Menuju konten utama

Minim Alat Perang, Filipina Sulit Melumpuhkan ISIS di Marawi

Bahkan rompi antipeluru pun tak dimiliki pasukan Filipina di front terdepan di tengah kemampuan kombatan ISIS yang memahami medan Marawi.

Minim Alat Perang, Filipina Sulit Melumpuhkan ISIS di Marawi
Asap hitam membubung dari bangunan yang terbakar di wilayah komersial di jalan Osmena, kota Marawi, Filipina, Rabu (14/6). ANTARA FOTO/REUTERS/Romeo Ranoco

tirto.id - Pertempuran antara pasukan Filipina dan simpatisan ISIS di Marawi, Mindanao, Filipina Selatan memasuki hari ke-25. Status darurat militer telah ditetapkan. Ribuan pasukan sudah dikerahkan. Pasukan Amerika Serikat pun ikut terlibat dalam operasi. Korban jiwa di pihak Filipina bahkan kini sudah mencapai puluhan; kabar terakhir mencapai 58 tentara yang tewas di tangan ISIS.

Di tengah kecamuk perang yang nyaris sebulan, kenapa sejauh ini progres Armed Forces Phillipines (AFP) untuk melemahkan ISIS di Marawi cenderung lamban?

Saat ini hampir 30 persen Kota Marawi masih dikuasai ISIS. Bagian kota di sebelah timur, jantung ekonomi kota dan yang dipertahankan ISIS sejak awal Juni lalu, belum juga direbut kembali oleh pasukan Filipina.

AFP kesulitan untuk merebut dua jembatan utama penghubung kota bagian barat dan timur di jembatan Mayapandi dan Bayabao. Kecenderungan serangan dilakukan lewat udara dengan pesawat usang OV-10 Branco. Bombardir udara membikin bangunan seantero kota luluh lantak mirip seperti di Suriah.

ISIS Lebih Tahu Seluk Beluk Marawi

Menggelar peperangan kota alias urban warfare tidaklah mudah. Urban warfare memang identik dengan prolonged war alias memakan waktu lama. Contoh terdekat adalah Kota Mosul, Irak. Operasi pembebasan yang digelar pasukan koalisi sejak Oktober 2016 sampai kini belum membuahkan hasil. ISIS belum sepenuhnya bisa diusir dari Mosul.

Di lain sisi, urban warfare identik dengan casualty rate yang amat tinggi. Terutama bagi rakyat sipil dan penyerang. Kompleksitas urban warfare mendorong peperangan nonkonvensional. Baku tembak bisa terjadi di bangunan perkantoran, pertokoan, rumah ibadah, perumahan sipil, hingga dari kamar ke kamar.

Dalam konteks ini yang paling diuntungkan tentu adalah simpatisan ISIS di Marawi. Mayoritas anggota Maute Grup memang berasal dari Lanao de Sur. Wajar jika mereka paham betul kondisi geografi dan topografi di Marawi.

"Keuntungan dari musuh adalah penguasaan medan mereka. Mereka bahkan tahu di mana gang terkecil dan mereka bebas untuk berkeliling," kata Mayor Rowan Rimas, seorang petinggi Marinir, kepada wartawan di Marawi.

PHILIPPINES MILITANTS

Salah seorang kombatan ISIS di Marawi. Sumber: Amaq

Keluhan petinggi Marinir ini jadi pernyataan serius mengingat pasukan khusus di Filipina disematkan kepada Marinir. Namun, penerjunan personel Marinir di Marawi bukan jaminan perang bisa lebih mudah.

Buktinya, Sabtu lalu (10/6), sebuah pertempuran jarak dekat selama 14 jam yang dilakukan Marinir menewaskan 13 orang dan melukai 40 orang lain.

"Musuh tersembunyi di bangunan bertingkat tinggi," kata Kopral Jose Raymond Estoreon kepada Inquirer.

"Mereka tahu dari mana asal pasukan pemerintah dan di mana mereka berlindung, mereka memiliki penembak jitu dan posisi mereka dipertahankan dengan baik," ujar Mayor Rowan Rimas.

Kefasihan milisi ISIS mengetahui sekujur Kota Marawi membuat mereka mudah menerapkan strategi penyergapan atau pengiringan musuh ke dalam perangkap. Merebaknya penggunaan ranjau darat (IED) dan kepemilikan roket pelontar (RPG) cukup bikin kelawalahan bantuan kavaleri dari kubu pasukan pemerintah. Yang ada malah kendaraan angkut personel tentara, yakni tank GKN FS100 Simba 4×4, direbut ISIS.

Serangan-serangan udara pun tidak membuat ISIS ciut. Juru bicara militer Filipinan Letnan Kolonel Jo-ar Herrera mengatakan sekitar 10 persen wilayah Marawi yang dikuasai ISIS memiliki banyak terowongan dan ruang bawah tanah yang dapat menahan bom seberat 500 pon (227 kilo).

