Menuju konten utama

Pegiat Antikorupsi Sebut DPR Tidak Paham Soal Independensi KPK

Menurut peneliti TII, Wawan Suyatmiko, aksi DPR yang menginginkan pimpinan KPK yang mengikuti keinginan legislatif justru mengganggu independensi KPK.

Pegiat Antikorupsi Sebut DPR Tidak Paham Soal Independensi KPK
Tulisan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tertutup kain hitam di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (9/9/2019). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/foc.

tirto.id - Pegian antikorupsi dari Transparency International Indonesia (TII) Wawan Suyatmiko mengritik sikap anggota DPR yang menyindir sifat "membangkang" para pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ia menilai, aksi DPR yang menginginkan pimpinan KPK yang mengikuti keinginan legislatif justru mengganggu independensi KPK.

Wawan pun memandang, DPR juga tidak memahami isi Pasal 3 UU KPK terkait independensi KPK.

"DPR jelas tidak memahami fungsi independensi lembaga antikorupsi seperti KPK. Pembentukan dewan pengawas, dukungan SDM dari satu atau dua lembaga, status pegawai sebagai pegawai ASN adalah bentuk ketidakpahaman prinsip-prinsip lembaga independen yang telah diatur dalam ratifikasi kovenan internasional ttg badan antikorupsi, terutama pasal 6 UNCAC yg menyatakan bahwa badan antikorupsi harus independen dari bebas dari pengaruh apa pun," kata Wawan kepada reporter Tirto, Senin (9/9/2019).

Selain itu, Wawan juga mengritik isi pertemuan antara pansel KPK dengan DPR.

Menurut Wawan, DPR seharusnya mengomentari hasil kerja pansel KPK yang ternyata masih menimbulkan kegaduhan di publik. Ia pun memandang, DPR seharusnya mengedepankan pencarian kandidat capim KPK yang lebih mengedepankan penguatan lembaga, bukan pelemahan dengan memilih pimpinan bermasalah.

Sebagai informasi, koalisi masyarakat sipil masih mengkritik hasil seleksi final Pansel KPK. Dalam 10 nama final yang diserahkan kepada Jokowi dan diserahkan kepada DPR, koalisi masih melihat ada sejumlah nama yang dianggap bermasalah.

Salah satu nama yang disebut-sebut bermasalah adalah Kapolda Sumatera Selatan Irjen Firli Bahuri. Ia dinilai bermasalah karena melanggar etik karena bertemu dengan pihak berperkara, yakni Tuanku Guru Bajang (TGB) yang tengah diselidiki terkait kasus divestasi Newmount. Kemudian, mantan Kapolda NTB itu juga disebut dekat dengan partai tertentu.

Wawan pun menganggap, pernyataan-pernyataan anggota DPR dalam rapat dengan Pansel KPK sebagai sinyal legislatif akan ikut terlibat dalam pelemahan KPK.

Ia khawatir, proses seleksi capim KPK akan berupaya untuk melemahkan KPK. Apalagi, seleksi capim ini bersamaan dengan revisi UU KPK.

"Khawatirnya adalah saat ini proses revisi UU KPK juga sedang jalan di DPR. Jangan sampai pertanyaan soal setuju/tidak terhadap revisi menjadi salah satu pertanyaan kunci DPR kepada Capim. Jadi Capim yang setuju Revisi akan langsung lolos proses. Ini yang mematikan!" kata Wawan.

Pernyataan TII merespons terkait sejumlah sikap DPR dalam rapat dengan pansel KPK. Dalam rapat tersebut, DPR menyanjung kinerja pansel padahal sejumlah nama bermasalah.

Selain itu, DPR juga mengritik terkait sikap KPK saat ini. Sebut saja Wakil Ketua Komisi III Desmond J. Mahesa yang menyebut, pimpinan KPK sekarang "brengsek" karena terus menyerang DPR.

"Seolah-olah ini [DPR] pada brengsek. Ini, kan, omong kosong. Mereka itu juga apa bedanya dengan DPR? Brengsek itu," kata Desmond di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (9/9/2019).

Selain Desmond, Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDIP Masinton Pasaribu juga mengritik sikap pimpinan KPK. Ia menyebut kalau pimpinan KPK sudah berkelakuan selayaknya anarko.

"Ini cara berpikir teman-teman KPK sudah anarko. Anarko itu [orang yang] anti-sistem. Anarkis itu perbuatannya," ujar Masinton di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (9/9/2019).

Baca juga artikel terkait KPK atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz