Menuju konten utama

Okja dan Dilema Makan Daging

Okja bukan hanya mencerminkan kebangkitan sinema Korea, tapi juga mendiskusikan ulang dilema industri ternak.

Okja dan Dilema Makan Daging
Okja. ilustrasi/Netflix

tirto.id - Salah satu efek samping yang bakal Anda hadapi jika menonton Okja, FTV yang disiarkan Netflix, adalah: Ketika melihat sosis, Anda bakal lebih ingat Okja ketimbang Deddy Mizwar.

Premis film yang merupakan karya orisinal yang diproduksi Netflix ini sebenarnya sederhana saja, David vs. Goliath: seorang gadis kecil melawan korporasi multinasional, lebih tepatnya mesin raksasa bernama kapitalisme lanjut. Dalam penjelasan yang lebih konkrit, film ini bercerita tentang seorang gadis kecil egois yang berusaha menghalangi-halangi tenderloin, sirloin, brisket dan sengkel daging agar tak terhidang di piring kita.

Di awal film terhidang adegan manis dan surealis ala Ghibli. Meski begitu, Okja jelas bukan santapan pas buat bocah. Sebab sang sutradara, Bong Jon-hoo, selanjutnya hendak menawarkan mimpi buruk yang brutal namun mengasyikan. Okja meningkatkan kesadaran tentang bahaya laten kapitalisme, narsisme di era media sosial, kekerasan aparat, dilema etis sains dan kekejaman terhadap binatang di rumah jagal. Setelah The Host (2006), Bong Jon-hoo lagi-lagi kembali mengkritik isu lingkungan.

Kebangkitan Sinema Korea

Okja menjadi bagian dari kebangkitan sinema Korea Selatan. Bangkitnya sinema Korea Selatan di arena internasional dapat diamati dari keikutsertaannya dan sambutannya dalam Festival Film Cannes. Tahun lalu, ada tiga judul Korea yang masuk: film bertema supernatural berjudul The Wailing, film zombie rasa drama Korea berjudul Train to Busan, dan film erotis lesbian berjudul The Handmaiden dari Park Chan-wook yang menyebabkan perbincangan paling keras di Cannes.

Tahun ini, Bong Jon-hoo lewat Okja tak kalah mengejutkan. Juga sama-sama menuai kontroversi. Lebih lagi karena kenapa film sebagus ini cuma didistribusikan lewat layar kecil Netflix.

Jejak "gelombang baru" film Korea bisa dilacak sejak 1999 dengan pelepasan film aksi agen mata-mata Shiri. Sebelum itu, peraturan sensor dan aspek pembiayaan sering menggagalkan usaha Korea membangun industri film yang diakui secara internasional.

Situasi mulai berubah sejak, seperti dijelaskan Euny Hong dalam The Birth of Korean Cool, dorongan kuat pemerintah membantu meningkatkan keuntungan domestik dan global. Misalnya, pembatasan impor film asing dan ledakan investasi di bidang infrastruktur. Dengan kemajuan ini, muncullah bakat sineas-sineas macam Kim Ki-duk, Hong Sang-soo, Park Chan-wook, dan Bong Jon-hoo tadi.

Pada Oktober 2015, Bong Joon-ho mengumumkan akan membuat film dengan menampilkan aktris Korea Selatan dan pemeran pendukung berbahasa Inggris. Salah satu lokasi syutingnya, saat itu, direncanakan di New York. Netflix bersama Plan B Entertainment yang digawangi Brad Pitt kemudian ikut mengongkosi produksi film itu dengan anggaran sebanyak 50 juta dollar.

Maka jadilah Okja sebagai film Korea termahal. Proses produksi dimulai pada pertengahan 2016. Pengambilan gambar pertama dilakukan pada 22 April 2016 di Seoul.

Jalan Cerita Okja

Okja adalah Frankeinstein versi imut. Makhluk rekaan genetik seukuran mobil dengan tampang campuran babi dan kuda nil. Perusahaan Mirando menciptakannya untuk menurunkan biaya dan meningkatkan produksi daging.

Selama sepuluh tahun, Okja menjalani kehidupan organik di sebuah hutan terpencil di Korea Selatan bersama Mija -- hal yang mengingatkan saya pada My Neighbour Totoro (1988). Mija sendiri dibintangi An Seohyun, aktris belia yang pernah berakting sebagai adiknya Bae Suzy dalam satu drama Korea.

Mija yang yatim begitu akrab dengan Okja. Namun, bagi Mirando, waktunya telah tiba untuk membawa balik celeng jumbo ini. Okja harus diterbangkan ke New York untuk ditampilkan ke pasar dan dijadikan wajah produk makanan ini. Mija, tentu saja, ingin merebut kembali temannya ini. Mija tak sendiri, ia kemudian dibantu sekelompok aktivis dari Animal Liberation Front yang dipimpin sosok karismatik Paul Dano yang menjadi Jay. Tokoh penting lainnya adalah Steven Yeun, aktor Amerika-Korea yang beken berkat The Walking Dead ini jadi penghubung bahasa antara front pembebas binatang dan Mija.