"Bahkan masjid-masjid di sini memiliki terowongan," kata Jo-ar Herrera, menambahkan bahwa para kombatan ISIS menggunakan masjid dan terowongan untuk melarikan diri dari pemboman serta menyimpan senjata.

"Ini semua adalah bagian dari dinamika medan perang yang membuatnya semakin sulit bagi kita," keluhnya.

Terowongan memudahkan pergerakan milisi ISIS saat menyergap pasukan Filipina. Norodin Alonto Lucman, seorang politis lokal, menuturkan bungker dan terowongan memang identik dengan Marawi. Dan hal ini, katanya, sudah dibangun sejak lama. Saat pemberontakan Front Pembebasan Nasional Moro (MNLF) pada 1970, warga dan milisi ramai-ramai membangun terowongan dan bungker untuk melawan pemerintah.

Menteri Pertahanan Filipina Delfin Lorenzana menilai perlawanan Manila terhadap kelompok pemberontak ISIS akan lebih sulit ketimbang sebelumnya.

Berkaca pada pertempuran lain, biasanya di tengah gempuran masif saat ini, milisi pemberontak akan melarikan diri, tetapi ISIS tak menunjukkan tanda-tanda itu, malahkan menunjukkan tekad.

"Biasanya dalam konflik seperti ini," ujar Lorenzana saat berkunjung ke Marawi pada akhir pekan lalu, "pejuang lokal hanya akan melarikan diri dan mungkin bersembunyi di pegunungan. Tapi yang mengejutkan, kelompok ini baru saja bersembunyi di pegunungan dan mungkin mereka akan melawan sampai orang terakhir."

Minim Fasilitas Perang yang Memadai

Dikutip dari Reuters, seorang tentara menghabiskan sembilan hari di garis depan meratapi keadaannya tanpa disokong secara total.

"Kami tidak memiliki rompi kevlar, helm, atau senjata baru," katanya.

Dalam pertempuran di Marawi, lazim ditemui personel tentara tidak memakai helm dan rompi antipeluru. Mereka berperang hanya bermodal senjata dan beberapa magazin peluru. Tentu saja ini amat ironis. Dan itu menyebabkan cukup banyak korban dari pasukan Filipina saat merebut perbatasan di Sungai Agus. Sniper dengan mudah membunuh pasukan pemerintah jika tak memakai helm baja dan rompi antipeluru.

Masalah ironis ini dibenarkan oleh Max Montero, mantan pejabat Angkatan Laut Filipina. Menurut informasi yang ia dapat, bahkan kondisi ini membuat pihak lain di luar pemerintah iba hingga memberikan bantuan rompi antipeluru kepada pasukan.

"Tim Marinir 5 dan 7, serta unit Marinir lain di Marawi, akan segera menerima rompi perlindungan. Rompi tersebut berasal dari "niat baik" oleh "organisasi lokal". Ini dilakukan setelah beberapa proyek pengadaan rompi AFP (Militer Filipina) mengalami penundaan implementasi dan pengiriman," katanya.

Tidak hanya abai dalam segi proteksi, soal alat utama sistem pertahanan pun militer Filipina sangat tertinggal. Pada pertempuran Marawi, masih banyak pasukan tempur memakai senjata M1 Garrand yang berasal dari Perang Dunia II.

Akhir pekan lalu, sebuah video dari Marawi menjadi viral. Dalam video itu digambarkan pesawat baling-baling terbang di atas kota. Sang pilot melepaskan bom dan menghancurkan sebuah bangunan. Video ini jadi bahan lelucon karena di pertempuran Marawi, Angkatan Udara Filipina masih memakai pesawat Bronco OV-10 yang aktif di era Perang Vietnam tahun 60-an.

Anggaran yang seret membikin AU Filipina tak berdaya menambah kekuatan alat tempur mereka. Dikabarkan saat ini Filipina memiliki 8 pesawat OV-10. Sebuah laporan di Phillipine Star menyebut sesudah kecelakaan pada 2010 dan 2013, AU Filipina ditegur agar tidak kembali memakai pesawat ini. Namun, nyatanya, peringatan itu diabaikan.

Kini, dengan alat tempur militernya yang paling lemah di Asia Tenggara, Filipina harus menghadapi para kombatan ISIS, yang sebagian sudah terlatih dalam peperangan di Timur Tengah dan Asia Tengah.

Baca juga artikel terkait PERTEMPURAN DI MARAWI atau tulisan lainnya dari Aqwam Fiazmi Hanifan

tirto.id - Politik
Reporter: Aqwam Fiazmi Hanifan
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Fahri Salam