tirto.id - Ketika Donald Trump masih menolak untuk mengakui kekalahannya, presiden Amerika Serikat terpilih Joe Biden sudah bergerak mempersiapkan anggota kabinet yang mulai diumumkan sejak Senin (23/11) lalu. Tidak seperti kabinet Trump yang mayoritas diisi laki-laki kulit putih, Biden memasukkan sejumlah perempuan dan kulit berwarna.
Avril Haines dan Michèle Flournoy masing-masing disodorkan Biden sebagai Direktur Intelijen Nasional dan Menteri Pertahanan memecahkan rekor sejarah sebagai wanita pertama yang menduduki jabatan tersebut. Thomas-Greenfield wanita kulit hitam yang bakal menjadi Duta Besar AS untuk PBB dan Alejandro Mayorkas, pria imigran Kuba pertama yang dinominasikan menjadi Menteri Keamanan Dalam Negeri.
Biden tampaknya memenuhi janji kampanye yang pernah menyinggung ingin mengakhiri praktik rasisme sistemik sambil menyindir Trump yang dianggap telah mengobarkan perpecahan rasial di Paman Sam. Nama-nama lain yang juga diumumkan Biden adalah seperti Anthony Blinken sebagai Menteri Luar Negeri, Jake Sullivan sebagai Penasihat Keamanan Nasional, Ron Klain sebagai Kepala Staf Gedung Putih, Janet Yellen sebagai Menteri Keuangan, dan John Kerry sebagai utusan khusus presiden bidang iklim.
Di luar keragaman identitas, pilihan Biden nampak menegaskan keinginannya menghapus kebijakan “America First” milik Trump yang cenderung meninggalkan aliansi internasional sekutu lawas dan banyak hengkang dari sejumlah perjanjian multirateral penting. Masalahnya, mengembalikan AS ke keadaan normal juga berarti berpotensi mengembalikan para politisi lawas maniak perang dan bekerja untuk elite korporat penyokongnya. Padahal, Biden pernah mengatakan selama kampanyenya bahwa ia ingin mengakhiri “perang tanpa akhir” meski tanpa merinci bagaimana pemerintahannya akan berbeda dari era Trump dan Obama.
Perlu diingat pula bahwa Biden adalah politisi dengan karier politik panjang dalam mendukung perang, mulai dari invasi Irak tahun 2003, agresi Israel terhadap Palestina hingga pendudukan di Afghanistan. Kini Biden kembali dengan gerbong berisi para hawkish di era Obama. Dalam politik Amerika Serikat, hawkish adalah istilah untuk orang-orang pendukung kebijakan luar negeri AS yang pro-perang.
Mari mulai dari Anthony Blinken yang dinominasikan menjadi Menteri Luar Negeri. Ia adalah orang lama di pemerintahan Obama. Pertama kali menjabat sebagai penasihat keamanan nasional Biden dari 2009 sampai 2013, wakil penasihat keamanan nasional dari 2013 sampai 2015 dan kemudian menjabat Wakil Menteri Luar Negeri Amerika Serikat dari 2015 hingga 2017. Bisa dibilang Blinken berhak menerima banyak kritik karena kiprahnya yang pro-perang. Dilansir dari laporan Sarah Lazare untukJacobin Magazine, Blinken adalah pembantu utama Biden saat masih menjadi senator yang kala itu menyetujui serangan AS terhadap Irak dan Afghanistan. Ia turut mengembangkan desain pembagian Irak menjadi tiga wilayah terpisah berdasarkan identitas etnis.
Ketika menjadi wakil penasihat keamanan nasional, Blinken mendukung intervensi militer ke Libya pada 2011. Pada 2018, ia dan beberapa alumnus pemerintahan Obama meluncurkan WestExec Advisor, sebuah firma konsultan strategi. Perusahaan ini dipenuhi oleh mantan pejabat tinggi keamanan nasional dan kebijakan luar negeri dari Partai Demokrat yang mengumpulkan uang untuk kampanye Biden. Setidaknya 21 dari 38 karyawan WestExec yang terdaftar di situs web perusahaan menyumbang untuk kampanye Biden. Flournoy sendiri mengumpulkan lebih dari 100.000 dolar. Keduanya bertanggung jawab memenuhi janji kampanye Obama untuk menarik pasukan Amerika dari Irak, yang dalam praktiknya malah menyebabkan lebih banyak kekacauan ketimbang pada awal pendudukan.
