Menuju konten utama
Perdana Menteri Inggris

Pemerintahan Liz Truss: Tujuh Pekan Penuh Kekacauan

Banyak yang Liz Truss janjikan di awal masa pemerintahan, tapi semua itu berujung kegagalan hingga membuatnya menjadi PM tersingkat.

Pemerintahan Liz Truss: Tujuh Pekan Penuh Kekacauan
A selection of the front pages of British national newspapers showing the reaction the the resignation of Prime Minister Liz Truss, in central London, Friday, Oct. 21, 2022. British Prime Minister Liz Truss resigned Thursday, bowing to the inevitable after a tumultuous, short-lived term in which her policies triggered turmoil in financial markets and a rebellion in her party that obliterated her authority. (AP Photo/David Cliff)

tirto.id - Artikel sebelumnya: Liz Truss Datang Saat Inggris Berantakan

Setelah Boris Johnson mengumumkan mengundurkan diri sebagai perdana menteri pada bulan Juli, Liz Truss langsung bergerak cepat. Ia berusaha meyakinkan 170 ribu anggota Partai Konservatif—yang dianggap tidak merepresentasikan rakyat Inggris karena didominasi laki-laki berusia lebih tua, kulit putih, dan kelas menengah mapan—bahwa dialah pengganti yang paling tepat.

Salah satu upayanya adalah memberi banyak janji. Di antaranya membatalkan pajak tambahan pada Asuransi Nasional yang diberlakukan administrasi Johnson sejak April, mencegah kenaikan pajak perusahaan yang dijadwalkan berlaku tahun depan, serta membuka “zona pajak rendah” untuk menarik minat sektor bisnis.

Truss juga berjanji bakal meloloskan aturan hukum baru untuk mencegah mogok kerja oleh “serikat buruh militan”.

Janji manis akhirnya berbuah manis pula. Lebih dari 57 persen atau sekitar 81 ribu suara mendukung politikus yang mengaku sebagai “loyalis” Johnson ini.

Menariknya, Truss justru tidak terlalu difavoritkan oleh orang-orang Konservatif di parlemen. Sebelum pemilihan oleh seluruh anggota partai, sekitar 350 legislator Konservatif harus menyeleksi para kandidat sampai terpilih dua nama saja. Ini dilakukan lewat pengambilan suara sebanyak lima putaran. Selama itulah suara untuk Truss selalu lebih rendah daripada kandidat top lain, Rishi Sunak, yang tidak lain menteri keuangan era Johnson.

Setelah melewat seluruh seleksi, Truss resmi terpilih jadi pemimpin partai yang dari hari ke hari kekompakannya semakin dipertanyakan itu pada 5 September.

Sebagaimana pemenang, dia pun menyampaikan pidato. Truss mengawali pidato kemenangannya dengan memuji Partai Konservatif sebagai “partai politik terhebat di Bumi.” Menurut Truss, nilai-nilai filosofis partainya—seperti mengadvokasikan kebebasan, kontrol atas kehidupan sendiri, pajak-pajak rendah—sudah mencerminkan aspirasi sebagian besar publik yang memilih mereka pada pemilu 2019. Kala itu, kubu Konservatif berhasil mengamankan kursi terbanyak di parlemen—kemenangan terbesar sejak dekade 1980-an di bawah kepemimpinan Margaret Thatcher.

“Sebagai pemimpin partai, saya akan mewujudkan janji kami kepada para pemilih suara di penjuru negeri hebat kita,” ujar Truss.

Truss lantas mengulang janji-janjinya yang terdengar heroik meskipun tidak spesifik tentang cara meraihnya: “Saya akan mewujudkan rencana berani untuk memangkas pajak dan menumbuhkan ekonomi kita. Saya akan mengatasi krisis energi, menangani tagihan energi masyarakat, serta berbagai masalah jangka panjang terkait pasokan energi. Dan saya akan memenuhi [janji] tentang layanan kesehatan pemerintah NHS.”

Setelah menyampaikan pidato penuh semangat tersebut, Truss terbang ke Istana Balmoral, Skotlandia untuk bertemu dengan Ratu Elizabeth II yang memerintahkannya membentuk pemerintahan baru. Tak lama kemudian, pada pagi hari 8 September, Truss mengumumkan rencana untuk mengatasi krisis energi.