Pengejaran Okja meloncat dari Seoul ke New York, dan berakhir di pabrik pengolahan daging yang mengerikan di New Jersey. Adegan Mija yang berlarian mencari Okja dalam rumah jagal raksasa itu memandu penonton memasuki kengerian yang bikin mual. Seperti mimpi buruk protagonis dalam The Vegetarian-nya Han Kang, adegan demi adegan berpotensi membuat penonton jijik melihat olahan daging.

Film Okja, bahkan jadi mimpi buruk bagi penciptanya. Bong Jon-hoo puasa makan daging sampai beberapa bulan. "Jangan daging!" hardiknya, menyingkirkan olahan daging yang dihidangka kepadanya dengan sumpitnya dalam satu acara jamuan makan malam.

Seperti dilansir Los Angeles Time, bau daging yang mendesis di atas meja tak terhindarkan, tapi malam itu Bong Jon-hoo hanya makan mie dingin naengmyun dan kue kimchi. Ia termakan sendiri film barunya.

“Film ini menyoroti isu lingkungan dan hak binatang, tapi ini lebih tentang kapitalisme dan sistem yang kita jalani," jelas Bong Jon-hoo. "Hewan-hewan itu sedang mengalami holocaust, tapi bagi korporasi itu hanya soal produksi massal."

infografik bong joon ho

Dilema Industri Ternak

Bong Jon-hoo lewat Okja ini, sadar atau tidak, menghidupkan kembali pertanyaan etik yang sudah bergema ribuan tahun silam, sejak Yesus, Aristoteles, Thomas Aquinas, John Locke, Immanuel Kant dan Mahatma Gandhi, dan banyak lainnya. Pertanyaan klasik seputar makan daging. Ini debat moral yang melekat dalam aktivitas membunuh hewan untuk dijadikan pengisi perut.

Sudah sejak 8000 SM, saat seekor burung hutan liar dijinakkan yang sekarang kita sebut ayam, seperti juga kambing dan sapi. Muncul semacam keintiman baru antara manusia dan binatang domestik tadi. Bentuk perawatan baru dan bentuk kekerasan baru. Pada dasarnya, manusia mengajukan kesepakatan dengan binatang yang kita beri nama ayam, sapi, babi, dan kawan-kawannya: "Hey, kita akan melindungi kalian, mengatur makanan buat kalian, dan, pada gilirannya, kalian beranak-pinaklah, susu dan telur kalian kami ambil, dan, pastinya, kalian akan dibunuh dan dimakan."

Dengan semua penelitian tentang peternakan, polusi, bahan kimia beracun dalam pabrik pengolahan dan ekspos dari kekejaman yang mengerikan terhadap hewan di dunia industri daging, Jonathan Safran Foer menuliskannya dengan bagus dalam Eating Animals.

Saat ini adalah generasi yang semakin tahu lebih banyak, tulis Foer. Generasi sekarang, lanjutnya, memiliki beban sekaligus kesempatan untuk memilih seiring kian terbukanya informasi mengenai prilaku industri peternakan dan pabrik penjagalan. Kita adalah orang-orang yang akan ditanyai, kata Foer, “Apa yang akan kamu lakukan setelah mempelajari kebenaran tentang memakan hewan tadi?"

Mengubah pola makan kita? Menjadi vegetarian? Tapi bisakah satu orang membuat perbedaan? Tentu saja, tulis Foer. Pilihan makanan kita penting: kita makan sebagai seorang lelaki dan perempuan, sebagai keluarga, sebagai komunitas, sebagai generasi, sebagai bangsa, dan pada akhirnya sebagai satu dunia. Kita tidak dapat menghentikan pola makan tanpa meninggalkan pengaruh buruk, bahkan meski pun kita tak menginginkannya. Foer menyimpulkan: "Produk makanan yang kejam dan merusak seharusnya ilegal."

Jon Ronson, seorang jurnalis dan co-writer dalam Okja, mengamini Foer.

"Jika Anda akan makan daging, inilah yang terjadi di rumah jagal. Jangan menipu diri sendiri," kata Ronson, yang makan ikan di kesehariannya. Dengan satir, Ronson memberi wejangan: "Jika ingin nyaman makan daging, jangan vakansi ke rumah jagal atau nonton Okja."

Baca juga artikel terkait KOREA SELATAN atau tulisan lainnya dari Arif Abdurahman

tirto.id - Film
Reporter: Arif Abdurahman
Penulis: Arif Abdurahman
Editor: Zen RS