Menuju konten utama

Pendapat DPR soal Gugatan Pasal Perkawinan Beda Agama

Menurut Arsul Sani, negara justru mengembalikan syarat sahnya perkawinan pada agama dan kepercayaan masing-masing.

Pendapat DPR soal Gugatan Pasal Perkawinan Beda Agama
Suasana sidang putusan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terhadap UUD 1945 dengan pemohon Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Evi Novida Ginting Manik dan Arief Budiman di Gedung MK, Jakarta, Selasa (29/3/2022). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/tom.

tirto.id - Mahkamah Konstitusi (MK) mulai menggelar sidang pleno terhadap permohonan uji materi pasal perkawinan beda agama di Undang-Undang Perkawinan, Senin (6/6/2022). Sidang dengan nomor perkara 24/PUU-XX/2022 ini digelar dengan agenda mendengarkan keterangan presiden dan DPR.

Keterangan dari dewan diberikan oleh anggota Komisi III DPR RI, Arsul Sani. Ia mengatakan bahwa negara mengembalikan syarat sahnya perkawinan berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing.

"Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan, yang mengatur perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan, dalam hal ini negara justru memberikan kebebasan kepada setiap orang dengan mengembalikan syarat sahnya perkawinan ke hukum agama kepercayaan masing-masing," kata Arsul saat memberikan keterangan.

"Jika dalam kepercayaan dan agama yang dianut oleh pemohon membolehkan perkawinan beda agama, maka negara harus mensahkannya secara administratif," sambung dia.

Sementara keterangan dari presiden diberikan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna H. Laoly dan Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas. Keterangan tersebut dibacakan oleh Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag.

Sidang pleno selanjutnya akan digelar pada 15 Juni 2022 mendatang dengan agenda mendengar keterangan pihak terkait.

Seorang pemuda dari Kabupaten Dogiyai, Papua, E Ramos Petege menggugat Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan ke MK. Permohonan ini dilayangkan usai dirinya gagal menikahi perempuan karena beda agama.

Diketahui, pemohon E Ramos Petege merupakan seorang pemeluk Katolik. Sementara perempuan yang ingin dinikahinya beragama Islam.

Kuasa hukum pemohon, Ni Komang Tari Padmawati mengatakan UU Perkawinan tidak memberikan kejelasan hukum terhadap perkawinan beda agama atau kepercayaan. Karena itu, kliennya menggugat aturan tersebut agar mendapat kejelasan.

Selain itu, sambung dia, gagalnya niatan pernikahan kedua belah pihak juga karena adanya intervensi golongan yang diakomodir oleh negara melalui UU Perkawinan.

Ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan dinilai telah mencederai hak konstitusional pemohon. Hal itu sebagaimana yang diamanahkan Pasal 29 ayat (1), (2) Pasal 28E ayat (1) dan (2) Pasal 27 ayat (1) Pasal 28I ayat (1) dan (2), Pasal 28B ayat (1) serta Pasal 28D ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Baca juga artikel terkait GUGATAN UU PERKAWINAN atau tulisan lainnya dari Fatimatuz Zahra

tirto.id - Hukum
Reporter: Fatimatuz Zahra
Penulis: Fatimatuz Zahra
Editor: Fahreza Rizky