tirto.id - Delapan tahun yang lalu tepatnya 20 Januari 2009, ribuan orang memadati alun-alun nasional Washington untuk menjadi saksi lahirnya sejarah baru di Amerika Serikat (AS). Mereka seperti melupakan temperatur udara yang sangat dingin saat itu, hanya untuk menjadi bagian dari sejarah, menyaksikan presiden turunan kulit hitam pertama di AS, Barack Obama.
Tema pelantikan Obama kala itu A New Birth of Freedom adalah untuk memperingati kelahiran presiden ke-16 AS, Abraham Lincoln. Sehingga Obama pun mengikuti proses pelantikan yang dulunya dilakukan oleh Abraham Lincoln saat dilantik menjadi presiden AS.
Upacara pelantikan sesungguhnya dimulai sejak 17 Januari 2009 dengan melakukan perjalanan menggunakan kereta api. Mulai dari Philadelphia, Pennsylvania, Baltimore dan berakhir di Washington DC. Obama dan Wakil Presiden Joseph Biden menaiki Georgia 300, kereta yang digunakan presiden-presiden sebelumnya.
Pada akhirnya Obama resmi menjadi presiden ke-44 AS pada 20 Januari 2009 pukul 12.00 siang waktu setempat. Acara pelantikan itu menjadi perhatian dunia. Hampir seluruh media massa dunia, baik cetak maupun elektronik memberitakan acara pelantikan Obama.
Mereka menantikan perubahan apa yang akan dibawa Obama. Ini karena pada 2008 adalah masa sulit bagi AS dan dunia yang dilanda krisis. Sehingga hadirnya Obama diharapkan dapat membawa perubahan baru pada AS. Selain itu, keterlibatan AS di perang Irak dan Afghanistan juga disebut memengaruhi ekonomi AS saat itu.
Salah satu yang kemudian diharapkan warga AS adalah menghentikan perang di Irak dan Afghanistan. Perang yang dianggap tidak perlu dan hanya merugikan negara. Dalam laporannya CBO mengungkapkan bahwa petualangan AS di Irak menghabiskan $368 miliar sejak 2001 hingga 2007. Itu belum termasuk petualang AS di medan perang lainnya.
Kehadiran Obama yang disetiap kampanye berjanji untuk menghentikan perang membawa harapan baru bagi warga AS. Saat berpidato di Des Moines, Iowa pada 12 Oktober 2007, sepenggal pidato Obama saat itu “Sekarang adalah waktunya untuk mengakhiri perang di Irak. Sekarang adalah waktunya untuk mulai membawa pasukan kita keluar dari Irak--segera.”
Obama tak hanya sekali mengucapkan pernyataan untuk menghentikan petualangan AS di medan perang. Di Fayetteville, North Carolina pada 19 Maret 2008, Obama kembali mengeluarkan pernyataan yang sama.“Jadi, ketika saya memimpin, saya akan menyusun misi baru di hari pertama: saya akan mengakhiri perang.”
Janji Obama itu ditepati saat terpilih menjadi presiden AS. Jumlah tentara AS di Irak terus berkurang sejak dirinya memerintah. Pada Agustus 2010, pasukan tempur AS yang terakhir meninggalkan Irak, tapi sekitar 50.000 personel masih tetap di Irak untuk mempersiapkan proses peralihan keamanan.
Penarikan pasukan AS ini dianggap sebagai pemenuhan janji yang diucapkan Obama saat kampanye.
Namun, di penghujung 2016, menurut laporan Reuters, sekitar 5.200 tentara AS ditempatkan di Irak. Pasukan tersebut untuk mendukung pemerintah Irak untuk melawan ISIS.
Usaha Obama untuk menjauhkan AS dari medan perang memang tidaklah mudah. Pasukan AS kembali ke Irak dan kembali ke medan perang. Sersan Noel Alvarado yang Desember lalu kembali merayakan Natal keempatnya di Irak mengungkapkan bahwa sempat berpikir tentang penarikan pada 2011 adalah akhir dari semuanya di Irak. Ternyata, ia harus kembali memanggul senjata.
Selain di Irak, Obama juga berjanji untuk menghentikan perang di Afghanistan saat kampanye, tapi hingga saat ini AS bersama koalisinya di NATO masih tetap bertahan di negara tersebut setelah lebih dari 15 tahun.
Menurut laporan BBC, pada Juli 2016 Obama mengatakan bahwa 8.400 tentara AS akan tetap berada di Afghanistan hingga 2017 terkait “situasi keamanan yang genting”. NATO juga setuju untuk mempertahankan jumlah pasukan AS di Afghanistan.
Selain Irak dan Afghanistan saat tentara AS harus kembali ke medan perang. Obama sempat mencuit di Twitter The White House pada 11 September 2013, “Presiden Obama: Saya tidak akan menempatkan pasukan di Suriah. Saya tidak akan mengejar tindakan terbuka seperti Irak atau Afghanistan." seperti dilaporkan Huffington Post.
Namun, pada Desember 2016, AS mengirim 200 pasukan khusus untuk Suriah. Pasukan tersebut bergabung dengan 300 pasukan khusus yang sudah terlebih dahulu di Suriah sejak 2015. Penambahan pasukan tersebut atas persetujuan Presiden Obama.
Seorang Senator AS Brian Schatz mengungkapkan terjunnya AS di Suriah dapat membuat konfrontasi antara AS dengan Rusia dan pemerintah Suriah dan turut sertanya AS di Suriah tentu menambah jumlah daftar perang AS di bawah kepemimpinan Obama.
Obama juga menyetujui serangan terhadap kelompok teroris di Libya, Pakistan, Somalia, dan Yaman. Pada 2016, AS melepaskan 26.171 bom, menurut laporan The Guardian. Ini berarti bahwa setiap hari militer AS menghujani kombatan yang mungkin juga terdapat warga sipil dengan 72 bom dan tiga bom setiap jam.
Sebagian besar serangan udara itu dilakukan di Suriah dan Irak. Bom AS juga menghujani Afghanistan, Libya, Yaman, Somalia, dan Pakistan. Serangan bom udara adalah salah satu teknik serangan yang sering digunakan oleh Presiden Obama. Sehingga jika dibandingkan dengan Bush, maka jumlah serangan udara saat Obama lebih besar sepuluh kali lipat dibandingkan saat Bush berkuasa.
Di masa jabatannya yang baru saja dilanjutkan kepada Donald Trump, Obama menyisakan tiga perang untuk Trump. Tersisa perang besar AS yaitu perang Irak, Suriah dan Afghanistan. Obama pun mengakui sepanjang kepemimpinannya dipenuhi oleh sejumlah perang.
“Selama delapan tahun saya berkantor [di Gedung Putih], tiada hari tanpa serangan kelompok teroris atau kaum radikal yang berencana membunuh orang Amerika. Pada tanggal 20 Januari, saya akan menjadi presiden AS pertama yang selama dua periode dipenuhi dengan perang,” ujar Obama dalam pidatonya di MacDill Air Force Base, Florida pada 6 Desember 2016 lalu.
Penulis: Yantina Debora
Editor: Suhendra