Menuju konten utama
Periksa Fakta

Periksa Fakta Sejumlah Klaim 2 Dokter California Terkait COVID-19

Nama dr. Daniel Erickson dan dr. Artin Massihi dari Amerika Serikat, sedang jadi pusat perbincangan. Video konferensi pers mereka yang berisi sejumlah klaim terkait COVID-19 menimbulkan pro kontra.

Periksa Fakta Sejumlah Klaim 2 Dokter California Terkait COVID-19
Header Periksa Fakta. tirto.id/Quita

tirto.id - Dalam beberapa pekan terakhir video "Plandemic" ramai diperbincangkan di media sosial. Selain karena klaim-klaim menghebohkan July Mikovits, terdapat pula penggalan referensi dalam video tersebut yang juga banyak jadi sorotan: "kesaksian" dua orang dokter, yakni Dan Erickson dan Artin Massihi.

Nama dr. Daniel Erickson dan dr. Artin Massihi memang tengah naik daun di kalangan konservatif Amerika Serikat usai konferensi pers yang viral pada 22 April 2020. Kedua dokter ini juga tampil di acara ‘The Ingraham Angle’ yang ditayangkan Fox News pada 27 April 2020.

Sebagai catatan, Laura Ingraham, pembawa acara Fox News tersebut pernah beberapa kali mengirimkan cuitan-cuitan kontroversial di akun Twitter miliknya, seperti “CDC menaruh orang-orang yang belum tentu positif Corona ke jumlah kematian resmi untuk memperbesar angka kematian COVID-19” (arsip) atau “Hydroxychloroquine plus azithromycin punya potensi mengurangi infeksi COVID-19” (arsip).

Dalam video konferensi pers dua dokter itu, Erickson dan Massihi menganggap wabah virus corona baru SARS-CoV-2 bukanlah suatu ancaman dan menyarankan agar orang-orang kembali keluar rumah. Lebih lanjut, kedua dokter yang berdomisili di Bakersfield, California ini juga mengklaim bahwa SARS-CoV-2 bukanlah penyebab utama kematian dalam pandemi COVID-19. Selain itu, mereka berpendapat pula bahwa virus ini terbukti mirip dengan flu musiman.

Periksa Fakta Video Menyesatkan Dokter California

Periksa Fakta Video Menyesatkan Dua Dokter California. (Screnshoot/Facebook/Bless4Hell666)

Video pernyataan kedua dokter yang berdurasi 44 menit ini berkali-kali dihapus oleh YouTube karena melanggar community guideline platform itu. Namun, video tersebut kadung viral karena dan disebarkan berkali-kali oleh masyarakat, termasuk CEO Tesla Elon Musk. Di akun Twitter miliknya, Musk mengatakan bahwa kedua dokter ini memiliki poin yang bagus (arsip).

Dilansir The Guardian, Elon Musk sendiri beberapa kali memberi komentar-komentar terkait virus corona dan COVID-19. Beberapa di antaranya seperti pernyataan bahwa kepanikan masyarakat karena COVID-19 merupakan hal yang bodoh dan anak-anak pada dasarnya kebal terhadap virus corona, dan berusaha membuka pabriknya di California meski lockdown belum berakhir.

Di Indonesia, video Erickson dan Massihi salah satunya dibagikan oleh akun Facebook Bless4Hell666 (arsip). Video tersebut dibagikan hampir seribu kali di Facebook dan mendapat reaksi dari 164 orang. Akun tersebut juga menuliskan di deskripsi video, “Penting! Dokter ahli Amerika membongkar ternyata kita dibohongi tentang Covid-19. Semua hanyalah kerja sama Elite Global Cina dan Who? siapa... Viralkan☠️”

Klaim-Klaim Kontroversial

Daniel W. Erickson pernah bekerja sebagai dokter di unit gawat darurat di Bakersfield, California. Bersama koleganya, Artin Massihi, mereka membuka Accelerated Urgent Care di Bakersfield. Mereka merupakan tenaga medis yang berfokus menangani virus dan infeksi saluran pernapasan.

Mengetahui informasi bahwa virus corona telah menyebar di China sejak Januari lalu, mereka yakin virus tersebut juga akan tersebar luas di California, Amerika Serikat. Karenanya, mereka memesan banyak alat tes COVID-19 untuk deteksi dini dan melakukan lebih dari 5.000 tes sejak April. Berdasarkan hasil tes ini, mereka menyimpulkan beberapa klaim, termasuk COVID-19 yang mirip dengan flu musiman.

Menurut mereka, data dari kasus flu musiman pada 2017 dan 2018 menunjukkan bahwa terdapat 50 hingga 60 juta orang terkena flu dan tingkat kematiannya hampir sama dengan tingkat kematian akibat COVID-19. Lebih lanjut, sebut Erickson, kematian di Amerika setiap tahunnya mencapai 37 hingga 60 ribu kasus, tanpa adanya faktor pandemi, kebijakan berdiam di rumah, atau penutupan bisnis.

Mereka mengklaim bahwa social distancing dan kebijakan berdiam di rumah dapat menurunkan imunitas seseorang. Untuk mencegah hal ini, orang-orang dianjurkan untuk berinteraksi di luar rumah. Bagian lain dari video tersebut, yang juga ditampilkan di "Plandemic", menyampaikan bahwa menggunakan masker bagi orang sehat justru berbahaya.

Informasi-informasi yang disampaikan Erickson dan Massihi mendapat komentar pedas dari dokter-dokter yang tergabung di The American College of Emergency Physicians (ACEP) dan the American Academy of Emergency Medicine (AAEM). Mereka menyebut omongan Erickson dan Massihi sebagai "ceroboh dan tak terbukti".

