Menuju konten utama

Persenan Lebaran Momen Mendidik Anak Soal Uang

Memberikan angpau atau persenan kepada anak-anak sudah menjadi bagian tradisi Lebaran. Apa kata para pakar tentang hal ini?

Persenan Lebaran Momen Mendidik Anak Soal Uang
Pedagang menjual amplop lebaran di Jalan Raya Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Jum'at (17/6). ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya

tirto.id - Selain berkumpul dengan keluarga besar, bersilaturahmi ke tempat kolega, dan bermaaf-maafan, membagikan bingkisan merupakan bagian dari tradisi Lebaran yang dilakukan di macam-macam negara. Bentuk bingkisan yang diberikan kepada sanak keluarga pun bervariasi, satu di antaranya ialah angpau yang dibagikan kepada anak-anak.

Tradisi membagikan uang ini dikenal dengan eidiyahdi Timur Tengah. Artinya, tradisi ini yang di Indonesia dikenal dengan "Persenan" tak hanya ada di dalam negeri. Di negara-negara Arab, tradisi eidiyah pun telah diteruskan dari generasi ke generasi. Demikian pula dengan mereka yang merayakan Imlek, seperti tak lengkap rasanya merayakan Tahun Baru Cina tanpa salam tempel buat anak-anak atau yang belum menikah. Sementara bagi orang-orang Nasrani, tradisi berbagi bingkisan termasuk persenan semacam ini biasa ditemukan pada perayaan Natal.

Beberapa memberikan eidiyah sebagai wujud rasa syukur atau keinginan berbagi rezeki yang diterima saat hari raya. Ada pula yang memandang eidiyah sebagai hadiah kepada anak-anak, khususnya mereka yang baru belajar berpuasa, karena telah berhasil menahan hawa nafsu selama Ramadan. Dengan memberikan eidiyah, diharapkan anak-anak termotivasi untuk menjalani puasa penuh pada tahun berikutnya.

Ada alasan mengapa orang-orang memberikan uang pada hari raya keagamaan atau momen-momen lain seperti ulang tahun. Menurut penulis dan pakar parenting asal Kanada, Alyson Schafer, memberikan uang alih-alih barang bisa mereduksi kemungkinan anak-anak tidak menyukai hadiah yang dibeli si pemberi. Tidak semua anggota keluarga atau kolega orangtua mengenal dekat si anak. Maka itu, mereka menyediakan peluang bagi si anak untuk membeli sendiri hal-hal yang ia suka dengan uang yang mereka berikan.

Tradisi memberikan uang pada hari raya tidak hanya menimbulkan efek positif seperti rasa senang bagi anak-anak. Seperti dikutip dari The Globe and Mail, terdapat potensi negatif dari pemberian persenan kepada anak-anak. Cindy Post, pakar etiket dari The Emily Post Institute menyatakan bahwa tradisi ini dapat memicu rasa tidak nyaman. Jika ada anggota keluarga yang memberikan persenan besar sementara yang lainnya hanya mampu memberikan ‘seadanya’, anak dapat membanding-bandingkan isi persenan yang diterimanya. Hal inilah yang berpotensi membuat seseorang tersinggung dan pada akhirnya, memunculkan rasa tidak nyaman.

Alyson Schafer sepakat dengan pandangan Post. Ia menyatakan, “Saat status sosial-ekonomi anggota keluarga beragam, perasaan tidak enak bisa timbul dari momen membagikan hadiah uang. Jika hadiah yang diberikan bernilai begitu besar, si anak dan orangtuanya bisa merasa tidak akan mampu membalas kebaikan si pemberi dengan setimpal.”

Argumen-argumen Schafer ini sejalan dengan hasil studi Goodwin et. al. (1990) tentang pemberian hadiah. Mereka menemukan bahwa dalam pemberian uang tersemat pesan simbolis bahwa si pemberi tidak terlalu memperhatikan kebutuhan atau keinginan si penerima. Satu lagi, persenan juga dapat meneguhkan ketimpangan status.

Terlepas dari sadar atau setuju tidaknya orang-orang mengenai pesan tersembunyi dari pemberian uang kepada anak-anak, tradisi ini terus dilakukan. Sebagian orang juga memandang hari raya dan pemberian persenan sebagai suatu momen yang tepat untuk mulai mengajarkan anak melek finansial.

Beth Kobliner, penulis Get a Financial Life dan penggagas program melek finansial untuk anak mengatakan bahwa bocah usia tiga tahun pun sudah bisa memahami konsep menabung dan menghabiskan uang. “Semakin dini orangtua memanfaatkan momen-momen dalam keseharian untuk mengajarkan soal keuangan—seperti memberikan uang kecil kepada anak dan membiarkannya memilih buah yang ia suka—semakin baik efeknya untuk anak. Orangtua adalah pembawa pengaruh nomor satu dalam hal perilaku finansial anak,” ungkap Kobliner dalam situs Forbes.

infografik angpao lebaran

Peran orangtua dalam mensosialisasikan melek finansial kepada anak dikuatkan dengan argumen-argumen pada studi para peneliti dari University of Cambridge. Tidak hanya dengan ujaran langsung kepada anak latihan mengelola uang dapat diberikan. Praktik gaya hidup orangtua pun dapat menjadi sumber pengajaran melek finansial bagi anak. Bukan rahasia bila anak adalah imitator yang baik. Maka, bila orangtua cenderung senang berbelanja secara impulsif, kemungkinan besar si anak meniru perilaku orangtuanya ini.

Paparan media massa menjadi salah satu hal yang berpengaruh terhadap perilaku finansial anak-anak. Maka dalam rangka membimbing anaknya untuk menghabiskan uang dengan bijak, orangtua juga perlu memperhatikan hal-hal yang dikonsumsi anak dari media massa.

Sering kali iklan di media massa membuat anak serta merta ingin membeli produk yang dipasarkan, terlepas ia butuh atau tidak. Ditambah lagi lingkaran pergaulan yang pengaruhnya tak kalah besar bagi anak-anak. Menyadari hal ini, penting bagi orangtua untuk mencermati dan memberi kesadaran bagi si anak bahwa tidak semua yang ia lihat di televisi, majalah, dan internet baik atau berguna buatnya.

Cara lain mengajari anak melek finansial menurut Kobliner adalah dengan memintanya membuat daftar prioritas barang yang ingin dibeli. Bila harga barang tersebut melebihi uang yang disimpan si anak, orangtua tak mesti selalu menambahkan kekurangannya. Anak dapat diajarkan untuk melakukan hal-hal tertentu yang kemudian dibalas dengan ganjaran uang dari orangtua. Dengan begini, anak akan terlatih untuk menabung dalam jangka waktu tertentu sampai keinginannya tercapai.

Mengingat biaya pendidikan terus meroket dari tahun ke tahun, orangtua juga dapat memanfaatkan momen pemberian hadiah uang ini untuk menanamkan kesadaran menabung untuk edukasi. Tidak selamanya orangtua dapat diandalkan untuk mendanai pendidikan anak, terlebih jika anak menaruh minat pada jurusan-jurusan dengan biaya selangit.

Orangtua dapat mulai memberitahukan anak bahwa investasi yang ia lakukan sejak duduk di level pendidikan rendah dapat berimplikasi terhadap tercapainya cita-cita si anak.

Baca juga artikel terkait LEBARAN atau tulisan lainnya dari Patresia Kirnandita

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Patresia Kirnandita
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Suhendra