Pertama, dalam rangka menjaga biaya tagihan energi tetap terjangkau selama dua tahun ke depan, administrasi Truss akan memanfaatkan dana pinjaman sekitar 150 miliar pound sterling—salah satu intervensi terbesar pemerintah sejak krisis keuangan global 2008. Kedua, untuk memenuhi kebutuhan sumber energi, Truss akan mengizinkan lagi aktivitas pertambangan gas bumi kontroversial, fracking, yang prosesnya merusak lingkungan.

Sebelum publik bisa menyerap dan mengkritisi rencana-rencana besar Truss, dunia dikejutkan dengan kematian Ratu Elizabeth pada sore harinya. Selama dua minggu atau 10 hari kerja, rakyat Inggris berkabung. Layanan publik dihentikan—termasuk aktivitas administrasi Truss.

Barulah pada tanggal 23 September Truss kembali bikin kehebohan dengan rencana untuk menyelamatkan ekonomi. Hal ini disampaikan oleh Kwasi Kwarteng, Menteri Keuangan sekaligus kawan dekat Truss.

Kwarteng berencana menerapkan keringanan atau pemotongan pajak yang total nilainya bisa mencapai 45 miliar pound sterling—terbesar dalam riwayat pemotongan pajak di Inggris selama setengah abad. Dalam rencananya, pemerintah akan mengurangi pajak pendapatan, pajak tambahan untuk biaya Asuransi Nasional sampai bea materai.

Dari sekian poin tersebut, perkara tentang potongan pajak pendapatan menjadi topik yang paling panas.

Bagi kalangan pekerja biasa, pajak pendapatan akan dikurangi dari 20 persen jadi 19 persen. Harapannya, 31 juta orang dapat menghemat 170 pound sterling (sekitar Rp3 juta) dalam setahun. Pada waktu sama, dan ini yang kontroversial, pemerintah memihak pada kalangan kaya raya dengan mengurangi pajak dari 45 persen jadi 40 persen bagi mereka yang berpenghasilan di atas 150 ribu pound sterling (Rp2,5 miliar) per tahun.

Pemerintah juga menunjukkan sikap probisnis dengan membatalkan rencana kenaikan pajak perusahaan, yang tahun depan akan naik dari 19 jadi 25 persen. Asumsinya, dengan mengurangi beban pajak rakyat dan sektor bisnis, aktivitas ekonomi bisa berjalan lebih lancar dan semakin kompetitif—atau pendeknya, dapat memicu pertumbuhan ekonomi.

Kwarteng sendiri menargetkan kebijakannya bisa mendorong pertumbuhan Produk Domestik Bruto sampai 2,5 persen—di atas rata-rata pertumbuhan 1,8 persen per tahun selama dua dekade sebelum pandemi Covid-19.

Di satu sisi, langkah tersebut sejalan dengan prinsip liberalisme Truss, yang selama ini selalu menganggap keliru sikap pemerintah yang menarik pajak tinggi karena itu artinya sudah merenggut kebebasan orang lain dalam menikmati dan mengelola uangnya. Akan tetapi, pengamat menyayangkan pemotongan pajak besar-besaran sebagai “langkah nekat yang sangat berisiko” sekaligus “taruhan untuk pertumbuhan [ekonomi].”

Sebabnya, tindakan administrasi Truss untuk menyunat pajak tidak diiringi dengan keputusan untuk menghemat anggaran belanja negara. Singkat kata, pemerintah perlu meningkatkan pinjaman alias berutang lebih banyak agar tetap bisa membiayai berbagai belanja sektor publik.

Hal itulah yang menjadi ketakutan kalangan pengusaha. Di mata mereka, semakin banyak jumlah surat utang atau obligasi yang diterbitkan pemerintah, prospek ekonomi dipandang akan semakin suram dan dunia usaha berpotensi melesu.

Kebijakan Truss untuk memotong pajak akhirnya direspons dengan panik oleh pasar keuangan. Nilai tukar pound sterling anjlok ke level terendah terhadap dolar AS—pertama kali setelah 37 tahun. Sementara itu, tingkat imbal hasil (yield) obligasi mengalami kenaikan sampai-sampai Bank of England perlu melakukan intervensi demi menenangkan pasar.