Klaim ini, menurut ACEP dan AAEM, tidak sesuai dengan penelitian dan pengetahuan terkini tentang COVID-19 dan tidak dapat digunakan sebagai basis pengambilan kebijakan publik. ACEP dan AAEM menganggap pemilik klinik perawatan tersebut telah merilis "data yang bias dan tidak melalui peer-reviewed untuk kepentingan pribadi mereka tanpa mempedulikan kesehatan masyarakat."

ACEP dan AAEM membelejeti data yang digunakan Erickson dan Massihi yang berasal dari populasi kecil di California. Menurut mereka, data dari keduanya tidak mewakili informasi yang akurat mengenai COVID. Sebagai contoh, dalam pernyataan Erickson dan Massihi, dikatakan bahwa pada satu daerah di California, ada 12 persen positif COVID-19. Data ini kemudian digunakan untuk mengambil kesimpulan bahwa terdapat 4,7 juta kasus di seluruh negara bagian di California.

Padahal, menurut ACEP dan AAEM, angka 12 persen tersebut sulit untuk dapat mewakili kondisi keseluruhan negara bagian California karena negara bagian itu merupakan wilayah yang luas dan beragam. Selain itu, angka 12 persen tersebut hanya merujuk pada orang yang memiliki akses pada tes COVID-19.

Karena jumlah tes yang terbatas, besar kemungkinan terdapat orang-orang yang sudah terjangkit virus namun belum melakukan tes. Kemungkinan lainnya adalah, mereka yang terjangkit tidak menunjukkan gejala atau masih dalam masa inkubasi dan dapat menularkan virus pada orang-orang.

Selain itu, masih dari ACEP dan AAEM, metodologi yang digunakan oleh kedua dokter tersebut untuk menghitung angka kematian juga kurang tepat. Kedua dokter ini mengkomparasi angka kematian COVID-19 selama dua bulan dan membandingkannya dengan angka kematian flu selama enam bulan. Menurut ACEP dan AAEM, perbandingan akan tepat jika metodologi perhitungan tingkat kematian flu juga diaplikasikan ke COVID-19.

Catatan tambahan, angka kematian akibat influenza di Amerika Serikat pada 2019 mencapai 10,42 per 100 ribu penduduk (proyeksi penduduk AS pada 2019 sebanyak 327,54 juta penduduk). Sementara itu, merujuk pada jumlah kasus dan kematian akibat kasus COVID-19 pada 13 Mei, dan melalui perhitungan "(Angka kematian / populasi pada tahun yang sama) x 100.000,” maka angka kematian yang didapat untuk AS adalah 25,02 per 100 ribu penduduk (estimasi jumlah penduduk 329,56 juta jiwa pada 2020).

Sulit mengasumsikan COVID-19 tidak lebih berbahaya dibanding flu musiman ketika pandemi ini masih berjalan pada fase awal. Dalam salah satu artikelnya, Vox pernah menjelaskan beberapa faktor yang menempatkan posisi COVID-19 lebih berbahaya dibandingkan flu musiman dan mengapa social distancing menjadi penting. Pertama, secara umum, virus corona baru menjangkiti lebih banyak orang (2 hingga 2,5) dibanding flu musiman (1,3).

Kedua, flu memiliki masa inkubasi antara 1 hingga 4 hari. Sementara SARS-CoV-2 memiliki masa inkubasi hingga 14 hari. Dengan demikian, seseorang yang terinfeksi punya kesempatan besar untuk menjangkiti lebih banyak orang sebelum jatuh sakit. Ketiga, rata-rata orang yang masuk rumah sakit akibat COVID-19 jauh lebih besar dibanding flu, yakni 19 persen dibanding 2 persen.

Poin terakhir ini menjadi penegasan mengapa social distancing diperlukan. Dengan lebih sedikit orang keluar rumah, lebih sedikit pula kemungkinan orang-orang terpapar virus, dan perlu mendapat perawatan di rumah sakit. Jika lebih banyak orang-orang masuk rumah sakit dalam waktu tertentu, fasilitas kesehatan akan kewalahan dan juga mengorbankan pasien dengan penyakit lain.

Kemudian, terdapat pula klaim terkait belum adanya kematian yang murni karena virus corona baru SARS-CoV-2. Dalam beberapa pengujian klaim serupa oleh Tirto, memang ditemukan banyak pasien COVID-19 yang meninggal bukan disebabkan hanya oleh penyakit tersebut. Beberapa komplikasi penyakit yang menyertai pasien meninggal akibat COVID-19 itu bisa termasuk penyakit ginjal, diabetes, stroke, hingga jantung yang telah diderita pasien sebelumnya (premorbid dan comorbid).

Namun, di Italia, per 17 Maret 2020, terdapat 0,8 persen pasien COVID-19 yang meninggal tanpa komplikasi penyakit lain menurut laporan dari lembaga kesehatan nasional Italia, Istituto Superiore di Sanità atau ISS. Hal ini dilaporkan pula oleh Bloomberg dalam salah satu berita mereka.

Lebih lanjut, dilaporkan IDN Times dan Tribun Jatim, Ketua Gugus Tugas Kuratif Satgas Penanganan COVID Jatim dr. Joni Wahyuhadi, misalnya, mengatakan dari 48 pasien yang meninggal dunia di Jawa Timur, hanya dua pasien yang murni meninggal karena infeksi SARS-CoV-2.

Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan fakta yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa beberapa klaim dan informasi yang disampaikan dr. Daniel Erickson dan dr. Artin Massihi sifatnya keliru dan menyesatkan (false & misleading).

Baca juga artikel terkait PERIKSA FAKTA atau tulisan lainnya dari Irma Garnesia

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Irma Garnesia
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara