Menuju konten utama

Pentingnya Mengakhiri Impunitas Anggota TNI

Tindak pidana non-kedinasan militer seharusnya diproses melalui peradilan umum demi mengakhiri impunitas anggota TNI.

Pentingnya Mengakhiri Impunitas Anggota TNI
Header Perspektif Impunitas Militer. tirto.id/Ecun

tirto.id - Sungguh malang nasib Jusni (34). Jusni tewas di pinggir Jalan Edam 1, kawasan Tanjung Priuk, Jakarta Utara, setelah dikeroyok 11 anggota TNI AD dari Batalyon Perbekalan Angkutan (Yonbekang) 4/Air pada Februari 2020. Setelah mendapatkan bantuan Kontras dan melalui proses panjang selama 9 bulan, keluarga Jusni mendapatkan keputusan yang jauh dari rasa keadilan.

Untuk nyawa Jusni, Pengadilan Militer hanya memutus para terdakwa dengan hukuman tertinggi selama 1 tahun dan 2 bulan dan dua di antaranya dipecat dari dinas militer. Menurut Kontras, bukan hanya melukai rasa keadilan karena hukuman yang ringan, proses persidangan kasus kematian Jusni pun penuh keganjilan. Hal ini menunjukkan adanya persoalan sistemik dari Sistem Peradilan Pidana Militer (SPPM) di Indonesia.

SPPM di Indonesia cenderung menciptakan impunitas (minim pertanggungjawaban hukum) bagi anggota TNI. Berdasarkan hal tersebut, jadi sangat beralasan jika banyak suara yang menaruh skeptisme dan melakukan kritik terhadap manuver Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI ketika menyambangi gedung KPK karena keberatan atas penetapan Kabasarnas Marsyda TNI Henri Alfiandi dan Letkol Afri Budi Cahyanto sebagai tersangka kasus dugaan suap di Badan SAR Nasional.

Terlepas dari persoalan yang ada, secara hukum memang KPK berdasarkan UU TNI menjadi tidak berwenang untuk melakukan pengusutan terhadap anggota TNI aktif. Hal ini dikarenakan satu persoalan mendasar, yakni keberadaan Pasal 74 UU TNI yang membekukan pemberlakuan Pasal 65 UU TNI yang menaruh kewenangan kepada peradilan umum untuk memproses aparat militer yang melakukan tindak pidana umum, sampai dengan direvisinya UU Peradilan Militer. Namun demikian, setelah hampir 20 tahun berjalan parlemen masih belum bergerak untuk melakukan hal tersebut.

Sistem Peradilan Pidana Militer (SPPM) dan Impunitas

SPPM yang ada saat ini dibangun atas paradigma supremasi militer yang melihat bahwa peran personel militer di dalam kemajuan dan keutuhan bangsa sebagai instrumental dan tidak tergantikan. Hal ini melahirkan watak arogan dari aparat militer yang merasa perlu adanya keistimewaan tertentu yang berbeda dengan warga negara lainnya. Menurut Ulf Sundhaussesn (1982) perasaan ini lahir karena merasa paling berjasa dan berkorban di dalam memerdekakan Indonesia.

Pemisahan antara peradilan militer dan sipil memang dilakukan di negara-negara demokratis. Namun, ide dasar dari pemisahan ini bukan didasarkan pada paradigma supremasi militer sebagaimana terdapat dalam desain Indonesia. Pengembangan SPPM yang terpisah didasarkan pada kebutuhan untuk mengakomodir kekhususan proses, dalam jenis tindak pidana khusus yang terdapat di dalam tugas dan fungsi militer, seperti, desersi/ insubordinasi di masa perang atau dalam ruang lingkup tugas militer.

Sistem peradilan pidana militer Indonesia saat ini memiliki cacat desain karena paradigma supremasi militer yang melandasinya. Tidak seperti pada sistem peradilan umum, SPPM bukan merupakan sistem peradilan yang terbuka, bebas, dan mandiri. Dalam berbagai aspek hukum acaranya, ruang bagi pimpinan (atasan) terdakwa untuk melakukan intervensi terhadap proses hukum sangat terbuka luas.

