah PDIP dan Megawati akan mendukung Prabowo menjadi presiden di 2014: hal yang tidak jadi ditepati dan awal dikotomi Jokowi–Prabowo.

Setelah melewati kesepakatan penuh liku, Mega-Pro akhirnya turut serta dalam kompetisi dan tidak berhasil. Perolehan suara mereka jauh di bawah sang pemenang, SBY-Boediono, dengan 26,79 persen.

Setelah “pengkhianatan” Batu Tulis (PDIP mengusung Jokowi), Prabowo kecewa dan hubungannya dengan Megawati sempat renggang. Barulah saat menjabat Menteri Pertahanan Prabowo akrab lagi dengan Megawati. Hal ini tampak dari, misalnya, saat bersama-sama meresmikan Patung Kuda Sukarno.

Tapi koalisi PDIP-Gerindra tentu tetap tidak mudah terealisasi. Pertama, PDIP sebenarnya punya kans besar mencalonkan presiden secara mandiri dan memilih partai yang suaranya lebih kecil untuk mengisi kursi calon wakil presiden. Kedua, almarhum Taufik Kiemas, yang punya pengaruh besar di PDIP, pernah ragu dengan kredibilitas Prabowo dalam soal kepemimpinan dan pembagian kekuasaan.

Dari kubu Partai Gerindra, tentu saja soal dendam lama Perjanjian Batu Tulis dan kemampuan Puan sendiri. Bila PDIP benar-benar mencalonkan Puan, maka akan terlalu timpang dengan Prabowo yang punya elektabilitas tinggi.

Dahulu, Taufik Kiemas yang juga ayah Puan sempat berujar kepada beberapa pihak, “Papah cuma minta satu saja ke teman-teman Papah... titip Puan Maharani saja...” Maka, jika Puan benar-benar ingin maju, ucapan serupa tepat belaka diarahkan kepada Prabowo.

Baca juga artikel terkait PEMILU PRESIDEN atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Politik
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino