Menuju konten utama

Pendidikan Bencana Begitu Penting, Tapi Kenapa Kerap Diabaikan?

Pendidikan bencana bukannya tidak ada di Indonesia, melainkan tidak didukung instrumen hukum yang kuat dan kemauan politik.

Pendidikan Bencana Begitu Penting, Tapi Kenapa Kerap Diabaikan?
Sebuah mobil tertimbun lumpur akibat pencairan (likuifaksi) tanah yang terjadi di Desa Jono Oge, Sigi, Sulawesi Tengah, Kamis (4/10/2018). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

tirto.id - Di tengah Debat Cawapres 2019, penduduk Sentani, Jayapura, Papua berjibaku menghadapi dampak fatal terjangan banjir bandang. Rumah-rumah runtuh, jalan berselimut lumpur dan batang kayu. Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang dirilis tak lama sebelum debat, Minggu (17/3) sore, 58 orang meninggal akibat banjir tersebut.

Pada hari yang sama sekitar pukul dua siang, gempa juga mengguncang Lombok. BNPB melaporkan dua orang meninggal, 44 orang luka-luka, 32 unit rumah roboh, serta 499 unit rumah rusak sedang dan ringan akibat gempa berkekuatan 5,4 Skala Richter (SR) dan berpusat di Lombok Timur..

Jelas bukan kali itu saja banjir bandang dan gempa menerjang wilayah Indonesia. BNPB mencatat 2.546 bencana terjadi di Indonesia sepanjang 2018. Banjir, longsor, dan puting beliung tercatat sebagai bencana yang paling banyak terjadi. Sedangkan bencana gempa dan tsunami, meskipun jumlah kejadiannya lebih sedikit, berdampak jauh lebih fatal.

Pengetahuan yang memadai mengenai bencana dan tindakan pasca-bencana mutlak dimiliki masyarakat Indonesia. Namun, dalam Debat Cawapres 2019 yang berlangsung selama hampir dua jam, pendidikan kebencanaan tidak dibahas. Pertanyaan yang muncul, baik yang diajukan panelis maupun kandidat, tidak menyinggung soal pendidikan kebencanaan. Kata "bencana" muncul hanya satu kali dalam debat dan diucapkan Sandiaga dalam rangkaian kalimat bela sungkawanya untuk korban penembakan teroris di Selandia Baru, banjir di Sentani, dan gempa di Lombok.

"Sebelum kami memberikan pemicu untuk debat, izinkan saya mengucapkan bela sungkawa kepada warga negara Indonesia dan seluruh warga yang terkena serangan teroris di Christchurch. Dan kami juga baru saja mendapat kabar, ada banjir di Papua, dan juga gempa di NTB. Mari kita sama-sama beristighfar dan berdoa agar rekan-rekan kita, saudara-saudara setanah air bisa menghadapi bencana ini. Dan semuanya Insya Allah bisa selamat, pulih, sedia kala," ujar Sandiaga.

Sebetulnya Sandiaga bisa saja menyisipkan satu atau dua kalimat retoris mengenai pendidikan kebencanaan. Namun, dalam debat bertema pendidikan, ketenagakerjaan, kesehatan, dan kehidupan sosial-budaya itu dia tidak melakukannya.

Begitu pula Ma'ruf Amin. Ia tak membuka perbincangan, menyampaikan gagasan, atau menjanjikan program terkait pendidikan kebencanaan dalam debat.

Isu kebencanaan juga tidak muncul dalam dua debat sebelumnya. Padahal, salah satu tema yang diangkat Debat Kedua Pilpres 2019 ialah lingkungan hidup dan sumber daya alam.

"Saya agak khawatir saat debat [kedua Pilpres 2019] kemarin. Bencana itu masuk isu lingkungan. Tapi kedua kandidat [Jokowi dan Prabowo] jauh lebih banyak ngomongin soal sumber daya alam, kekayaan alam, dan bagaimana menjaga sumber daya alam. Tetapi tidak ada yang menyentuh sedikit pun soal bencana. Bahwa kita [di Indonesia] ada 295 sesar aktif itu tidak dibahas dan apa yang harus dilakukan pemerintah juga tidak," ujar Direktur Perkumpulan Sekala Trinirmalangingrum saat dihubungi Tirto, Selasa (19/3).

Sikap itu berkebalikan dengan apa yang disampaikan para kandidat pada akhir Desember 2018. Ma'ruf mengatakan ada usulan agar ada pendidikan untuk masyarakat mengenai penanggulangan bencana. Sandiaga juga mengatakan hal yang kurang lebih serupa. Bahkan, dia berujar ingin membentuk kementerian khusus bencana untuk itu serta memasukkan pendidikan mitigasi bencana ke kurikulum sekolah. Sedangkan Jokowi menginstruksikan agar pendidikan bencana masuk kurikulum sekolah.

Ucapan-ucapan itu muncul tidak lama setelah tsunami menghantam pesisir barat laut Banten dan selatan Lampung pada Sabtu (22/12/2018). Akibat tsunami tersebut, BNPB mencatat pada 28 Desember 2018 bahwa 426 orang meninggal, lebih dari 7 ribu orang luka-luka dan 40 ribu warga mengungsi.

Sebelumnya, bencana geologis di dua tempat lain di Indonesia telah menelan korban yang juga tidak sedikit. Dua gempa besar menerjang Lombok, masing-masing, pada akhir Juli dan awal Agustus 2018. Laporan BNPB pada 1 Oktober 2018 menyebutkan 564 warga Lombok meninggal dan 1.584 lainnya luka-luka. Kerusakan paling parah terjadi di Lombok bagian utara.

Pada akhir September 2018, pergerakan Sesar Palu-Koro menyebabkan gempa yang menggoyang pemukiman warga Kota Palu dan Kabupaten Donggala di Sulawesi Tengah. Gempa tersebut juga memicu tsunami. Di pantai Palu, tinggi air laut saat tsunami mencapai 1,5 meter. Gempa yang sama menyebabkan likuifaksi (pencairan tanah) di sejumlah wilayah Kabupaten Sigi, selatan Kota Palu. BNPB melaporkan per 20 Oktober 2018 bahwa 2.113 orang meninggal dan 4.612 luka-luka akibat gempa tersebut.

Ketika Sekolah Negeri Menolak Pelatihan Menghadapi Bencana

Trinirmalangingrum sudah mafhum dengan dunia mitigasi bencana. Ia memimpin ekspedisi Palu-Koro yang dihelat pada 2017 dan 2018. Perkumpulan Sekala yang dipimpinnya saban tahun menawarkan dan membuat pelatihan di sekolah-sekolah agar para guru dan pelajar menyadari ancaman bencana yang mengintai.

Tapi tak semua sekolah menyambut baik tawaran Sekala. Menurut Trinirmalangingrum, sebagian besar sekolah yang menolak tawaran pelatihan menghadapi bencana Sekala adalah sekolah negeri. Alasannya, kegiatan sekolah sudah penuh diisi bermacam pelatihan lain. Bagi perempuan yang akrab disapa Rini ini, sikap tersebut menunjukkan bahwa sekolah-sekolah tersebut belum belum melihat mitigasi bencana sebagai isu penting.

"Justru sekolah swasta yang jemput bola. Mereka malah telpon kami. Sekolah berjenis madrasah justru mau. Kalau sekolah negeri menolak dengan alasan kegiatan sudah penuh hingga akhir tahun. Sedangkan sekolah yang tidak diurusi negara justru lebih terbuka," ujar Rini.

Pelatihan mitigasi bencana, ujar Rini, juga tidak hanya menyasar para pelajar. Guru juga menjadi sosok penting dalam mengurangi jatuhnya korban saat bencana terjadi. Rini ingat betul cerita seorang guru Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di Lombok yang panik dan lari meninggalkan murid-muridnya saat gempa terjadi.

"Dia [guru PAUD itu] bilang, 'Kami aja takut, apalagi anak-anak. Jadi bukan hanya siswa yang perlu diberi pelatihan, tapi kami juga perlu diberi pelatihan cara menghadapi gempa dan apa yang harus kami lakukan untuk menyelamatkan anak-anak'," kata Rini.

Hingga saat ini, tidak ada mata pelajaran khusus kebencanaan. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) juga belum memiliki instrumen hukum yang dapat memaksa sekolah melaksanakan pelatihan mitigasi bencana.

Sebagaimana disampaikan Tenaga Ahli Sekretariat Nasional Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB) Kemendikbud Jamjam Muzaki kepada Tirto, Selasa (19/3), instrumen hukum yang berlaku sekarang berupa Surat Edaran 70a/SE/MPN/2010 tentang Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana di Sektor Pendidikan yang diteken pada 2010. Kemendikbud juga membuat surat edaran serupa setiap tahunnya.

Akhirnya, ada atau tidaknya pelatihan mitigasi bencana di sekolah, menurut Jamjam, "Sekarang bergantung kepada kesadaran sekolahnya."

Kementerian yang kini dipimpin Muhadjir Efendi tersebut memang telah mengintegrasikan pendidikan bencana ke dalam mata pelajaran dan kegiatan ekstrakurikuler. Namun, Jamjam mengatakan pihaknya belum membuat mekanisme pengawasan dan evaluasi pelaksanaannya. Target pendidikan kebencanaan yang disisipkan dalam mata pelajaran pun sulit dinilai.

Jamjam mengklaim guru telah diberi pelatihan kebencanaan oleh Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan (Dirjen GTK) Kemendikbud. Namun, ia juga mengatakan bahwa peserta pelatihan amat terbatas. Pada tahun ini, misalnya, Kemendikbud hanya mampu melatih 120 fasilitator daerah. Masing-masing diberi tugas untuk melatih 25 kepala sekolah. Hasilnya, baru sekitar 3.000 kepala sekolah yang mendapat imbas pelatihan tersebut.

Untuk menyiasati keterbatasan pertemuan tatap muka, Jamjam mengatakan Kemendikbud telah membuat pelbagai modul pendidikan kebencanaan secara daring. Diluncurkan awal 2019, total pengunduh pelatihan ini mencapai sekitar 1.100.

Mencontoh Kesuksesan Program KB

Rini tidak menampik bahwa pengajaran isu kebencanaan di sekolah formal penting. Namun, menurutnya pemerintah harus membuat program yang lebih semarak sehingga pengetahuan mitigasi bencana juga dimiliki masyarakat di pelosok desa.

Menurutnya, program tersebut mungkin dapat meniru kampanye Keluarga Berencana (KB) yang digelar semasa Orde Baru.

"Ada jukpen [juru penerang] di setiap desa untuk menjelaskan apa pentingnya KB. Kondom, spiral, segala macam mudah ditemukan di Posyandu atau Puskesmas. Perempuan dan ibu-ibu bisa berkonsultasi dan mengambil pilihan," ujar Rini.

Para juru penerang isu kebencanaan itu, menurut Rini, dapat direkrut BNPB atau diambil dari organisasi yang sudah ada seperti Taruna Siaga Bencana (Tagana) milik Kementerian Sosial (Kemensos) atau Karang Taruna. Juru penerang di daerah akan digerakkan oleh BPBD.

Ini tidak mustahil dilakukan. Februari kemarin, BNBP menandatangani kerja sama dengan Kemensos untuk menjadikan Tagana tidak sekadar bergerak setelah bencana tetapi juga berkampanye mengenai isu kebencanaan di saat tidak ada bencana. Kemendikbud juga tengah menyusun Peraturan Mendikbud agar dapat mewajibkan sekolah-sekolah menyelenggarakan pelatihan kebencanaan rutin.

Namun, untuk menjalankan itu, pertama-tama paradigma pengelolaan BNBP mesti dibenahi. BNPB tidak perlu lagi merancang sendiri strategi atau peraga kampanye isu kebencanaan. Rini berkaca dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) semasa Orde Baru yang sukses mengampanyekan KB karena menggunakan bantuan ahli komunikasi profesional. Rini yakin bahwa ini langkah yang baik agar konsentrasi BNBP tidak pecah.

"Saya khawatir kantor [BNBP] jadi seperti kantor desain grafis. Memang mereka punya fungsi sosialisasi, tetapi yang membuat materinya harus orang-orang profesional. Artinya enggak perlu repot bikin media sendiri sehingga konsentrasi staf di BNBP lebih tinggi," ujar Rini.

Sementara itu, koordinasi antara BNBP, BPBD, Dinas Pendidikan pun mesti diperkuat. Menurut Direktur Pemberdayaan Masyarakat BNPB Lilik Kurniawan, pihaknya tidak bisa masuk hingga ke daerah kabupaten/kota.

"Di sana ada perpanjangan tangan kami, misalnya BPBD atau Dinas Pendidikan, yang mestinya mereka sudah tahu [soal pengurangan risiko bencana]. Dengan konsep berjenjang yang selama ini dilakukan, sepertinya perlu dilihat lagi. Kesannya mereka tidak melakukan apa-apa, padahal sudah tahu. Tidak memperkuat sekolah-sekolah yang rawan bencana," ujar Lilik kepada Tirto, Senin (18/3).

Infografik Bencana Alam di 2018

Infografik Bencana Alam di 2018

Kualitas perekrutan sumber daya manusia di kedua lembaga itu juga mesti ditingkatkan. Ada anggapan bahwa BPBD itu lembaga penampung orang-orang buangan. Kepala BPBD Sulawesi Tengah yang ditemui Rini tahun lalu, misalnya, tidak mengetahui Sesar Palu-Koro. Dia beralasan baru menjabat dua bulan.

"Setelah kami presentasi soal Palu-Koro, dia [Kepala BPBD Sulawesi Tengah] bilang 'Saya saja baru tahu nih ada Palu-Koro. Palu-Koro itu apa juga saya masih bingung jadi saya enggak bisa kasih komentar'. Ini menunjukkan pejabat-pejabat di daerah engga serius juga di departemennya. Dua bulan waktu yang cukup untuk dia buka buku, belajar," ujar Rini.

Tentu, tidak semua BPBD seperti itu.

Mencari Sekolah Tahan Banting

Di luar itu, ketahanan fasilitas sekolah terhadap bencana juga menjadi aspek penting lainnya. Buku Pendidikan Tangguh Bencana (2017) yang disusun Kemendikbud menyatakan 250 ribu sekolah di Indonesia terletak di daerah multi-bahaya gempa bumi, letusan gunung api, tsunami, banjir, dan longsor.

Menurut Lilik Kurniawan, baik sekolah yang berada di daerah rawan bencana dan tidak sama-sama dibangun dengan ketahanan bangunan yang serupa.

"Memang kalau kita lihat sekolah-sekolah dengan aturan yang diterapkan dianggap masih sama semua. Misalnya, di daerah yang rawan gempa bumi harus memiliki kekuatan bangunan lebih baik. Kalau standarnya pakai besi 8, di wilayah itu harus pakai besi 10 atau 12. Tetapi kalau bangunan pemerintah pakai seperti itu, ada indeks kemahalan yang tidak ditoleransi para pengawas, oleh DKP misalnya," ujar Lilik.

Kendati memiliki data sekolah mana yang terletak di daerah rawan bencana, Jamjam mengatakan Kemendikbud tidak mengetahui persentase sekolah yang fasilitasnya sudah dirancang atau dibangun agar tahan bencana.

Lagi-lagi Kemendikbud tidak memiliki mekanisme pengawasan dan evaluasi pembenahan fasilitas sekolah yang terletak di kawasan rawan bencana.

"Dari sisi fungsi, Seknas SPAB perlu didukung dengan instrumen, misalnya monev [monitor dan evaluasi] yang terlembaga seperti akreditasi sekolah," ujar Jamjam.

Baca juga artikel terkait PENDIDIKAN BENCANA atau tulisan lainnya dari Husein Abdulsalam

tirto.id - Pendidikan
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Windu Jusuf