Menuju konten utama

Mungkinkah Alfamart dan Indomaret Menjadi Seperti 7-Eleven?

Dua peritel modern Alfamart dan Indomaret mengalami penurunan laba seiring penambahan gerai. Apakah dua peritel ini akan bernasib sama seperti 7-Eleven?

Mungkinkah Alfamart dan Indomaret Menjadi Seperti 7-Eleven?
Suasana aktivitas perbelanjaan di salah satu minimarket Indomaret di kawasan Jakarta Selatan, Jakarta, Rabu (2/8). ANTARA FOTO/Reno Esnir

tirto.id - Gerai 7-Eleven milik PT Modern Sevel Indonesia pernah berjaya, lalu kejayaannya memudar, dan akhirnya ia lenyap dari Indonesia. Sevel masuk ke Indonesia pada tahun 2008. Setiap tahun, ada sekitar 30 sampai 60 gerai Sevel baru dibuka di Jakarta. Ini membuat jumlah gerai Sevel terus bertambah. Tahun 2011, hanya ada 50-an gerai Sevel. Tahun 2012, jumlahnya bertambah hampir dua kali lipat. Cukup agresif.

Sampai tahun 2014, jumlah gerai Sevel di Jakarta sudah mencapai 190. Pada tahun itu juga, sebanyak 40 gerai baru Sevel dibuka. Penjualan bersih pun naik 24,5 persen menjadi Rp971,7 miliar dari tahun sebelumnya yang hanya Rp778,3 miliar. Tahun itu bisa disebut sebagai puncak kejayaan Sevel.

Tahun berikutnya, penjualan Sevel menurun, demikian pula dengan jumlah gerainya. Tahun 2015 itu, total penjualan bersih Sevel turun menjadi Rp886,84 miliar. Untuk pertama kalinya Sevel melakukan penutupan gerai. Tak tanggung-tanggung, 20 sekaligus. Sementara gerai baru yang dibuka hanya 18, angka terkecil penambahan gerai sejak 2011.

Pada 22 Juni tahun ini, Direktur PT Modern Sevel Indonesia Chandra Wijaya mengumumkan penutupan seluruh gerai Sevel secara resmi. Mulai tanggal 30 Juni, tak satu pun gerai Sevel di Indonesia beroperasi.

Baca juga:

Alfamart, juga punya pola serupa seperti 7-Eleven. Meski masih terlalu jauh, tetapi jika tak diantisipasi, ia bisa saja bernasib sama. Tahun 2011, ia hanya punya 5.797 gerai. Lima tahun kemudian, jumlah gerainya lebih dari dua kali lipat, yakni mencapai 12.366 gerai.

“Ada ketidaksesuaian ekspektasi. Harapannya, ketika menambah gerai, pendapatan tentu bertambah, tetapi yang terjadi tidak demikian,” ujar Marolop Alfred Nainggolan, Analis Koneksi Kapital.

Alfred menjelaskan bahwa yang terjadi pada Alfamart adalah ketika membangun dan membuka gerai baru, uang yang dipakai biasanya uang yang berbunga seperti pinjaman bank atau penerbitan obligasi. Ekspektasinya, dari penambahan gerai tentu akan terjadi penambahan pendapatan. Ketika kenaikan pendapatan tak signifikan, maka laba akan tergerus karena perusahaan mempunyai biaya beban bunga yang harus terus dibayarkan.

Semester I tahun ini, laba PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk tergerus dari Rp83 miliar pada periode yang sama tahun lalu menjadi hanya Rp38,8 miliar. Pendapatan pada enam bulan pertama tahun ini sebenarnya tumbuh 13,5 persen jika dibandingkan dengan tahun lalu. Laba usahanya pun tumbuh 13 persen. Namun, laba bersihnya anjlok karena besarnya biaya bunga dan obligasi.

Berdasarkan laporan keuangannya, tahun ini emiten berkode AMRT itu membayarkan utang obligasi sebesar Rp1 triliun. Pembayaran untuk utang jangka panjangnya juga meningkat dari Rp208 miliar pada semester I tahun lalu menjadi Rp244 miliar tahun ini.

“Ia menambah gerai dari uang pinjaman, lalu pendapatannya tumbuh standar, sementara beban bunga membengkak. Alhasil, labanya drop,” begitu analisis Alfred terhadap laporan keuangan Alfamart.

Analisis serupa juga berlaku bagi Indomaret. Sejak Januari hingga Juni tahun ini, PT Indoritel Makmur Internasional Tbk—pemilik merek dagang Indomaret—hanya membukukan laba bersih Rp30,5 miliar. Padahal, pada periode yang sama tahun lalu, labanya mencapai Rp105,5 miliar.

