tirto.id - Jatuhnya pesawat Sriwijaya Air dengan nomor penerbangan SJ-182 pada Sabtu (9/1/2021) kembali melengkapi catatan buruk maskapai penerbangan di Indonesia.
Tercatat, sejak 1945 hingga 2021 (Januari), telah terjadi 104 kecelakaan pesawat di Indonesia, menurut Aviation Safety Network.
Banyaknya jumlah kecelakaan udara ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan pasar penerbangan paling mematikan di seluruh dunia, di depan Rusia, Iran, dan Pakistan. Demikian sebagaimana diwartakan Reuters.
Di antara tragedi itu, salah satu kecelakaan pesawat tragis di Indonesia terjadi ketika pesawat Mandala Airlines dengan nomor penerbangan RI-091 lepas landas dari Bandara Internasional Polonia Medan (sekarang Pangkalan Udara Soewondo) pada 5 September 2005.
Belum sempat mengangkasa, si burung besi Mandala 091 dengan rute Medan-Jakarta itu gagal lepas landas pada pukul 10.15 WIB. Rupanya, alat bantu gaya angkat pesawat (flap and slat) tidak berfungsi.
Alih-alih membatalkan kerjanya, pilot tetap berupaya lepas landas. Akibatnya, pesawat Mandala 091 merangsek ke pemukiman penduduk di kawasan Padang Bulan, Medan.
Pesawat dengan jenis Boeing 737-200 yang diproduksi tahun 1981 ini menabrak pagar landasan pacu, melewati sungai Babura, sampai meledak ketika merangsek ke perumahan padat penduduk di Jalan Jamin Ginting, kawasan Padang Bulan.
Selepas kecelakaan, terdapat rumor bahwa salah satu penyebabnya adalah kargo pesawat kelebihan muatan. Hal ini disebabkan adanya dua ton buah durian yang nyaris melewati batas maksimum yang bisa diangkut pesawat.
Namun, hal ini dibantah oleh ketika Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) lewat laporan investigasinya. KNKT menyatakan bahwa kargo pesawat Mandala 091 tidak melebihi batas muatan maksimum.
Ada beberapa kemungkinan penyebab jatuh pesawat, antara lain tidak berfungsinya alat bantu gaya angkat pesawat, atau prosedur pengecekan tak sesuai dengan persyaratan yang membuat kondisi alat bantu gaya angkat (flap) belum diperiksa dengan baik.
Akibat kecelakaan itu, sedikitnya tujuh rumah rusak parah dan terbakar, tujuh mobil, dan 10 sepeda motor yang berkendara dan parkir tertimpa serpihan pesawat.
Dari catatan DVI kepolisian, dituliskan bahwa dari 117 penumpang, 99 orang meninggal termasuk delapan kru pesawatnya. Sisanya, 18 orang selamat yang mendapat perawatan intensif di RS H. Adam Malik.
Selain penumpang, ketika merangsek 500 meter dari landasan pacu, warga pemukiman juga terkena dampaknya.
Sekitar 44 masyarakat setempat tewas karena kecelakaan tersebut. Jumlah korban meninggal secara keseluruhan adalah 143 orang.
Selain itu, proses evakuasi kecelakaan juga terhalang beberapa kendala. Pertama, terjadi hujan lebat yang menyulitkan petugas, namun pada saat bersamaan, hujan membantu memadamkan api dan bekas darah korban.
Kedua, petugas tidak bisa melakukan olah TKP dengan lancar karena tidak ada garis polisi. Selain itu, masyarakat juga berkerumun untuk melihat lokasi kecelakaan sehingga petugas terganggu ketika mengevakuasi korban.
Selepas jenazah dibawa ke rumah sakit pun, keluarga korban banyak berdatangan, serta sulit diajak bekerja sama untuk mengikuti prosedur yang ada.
Hal ini dicatat Sumy Hastry Purwanti dalam buku Dari Bom Bali hingga Tragedi Sukhoi (2013: 104) bahwa sempat terjadi sengketa perebutan jenazah No. 21.
Melalui perdebatan panjang antara keluarga Sitanggang dan Sitorus, akhirnya keluarga Sitanggang membawa pulang jenazah tersebut yang diidentifikasi bernama Rohida Rumbanlaja.
Ketika korban usai diidentifikasi, diketahui bahwa di antara korban kecelakaan pesawat Mandala 091 adalah Gubernur Sumatera Utara (Sumut) kala itu, Tengku Rizal Nurdin, serta mantan Gubernur Sumut sebelumnya, Raja Inal Siregar yang kala itu menjabat sebagai anggota DPRD Sumut, sekaligus rekannya yang bernama Abdul Halim Harahap.
Penulis: Abdul Hadi
Editor: Yandri Daniel Damaledo