Menuju konten utama

Muhammadiyah Ogah Restorative Justice di Kasus Peneliti BRIN

Muhammadiyah belum memutuskan ingin menyelesaikan kasus ujaran kebencian peneliti BRIN AP Hasanuddin dengan jalur keadilan restoratif.

Muhammadiyah Ogah Restorative Justice di Kasus Peneliti BRIN
Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Ahmad Ramadhan (kanan) memberikan keterangan disaksikan Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Brigjen Pol Adi Vivid (kiri) terkait kasus dugaan ujaran kebencian dengan tersangka peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Andi Pangerang Hasanuddin saat konferensi pers di Jakarta, Senin (1/5/2023). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/foc.

tirto.id - Ketua Hukum HAM dan Advokasi Pengurus Pusat Muhammadiyah, Nasrullah mengatakan Muhammadiyah masih pada sikapnya agar polisi tetap memproses hukum kasus ujaran kebencian yang dilakukan peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Andi Pangerang Hasanuddin. Nasrullah mengatakan Muhammadiyah belum memutuskan menyelesaikan kasus dengan jalur keadilan restoratif.

"Sejauh ini kami masih tetap memilih penyelesaiannya melalui jalur hukum, belum ada pilihan keadilan restoratif," ujar Nasrullah kepada Tirto, Selasa (2/5/2023).

Muhammadiyah, kata Nasrullah telah memaafkan perbuatan AP Hasanuddin, meski telah menjadi tersangka dugaan ujaran kebencian akibat menyatakan "halal darah semua Muhammadiyah".

"Kami memaafkan, tetapi jalur hukum tetap harus jalan. Agar menjadi pelajaran bagi semua untuk tidak mengulangi perbuatan sebagaimana yang dilakukan yang bersangkutan," jelas Nasrullah.

Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri menangkap Andi Pangerang Hasanuddin di Jombang, Jawa Timur, 30 April, pukul 12.00 WIB. Barang bukti yang disita polisi adalah satu ponsel yang digunakan untuk mengunggah pernyataannya, satu akun surel kredensial, yang terhubung dengan akun Facebook AP Hasanuddin, dan satu notebook.

Andi dijerat Pasal 45A ayat (2) juncto Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016, dengan ancaman pidana penjara paling lama 6 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar; lalu Pasal 45B juncto Pasal 29 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016, dengan ancaman hukuman paling lama 4 tahun dan denda paling banyak Rp750 juta.

Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Brigjen Pol Adi Vivid berujar kecil kemungkinan Andi nekat menghabisi nyawa, bila melihat dia adalah seorang peneliti.

"Saya rasa tidak, karena yang bersangkutan berlatar belakang keilmuan," ucap Adi di Mabes Polri, Senin (1/5/2023).

Dalih kesal dan telah mencapai "titik lelah" dalam bahasan penetapan Lebaran jadi dasar Adi nekat berkomentar seperti itu.

"Tidak ada untuk mewujudkan dengan membunuh. Tidak ada," tegas Adi.

Berdasar interogasi, Andi mengaku berkomentar dalam keadaan sadar tanpa pengaruh obat dan alkohol, serta sehat. Kini Andi telah menjadi tersangka, dia ditahan di Rutan Bareskrim Polri.

Adi menambahkan perkara ini bisa saja diselesaikan dengan mekanisme keadilan restoratif, bila pelapor dalam kasus ini tak ingin mengambil sikap untuk tak usah melanjutkan proses hukum di kepolisian.

"Keadilan restoratif itu akan ditentukan oleh pelapor. Karena ini delik pidana murni, mungkin keadilan restoratif itu tergantung yang melapor. Sampai saat ini pihak Muhammadiyah ingin perkara ini tetap dilanjutkan (secara hukum)," ucap Adi.

Baca juga artikel terkait PENELITI BRIN ANCAM MUHAMMADIYAH atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Bayu Septianto