Tingkat suku bunga simpanan bank juga ikut naik dan memengaruhi pembayaran cicilan rumah atau KPR. Menambah ketegangan itu semua adalah tingkat inflasi yang masih tinggi—menembus 10 persen pada bulan September.

Ketidakstabilan pasar Inggris sampai menuai kritik dari organisasi moneter internasional IMF. Mereka menganggap rencana ekonomi Truss akan “memperparah ketimpangan” di Inggris, tak lain karena salah satu pihak yang paling diuntungkan dari kebijakan pemotongan pajak adalah kalangan kaya raya.

Kendati demikian, Truss gigih mempertahankan rencana ekonomi yang diakuinya sebagai keputusan “kontroversial dan sulit” demi “menggerakkan ekonomi”.

Ia juga paham bahwa kebijakannya tidak sesuai dengan ekspektasi setiap orang. “Tidak semua orang suka dengan apa yang kami lakukan, tapi saya ingin memastikan ke masyarakat bahwa pemerintah punya rencana jelas yang, saya yakini, tepat untuk negara kita,” tulis Truss dalam kolom opini untuk The Sun pada akhir September.

Kelak, tidak ada penjelasan lebih lanjut terkait “rencana jelas” yang Truss klaim di atas. Pada awal Oktober, di bawah tekanan partainya sendiri, Truss terpaksa membatalkan potongan pajak pendapatan untuk golongan orang kaya.

Tak berapa lama kemudian, Truss memecat Kwarteng dan mengangkat menteri keuangan baru, Jeremy Hunt, yang bergegas membatalkan mayoritas rencana pemotongan pajak (pajak perusahaan, pajak pendapatan, pajak minuman beralkohol, pajak pertambahan nilai bagi wisatawan asing). Wacana untuk mempertahankan harga tagihan energi tetap terjangkau selama dua tahun juga dibatalkan.

Jaminan harga energi murah hanya berlaku sampai enam bulan ke depan—sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh administrasi sebelumnya di bawah Johnson.

Infografik Liz Truss

Infografik Liz Truss. tirto.id/Fuad

Yang tersisa dari rencana ekonomi Truss hanyalah pembatalan kenaikan pajak Asuransi Nasional serta keringanan untuk bea materai dan properti bagi pembeli pertama kali—yang efeknya dipandang tidak terlalu signifikan untuk ekonomi secara luas.

Pendek kata, setelah tujuh minggu bertengger di pucuk kekuasaan, administrasi Truss dihadapkan pada kebuntuan, sama sekali tak punya rencana apa pun untuk pemerintahan.

Akhirnya, tanggal 19 Oktober, Truss memutuskan untuk mengundurkan diri—otomatis menyandang gelar sebagai perdana menteri dengan masa jabatan tersingkat dalam sejarah Inggris.

Masih belum jelas apa yang akan Truss lakukan nantinya. Mungkin ia akan kembali duduk di kursi parlemen sebagai anggota dewan perwakilan dari konstituen South West Norfolk.

Kalaupun tidak berminat kembali ke politik atau berkarier di bidang lain, Truss sebenarnya bakal tetap baik-baik saja karena hidupnya sudah dijamin dengan uang pajak rakyat. Sebagai mantan perdana menteri, Truss tetap berhak memperoleh tunjangan senilai 115 ribu pound sterling (Rp2 miliar) setiap tahun seumur hidup (sebagai perbandingan, median gaji tahunan untuk pekerja di Inggris tak sampai sepertiganya, kira-kira 30 ribu pound sterling).

Pengganti Truss di Downing Street No. 10 adalah politikus Konservatif keturunan India dan mantan bankir yang punya kekayaan luar biasa, Rishi Sunak. Administrasi Sunak diperkirakan akan mengambil langkah berbeda dari pendahulunya untuk menyelamatkan ekonomi, salah satunya tak lain dengan melakukan hal yang dibenci Liz Truss sedari muda: meningkatkan pajak.

Baca juga artikel terkait LIZ TRUSS atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Politik
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Rio Apinino