Srikandi Paman Sam lainnya yang diberi jatah kursi bergengsi sebagai Menteri Pertahanan adalah Michèle Flournoy. Jika namanya tak diganti, ia akan menjadi perempuan pertama yang memimpin. Penunjukkan orang nomor satu di Pentagon menentukan corak kebijakan luar negeri era Biden. Flournoy adalah orang lama yang bertugas di Kementerian Pertahanan era Obama dari 2009 sampai 2012. Secara luas ia dianggap sebagai salah satu penasihat hawkish Obama yang membantu mendalangi eskalasi perang di Afghanistan. Ia pernah mengeluhkan Obama yang menurutnya kurang memaksimalkan kekuatan militer terutama di Suriah. Flournoy juga pendukung utama intervensi militer di Libya 2011.
Selain itu Flournoy juga dikenal sebagai anggota dewan direksi kontraktor pertahanan besar bernama Booz Allen Hamilton dan pendiri lembaga think-tank bernama Center for a New American Security (CNAS). CNAS menerima pendanaan besar dari bisnis persenjataan besar di AS. Saat bekerja di Center for Strategic and International Studies (CSIS) tahun 2002 di masa pemerintahan Bush, Flournoy mendukung penuh serangan AS ke Irak dengan dalih AS “perlu menyerang lebih dahulu sebelum krisis meletus”. Pandangan ini tidak berubah pada 2009. Ia juga menentang penarikan total pasukan AS dari Irak. Bersama Blinken, Flournoy adalah pendiri WestExec Advisors.
Avril Haines akan ditunjuk Biden sebagai direktur Intelijen Nasional. Praktis, ia akan menjadi sosok perempuan pertama di jabatan tertinggi badan intelijen Amerika Serikat. Sebelumnya, Haines adalah mantan wakil direktur CIA, perempuan pertama yang menduduki jabatan tersebut. Pada era Obama ia menjabat wakil utama penasihat keamanan nasional dan telah bekerja dengan Biden selama lebih dari satu dekade.
Haines yang juga bekerja untuk WestExec memainkan peran sentral dalam menyusun kerangka hukum seputar perang drone yang kontroversial di era pemerintahan Obama. Penggunaan Drone menjadi pendekatan utama Obama di bidang kontraterorisme. Obama terpilih ketika AS ingin mengurangi resiko perang dengan pihak asing tetapi masih memandang terorisme sebagai ancaman. Drone bersenjata menawarkan solusi. Seperti yang dikutip secara luas dalam laporanNewsweek 2013 "Haines kadang-kadang dipanggil tengah malam untuk mempertimbangkan apakah tersangka teroris dapat dibidik secara sah oleh serangan drone". Laporan yang sama menyebut peran Haines dalam intervensi AS di Suriah. Pada 2018, Haines memancing kemarahan publik ketika menyatakan dukungan untuk pencalonan Gina Haspel di kursi direktur CIA era Trump. Haspel dikenal gemar menyiksa tahanan.
Biden tidak pernah secara terbuka menyangkal atau mengkritik kebijakan penggunaan drone yang diwariskan Obama itu. Ia juga tidak menjelaskan bagaimana kebijakannya atas kelanjutan penggunaan drone. Dilansir dariThe Intercept, situs kampanye milik Biden tidak menyinggung kebijakan seputar perang drone. Demikian pula saat debat capres: tak ada pertanyaan soal drone.
Melihat sikap Biden dan pilihan kabinet hawkish-nya, kebijakan luar negeri AS empat tahun ke depan diprediksi akan kembali agresif.
Editor: Windu Jusuf