Menuju konten utama

Ombudsman Sebut Ada Potensi Maladministrasi Kasus Baiq Nurul di MA

Ninik menilai MA mengabaikan Peraturan MA No 3/2017 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan, dalam mengadili kasus Baiq Nuril.

Ombudsman Sebut Ada Potensi Maladministrasi Kasus Baiq Nurul di MA
Terpidana kasus pelanggaran UU ITE Baiq Nuril menjawab sejumlah pertanyaan wartawan usai menjalani sidang perdana pemeriksaan berkas memori PK di Pengadilan Negeri Mataram, NTB, Kamis (10/1/2019). ANTARA FOTO/Dhimas B. Pratama.

tirto.id - Komisioner Ombudsman RI Ninik Rahayu merespons putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak Peninjauan Kembali (PK) kasus Baiq Nuril. Ia dijerat dengan UU ITE dan divonis MA dengan hukuman 6 bulan penjara dan denda Rp500 juta subsider 3 bulan kurungan.

Ninik menilai MA mengabaikan produk hukumnya sendiri, yaitu Peraturan MA No 3/2017 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan, dalam mengadili kasus Baiq Nuril.

Ninik mengatakan, pertimbangan ditetapkannya peraturan tersebut karena ingin memberikan perlindungan terhadap warga negara dari segala tindakan diskriminasi, yang merupakan implementasi dari hak konstitusional sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

"Perempuan bukan kelompok rentan, tetapi sampai dengan saat ini diketahui perempuan menjadi rentan karena diskriminasi gender," kata Ninik lewat rilisnya yang diterima wartawan Tirto, Minggu (7/7/2019).

Ninik melanjutkan, ketika unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) di kepolisian belum mengindahkan dimensi gender dalam pengungkapan kasus kekerasan seksual, maka hakim sebagai garda terakhir penegakan hukum wajib menggali dan mengoreksi apa yang telah dilakukan polisi sebelumnya terkait kerentanan akibat diskriminasi gender tersebut.

"Hakim tidak cukup hanya mempertimbangkan tuntutan dan dakwaan yang dibuat oleh Jaksa sebagaimana kasus-kasus tindak pidana pada umumnya," ujar Ninik.

"Hakim wajib menggali potensi kekerasan berbasis gender yang menjadi sebab peristiwa pidana itu terjadi. Hal tersebut telah termaktub pada pertimbangan Perma tersebut 'kewajiban negara untuk memastikan bahwa perempuan memiliki akses terhadap keadilan dan bebas dari diskriminasi dalam sistem peradilan'," katanya.

Ninik menjelaskan, untuk kasus Baiq Nuril, jika dikaitkan dengan Pasal 1 angka 9 Perma Nomor 3 Tahun 2017 adalah bentuk “relasi kuasa yang bersifat hierarkis," dan merugikan pihak, dalam hal ini Baiq, yang "berada dalami posisi lebih rendah".

"Mengungkap adanya relasi kuasa pada kasus kekerasan seksual, diketahui sebagai kasus yang paling sulit diungkap, terutama karena posisi dan kondisi pelaku dengan korban, karena dipicu faktor lokus dan tempus saat kejadian," katanya.

Ia menilai, pada kasus Baiq, posisi pelaku adalah atasan korban, maka dalam segala situasi korban dikondisikan sebagai pihak yang tidak ada pilihan lain harus mengikuti perintahnya. Ninik juga menilai, saksi korban adalah orang yang tidak memiliki kebebasan untuk melawan kehendak atasannya.

"Aparat penegak hukum, dalam hal ini mulai dari kepolisian yang melakukan penyelidikan dan penyidikan, penuntutan yang dilakukan oleh jaksa dan hakim yang megadili perkara, telah gagal menggali keberanian saksi korban dalam mengungkap kasus yang sulit terungkap ini," katanya.

"Oleh karena itu ada potensi maladministrasi dalam bentuk penyalahgunaan wewenang dan penyimpangan prosedur penanganan pada kasus Baiq, karena hakim dalam mengadili kasus ini tidak mempertimbangkan proses sebagaimana yang diatur pada Perma No 3 Tahun 2017," lanjutnya.

Perma yang dimaksud Ninik adalah tentang pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum, khususnya Pasal 6, bahwa Hakim dalam mengadili perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum:

(1) mempertimbangkan Kesetaraan Gender dan Stereotip Gender dalam peraturan perundang-undangan dan hukum tidak tertulis;

(2) melakukan penafsiran peraturan perundang-undangan dan/atau hukum tidak tertulis yang dapat menjamin Kesetaraan Gender;

(3) menggali nilai-nilai hukum, kearifan lokal dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat guna menjamin Kesetaraan Gender, perlindungan yang setara dan non diskriminasi; dan

(4) mempertimbangkan penerapan konvensi dan perjanjian-perjanjian internasional terkait Kesetaraan Gender yang telah diratifikasi.

"Kasus ini hendaknya menjadi pelajaran bagi kita semua terkait pentingnya mengintegrasikan HAM dan gender pada kurikulum pendidikan sekolah secara menyeluruh, mulai dari Tingkat Dasar sampai dengan PT," kata Ninik.

"Termasuk pendidikan khusus yang diselenggarakan oleh Aparat Penegak Hukum dan Aparat Keamanan. Mengingat pengetahuan dan pemahaman yang mainstream gender sangat diperlukan dalam berbagai konteks dimensi pembangunan," pungkasnya.

Baca juga artikel terkait KASUS BAIQ NURIL atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Hukum
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Dipna Videlia Putsanra