SPPM bersifat subordinat dari struktur kekuasaan militer yang berpuncak pada Panglima TNI. Pada banyak kasus, model seperti ini menjadikan peran pengadilan militer menjadi minim dalam meminta pertanggungjawaban anggota militer, karena dalam batasan tertentu putusan bergantung pada kebijakan atasan dari pelaku.

SPPM bukan peradilan yang efektif untuk mendorong akuntabilitas personel militer sehingga melahirkan impunitas. Dalam praktiknya, telah banyak bukti kegagalan SPPM dalam mendorong akuntabilitas personel militer, seperti kasus penculikan aktivis oleh Tim Mawar. Beberapa personal Tim Mawar, yang setelah terbukti bersalah oleh pengadilan melakukan penculikan aktivis, masih tetap berkarier secara mulus di TNI seolah-olah tanpa ada catatan kelam dalam kariernya.

Tim Mawar Kopassus

Tim Mawar Kopassus dalam sidang mahkamah milter. [Grafis/Tf Subarkah/Foto/dok.kontras]

Salah satu bentuk impunitas telanjang lainnya adalah kasus Korupsi Pengadaan Helikopter AW 101 yang diduga melibatkan KSAU 2015-2017 Agus Supriatna. Pada kasus ini, Dispom TNI yang bertugas menyidik kasus aparat militer yang terlibat telah menghentikan perkaranya. Sementara terdakwa sipil pada kasus yang sama diputus bersalah oleh pengadilan.

Praktik impunitas anggota TNI juga dapat kita lihat di dalam praktik berlalu lintas sehari-hari. Seringkali mobil berplat dinas Kementerian Pertahanan/Matra TNI memanfaatkan rotator dan melakukan pelanggaran hukum lalu lintas, seolah tidak ada hukum yang dapat menyentuh aparat TNI dalam berlalu lintas.

Mengakhiri Impunitas

Salah satu hal penting untuk mengakhiri impunitas anggota militer adalah dengan menaruh pelanggaran-pelanggaran pidana non-kedinasaan tentara ke dalam kewenangan sistem peradilan umum. Hal ini sebenarnya sudah diarahkan di dalam politik hukum UU TNI 2004.

Pasca kejatuhan Soeharto, arus penolakan terhadap ideologi supremasi militer berlangsung kencang dan menjadi salah satu agenda reformasi yang utama. Beberapa produk hukum yang sejalan dengan semangat anti-militerisme dilahirkan di antaranya adalah TAP MPR Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri, TAP MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri, dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI). Perubahan arah politik hukum ini ditegaskan di dalam konsideran menimbang huruf d UU TNI yang menegaskan prinsip supremasi sipil untuk mewujudkan TNI yang profesional dalam menjalankan perannya.

Salah satu implementasi dari paradigma ini adalah dengan menghadirkan Pasal 65 UU TNI yang menundukkan pelanggaran pidana umum yang dilakukan oleh anggota TNI kepada peradilan umum. Langkah progresif ini tersandung persoalan karena keberadaan Pasal 74 yang menunda operasionalisasi ketentuan pasal tersebut sampai dengan keluarnya UU Peradilan Militer yang baru.

Setelah hampir 20 tahun sejak diundangkannya UU TNI, pemerintah dan DPR juga belum melaksanakan amanat Pasal tersebut yang pada akhirnya membiarkan impunitas anggota TNI. Terhambatnya proses pembentukan revisi UU Peradilan Militer ini mutlak sepenuhnya kesalahan Presiden dan DPR. Seharusnya kedua institusi negara ini menyadari arti pentingnya undang-undang ini, terutama sekali dengan fakta semakin merambahnya kembali personel TNI ke dalam institusi-institusi sipil.

Tanpa adanya penundukan personel militer kepada peradilan umum, ini artinya membiarkan impunitas personel TNI semakin berkembang. Hal ini akan melukai rasa keadilan masyarakat seperti dalam kasus Jusni ataupun dalam kasus korupsi helikopter AW 101, dan yang akhir-akhir ini mencuat dugaan kasus korupsi Kabasarnas.

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.