Menuju konten utama

Panja RUU PKS Klaim Pembahasan Butuh Dialog dengan Masyarakat

Willy mengklaim draf baru RUU PKS sudah dipelajari oleh tim ahli dengan melihat undang-undang lain seperti RUU KUHP dan UU Perkawinan dan KDRT.

Panja RUU PKS Klaim Pembahasan Butuh Dialog dengan Masyarakat
Massa Kolaborasi Nasional yang didominasi perempuan menggelar aksi yang mendesak DPR untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) pada hari Selasa (17/9/19) di depan gerbang Gedung DPR-MPR, Jakarta. Saat menggelar aksinya, tiba-tiba kedatangan massa dari laskar FPI dan sejumlah mahasiswa KAMMI yang menolak RUU P-KS. tirto.id/Hafitz Maulana

tirto.id - Ketua Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) Willy Aditya mengklaim bersikap terbuka dalam setiap masukan masyarakat. Menurutnya dialog adalah semangat utama dalam pembahasan RUU tersebut.

"Adapun terhadap perbedaan-perbedaan lainnya, yang paling dibutuhkan adalah langkah-langkah dialog dengan hati dan pikiran terbuka," ujarnya dalam keterangan tertulis, Selasa (7/9/2021).

Sebelumnya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) berganti nama menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Dalam draf teranyar, Baleg DPR RI memangkas 84 pasal dan dinilai menghilangkan pengaturan penting lainnya.

Perihal hal tersebut, menurut Willy sudah dipelajari oleh tim ahli dengan melihat undang-undang lain: RUU KUHP, Perkawinan dan KDRT, serta undang-undang lainnya.

"Prinsipnya apa yang sudah termaktub di dalam UU itu kita tidak bahas disini [RUU PKS]," jelasnya.

Draf baru tersebut mendapat kritik dari perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (KOMPAKS) Naila Rizqi Zakiah. Mereka kecewa Baleg DPR RI membuat naskah lain di luar naskah yang telah masyarakat sipil ajukan.

“Perubahan judul dan penghapusan elemen-elemen kunci RUU PKS adalah kemunduran bagi pemenuhan dan perlindungan hak-hak korban kekerasan seksual,” kata Naila kepada reporter Tirto, Jumat (3/9/2021).

Koalisi menilai apa yang dilakukan Beleg DPR adalah suatu kemunduran dari langkah panjang dan berliku yang telah ditempuh sejak pertama kali masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2016, kemudian dikeluarkan dari Prolegnas dan masuk lagi pada 2020.

Koalisi merangkum banyaknya sejumlah substansi penting yang hilang dalam draf RUU TPKS versi Baleg DPR RI per 30 Agustus 2021 dengan draf RUU PKS versi usulan masyarakat sipil per September 2020. Pertama adalah terkait hilangnya jaminan hak, pemulihan, dan perlindungan korban kekerasan seksual.

Pada draf RUU TPKS versi Baleg DPR ketentuan hak korban hanya disebutkan pada bagian ketentuan umum yakni Pasal 1 angka 12 yang berbunyi: “Hak Korban adalah hak atas penanganan, perlindungan, dan pemulihan yang didapatkan, digunakan, dan dinikmati oleh Korban, dengan tujuan mengubah kondisi Korban yang lebih baik, bermartabat, dan sejahtera yang berpusat pada kebutuhan dan kepentingan Korban yang multidimensi, berkelanjutan, dan partisipatif."

Tidak ada pengaturan lebih lanjut terkait pemenuhan hak korban atas penanganan, perlindungan, dan pemulihan. Hal ini dapat menghilangkan jaminan pemenuhan hak korban selama proses peradilan pidana.

Kemudian di draf RUU TPKS hanya mencakup pengaturan terkait pelecehan seksual (fisik dan non-fisik); pemaksaan kontrasepsi; pemaksaan hubungan seksual; dan eksploitasi seksual.

Padahal dalam usulan RUU PKS dari masyarakat sipil ada 9 bentuk kekerasan seksual, yakni pelecehan seksual, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan pelacuran, pemaksaan aborsi, penyiksaan seksual, perbudakan seksual, dan eksploitasi seksual.

Koalisi menilai ketiadaan pengakuan dan pengaturan ragam bentuk kekerasan seksual tersebut adalah bentuk invalidasi terhadap pengalaman korban kekerasan seksual serta pengabaian terhadap hak korban untuk mendapatkan keadilan dan pemulihan.

Selain itu, dalam draf terbaru itu juga terjadi penghalusan definisi perkosaan menjadi pemaksaan hubungan seksual. Serta tidak ada pengaturan tentang kekerasan seksual berbasis online dan korban kekerasan seksual berbasis disabilitas.

Penghapus sejumlah substansi penting dalam draf RUU TPKS membuat pasal yang dimuat hanya berjumlah 43. Padahal dalam draf RUU PKS yang diusulkan masyarakat sipil total ada 128 pasal, artinya adanya 85 pasal yang dipangkas.

“Iya [dipreteli] karena kalau kita lihat di draf yang RUU TPKS sepertinya hanya membahas tentang penindakan saja, tindak pidana saja. Tapi persoalan pencegahan, pemulihan, dan pemenuhan hak-hak korban itu tidak dibahas karena mungkin secara judul juga cuma tindak pidana kekerasan seksual,” kata Naila.

Koalisi khawatir dengan rekam jejak DPR yang beberapa kali mengesahkan UU tanpa banyak melibatkan masyarakat akan terulang pada RUU PKS. Oleh karena itu, DPR didesak untuk memberikan ruang diskusi dan usulan terhadap perubahan naskah rancangan UU tersebut.

Baca juga artikel terkait RUU PKS atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Politik
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Bayu Septianto