Menurutnya, jika tak menahan diri untuk terus menerus membuka gerai baru, Alfamart dan Indomaret mungkin bisa bernasib seperti 7-Eleven. “Secara teoritis, kalau mereka terus membuka gerai baru dengan pendanaan yang berbunga, bisa jadi perlahan akan berakhir sama seperti Sevel,” kata Alfred.

Dia menyarankan agar peritel modern tidak terlalu agresif. Karena ketika gerai ditambah, belum tentu pendapatan meningkat. Konsumen tidak menambah aktivitas belanjanya, mereka hanya memindahkan aktivitasnya.

Misal, ketika di ujung gang ada gerai ritel modern, masyarakat satu gang itu tentu akan berbelanja di toko ritel tersebut. Karena punya banyak pembeli, maka toko ritel itu membuka gerai baru sekitar 500 meter dari lokasinya semula. Gerai baru itu tentu tetap akan dikunjungi pembeli, tetapi mereka adalah pembeli yang sama dengan yang datang ke toko pertama. Alhasil, pendapatan sama saja atau berbeda sedikit, tetapi biaya beban karena membuka toko baru meningkat.

Infografik Lesunya penjualan Ritel

Industri Ritel Melesu, DPK Meningkat

Tak hanya Indomaret dan Alfamart yang melesu dan tergerus labanya. Industri ritel secara umum juga melambat. Tahun ini, Asosiasi Peritel Indonesia (Aprindo) sebenarnya menargetkan penjualan hingga Rp220 triliun atau tumbuh 10 persen dari penjualan tahun lalu. Namun, pada semester I tahun ini, industri hanya mencetak pertumbuhan 3,7 persen.

“Melihat apa yang dicapai pada semester I, saya kira target pertumbuhan 10 persen sampai akhir tahun akan sulit sekali dicapai,” ujar Roy Nicholas Mandey, Ketua Aprindo, Kamis (3/8).

Dia menilai ada perubahan perilaku konsumen dalam berbelanja di toko ritel. Kemudahan dan kemajuan zaman, kata Roy, membuat masyarakat memiliki banyak opsi dalam berbelanja. Masyarakat bisa membeli online atau lewat jasa Go-Jek. “Kalau mereka belanja dengan Go-Jek kan belum tentu itu barang dibelinya di toko ritel modern,” kata Roy.

Ketika pendapatan industri ritel lesu, perbankan malah kebanjiran dana. Jumlah dana pihak ketiga di tabungan maupun deposito pada Mei tahun ini melebihi Rp5.000 triliun. Angka tersebut tumbuh 11,18 persen dari periode yang sama tahun lalu.

Menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), uang simpanan tabungan tercatat Rp1.571 triliun, tumbuh 9,7 persen dari periode yang sama tahun lalu. Sedangkan jumlah uang di deposito tumbuh 10 persen, menjadi Rp2.222 triliun.

Bhima Yudhistira, ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengatakan ada dua hal yang terjadi. Pertama, masyarakat menengah ke bawah mengalami penurunan daya beli. “Dari inflasi yang rendah selama dua tahun terakhir, bisa dilihat kondisi daya beli kita,” kata Bhima.

Juli tahun lalu, inflasi inti berada di angka 0,34 persen. Sedangkan Juli tahun ini, hanya 0,26 persen. Rendahnya inflasi ini, menurut Bhima, menunjukkan permintaan secara agregat memang menurun.

Kedua, orang-orang kaya menahan konsumsinya dengan menyimpan uang di bank, baik dalam tabungan biasa maupun deposito. Orang-orang kaya ini mengantisipasi kondisi perekonomian sampai risiko politik menjelang pilpres 2019. “Bahasa sederhananya, orang kaya berjaga-jaga dari kondisi terburuk,” ujar Bhima.

Secara makro, lanjut Bhima, dua hal itu menunjukkan kondisi ekonomi yang kurang berkualitas. Serapan tenaga kerja juga turun pada semester I tahun ini, dari 680 ribu pada semester I 2016 menjadi 539 ribu. Kalau serapan tenaga kerja terus menurun, imbasnya akan ke daya beli hingga penerimaan pajak.

Bagi Alfamart dan Indomaret, ada dua persoalan yang sedang dihadapi. Selain persoalan strategi ekspansi yang dipaparkan Alfred, dua peritel ini juga dihantam penurunan daya beli seperti disebutkan Bhima.

Baca juga artikel terkait ALFAMART atau tulisan lainnya dari Wan Ulfa Nur Zuhra

tirto.id - Bisnis
Reporter: Wan Ulfa Nur Zuhra
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti