Menuju konten utama

OJK Diminta Merelaksasi Regulasi Soal Perizinan Fintech Lending

OJK diminta merelaksasi regulasi mengenai FinTech, terutama untuk mempermudah pengurusan perizinan.

OJK Diminta Merelaksasi Regulasi Soal Perizinan Fintech Lending
Ilustrasi fintech lending. Getty Images/iStockphoto.

tirto.id - Perusahaan financial technology (FinTech) jenis peer to peer (P2P) lending atau pinjam meminjam uang berbasis elektronik yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) saat ini sudah ada sebanyak 66. Namun, dari 66 perusahaan itu, baru ada satu FinTech yang mengantongi izin dari OJK, yaitu PT Amartha Mikro Fintek. Selain itu, masih ada 200-an FinTech sejenis lainnya yang belum terdaftar di OJK.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan kondisi tersebut menunjukkan regulasi OJK masih memberatkan pelaku usaha di industri FinTech.

Selama ini, operasional FinTech jenis P2P Lending telah diatur dalam Peraturan OJK (POJK) Nomor 77 tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Peraturan itu telah diterbitkan pada 2 Desember 2016.

"POJK 77 sudah berapa tahun, tapi tahun ini baru 1 Fintech yang berizin dari OJK. Ada 66 yang terdaftar, tapi itu tidak berizin ya. Jadi, bisa bayangkan kesulitan untuk mendapatkan perizinan," ujar Bhima di Jakarta pada Selasa (28/8/2018).

Karena itu, Bhima menyarankan agar OJK merelaksasi regulasi perizinan FinTech P2P Lending. Dia beralasan semua FinTech P2P Lending seharusnya berizin agar pengawasan OJK lebih mudah dilaksanakan.

"Maka 200-an FinTech tadi berizin dulu semuanya. Kalau berizin cuma satu dari ratusan FinTech, ratusan FinTech nanti itu yang agak susah kalau terjadi problem atau mengalami konflik dengan debitur-debitur atau masyarakat. Secara enggak langsung akan merugikan masyarakat," kata dia.

Meskipun demikian, Bhima mengingatkan relaksasi aturan soal perizinan FinTech itu harus dibarengi dengan perbaikan prosedur penagihan pinjaman (debt collection). Regulator harus tegas dalam menertibkan FinTech P2P Lending yang mempraktikkan cara berbisnis buruk dan merugikan masyarakat.

"Debt collection kalau di bank sudah sangat jelas, tapi untuk di FinTech perlu diperjelas lagi, kalau perlu ada tambahan khusus bagaimana kode etik dan aturan pengawasan debt collection dari FinTech. Jadi, harus dorong FinTech itu produktif dengan debt collection benar-benar membuat nyaman masyarakat dan tidak menimbulkan kegaduhan," ujar Bhima.

FinTech P2P Lending selama ini diatur hanya dapat menyalurkan pinjaman maksimal Rp2 miliar. Masyarakat bisa mendapat pinjaman Rp1-2 juta, bahkan hanya Rp500 ribu. Akan tetapi, kata Bhima, pada kenyataannya sebagian FinTech ada yang masih menerapkan bunga terlalu tinggi. Apabila terjadi keterlambatan pembayaran pun dendanya lebih mahal dari ketentuan di perbankan.

"Jadi bisa dibayangkan pinjam Rp500 ribu, ketika dia dapat pinjaman, konsekuensinya bunganya mahal. Bisa dikatakan ada 1 persen per hari bunganya," ujar Bhima.

Untuk itu, masyarakat juga harus diedukasi mengenai manfaat keberadaan FinTech dan risiko dalam memanfaatkannya. Bhima menilai pengetahuan masyarakat mengenai Fintech masih rendah.

"Sehingga OJK maupun pemain FinTech sendiri harus lebih banyak mencerdaskan masyarakat," ucap Bhima.

Baca juga artikel terkait FINTECH atau tulisan lainnya dari Shintaloka Pradita Sicca

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Shintaloka Pradita Sicca
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Addi M Idhom