Menuju konten utama

Penelitian Ungkap Sejauh Mana Orang Bisa Disalahkan dalam Persoalan

Jika seseorang mendapatkan nilai 100 dalam tes, maka tes tersebut terlampau mudah. Namun jika seseorang tidak pernah mendapatkan nilai lebih dari 50 kemungkinan dia berada di jurusan yang salah.

Penelitian Ungkap Sejauh Mana Orang Bisa Disalahkan dalam Persoalan
Ilustrasi Unfriend. [Foto/Shutterstock]

tirto.id - Tidak semua yang dlakukan dalam hidup ini harus selalu benar. Kebenaran adalah sebuah relativitas yang bisa jadi berbeda-beda bagi setiap orang. Namun, seberapa jauh seseorang bisa salah?

Sebuah penelitian yang dibuat oleh Robert C. Wilson, seorang staf Departemen Program Kognitif dan Psikologi di Universitas Arizona dan kawan-kawan mengenai proses pembelajaran algoritma pada manusia dan menemukan bahwa akurasi kebenaran optimal adalah sekitar 85% dari total seluruh soal.

Sehingga apabila kesalahan lebih dari 15%, maka soal tersebut dianggap terlampaui sulit bagi seseorang dan sebaliknya jika jumlah benar lebih dari dari 85% soal tersebut terlalu mudah. Dari hasil tes algoritma tersebut dapat diterapkan dalam memahami proses pembelajaran pada manusia dan binatang. Hal ini mereka sebut sebagai “Aturan 85%”

Di luar kelas, tolok ukur ini relevan dalam proses pembelajaran manusia, termasuk dalam belajar bahasa. Sebagai contoh, belajar bahasa melalui aplikasi Duolingo, paling tidak seseorang harus mampu menjawab 85% soal dengan benar. Apabila kurang dari itu, maka dia belum siap untuk belajar di level berikutnya.

Aturan 85% ini sebenarnya bisa saja diterapkan pada seluruh aspek kehidupan. Namun, beberapa topik nampaknya memerlukan kebenaran mutlak. Sebagai contoh, ada tidaknya Tuhan.

Beberapa orang memilih percaya karena jika tidak mereka akan ke neraka sebagai gantinya. Itu adalah salah satu contoh argumen. Demikian pula dengan orang yang tidak percaya pada Tuhan juga memiliki argumennya sendiri.

Orang-orang cenderung memiliki ketetapan hati dan tidak mudah tergoyahkan jika berkaitan dengan Tuhan, entah pada akhirnya mereka benar atau salah. Sebanyak apapun bukti yang kita bawa kepada orang-orang yang berkeyakinan tersebut, mereka tidak akan mengakui bahwa mereka salah. Inilah yang disebut dengan “tingkat kesalahan nihil”. Kenapa seseorang tidak pernah salah dalam keyakinannya akan Tuhan?

Sebuah penelitian bertajuk “How to Never Be Wrong” oleh peneliti di Universitas Harvard, Samuel Gershman yang menemukan masalah auxiliary hypotheses. Apabila sebuah teori diselubungi dengan asumsi yang tidak menyeluruh dapat membuat inti dari teori tidak Nampak kebenarannya.

Sebagai contoh, tentang teori penciptaan yang menyebutkan bahwa Tuhan membuat dunia ini dalam waktu tujuh hari dengan ciptaan berbeda di setiap harinya. Namun, penemuan fosil menemukan bahwa teori tersebut tidak sesuai dengan fosil yang ditemukan.

Apakah dengan begitu Teori Penciptaan selama tujuh hari tersebut tidak bisa dipercaya? Tidak. Dengan asumsi bahwa 1 hari yang dimaksud bukanlah 24 jam karena matahari diciptakan bukan di hari pertama. Kata “Hari” adalah sebuah alat bantu untuk memahami seluruh teori. Kata bantu atau asumsi sampingan tentang hari tersebut menyelimuti kebenaran dari teori inti tentang penciptaan, membuatnya masih menjadi misteri alih-alih sebuah kebenaran mutlak.

Ada begitu banyak teori atau topik yang nampaknya membutuhkan keputusan benar atau salah. Namun, manusia tidak selalu berkutat pada argumen benar atau salah tentang sesuatu. Manusia melakukan apa yang nyaman dan tidak nyaman untuk dilakukan.

Tidak pernah salah juga bukan sesuatu yang membanggakan. Seperti dikutip dari Scientific American, aebaliknya, salah adalah langkah kecil yang tepat untuk mengerti seluruh kebenaran. Jika seseorang tidak pernah salah, artinya orang tersebut tidak pernah belajar sesuatu di luar zona nyamannya. Melakukan kesalahan seperti halnya garam dalam masakan, sedikit tapi mengubah seluruh citarasa pada masakan tersebut, dan tetap ingat untuk tidak berlebihan.

Baca juga artikel terkait SOAL CPNS 2018 atau tulisan lainnya dari Yulaika Ramadhani

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Yulaika Ramadhani
Editor: Yulaika Ramadhani