tirto.id - Banyak pemikir Islam mendukung pendapat tentang keutamaan/puncak kebajikan berada di posisi tengah antara dua keburukan. Pendapat ini telah dikenal jauh sebelum datangnya Islam dan secara populer dan ilmiah dinisbahkan kepada filsuf-filsuf Yunani (Aristoteles).
Sebagai contoh, akal adalah pertengahan antara kelicikan dan kedunguan. Keberanian adalah pertengahan antara rasa takut dan ceroboh. Ketenangan adalah pertengahan antara amarah dan kelemahan kepribadian. Kelapangan dada adalah pertengahan antara pelampiasan amarah yang menggebu dengan ketidakmampuan marah. Kesucian adalah pertengahan antara ketamakan. Rendah hati adalah pertengahan antara keangkuhan dan rendah diri. Demikian seterusnya.
Pandangan ini dikukuhkan oleh sementara pemikir Islam, antara lain berdasarkan firman Allah yang menyatakan bahwa umat Islam dijadikan sebagai ummatan wasatha atau umat pertengahan (QS. al-Baqarah ayat 143). Selain ayat tersebut, juga dengan memperhatikan aneka tuntunan Islam yang kesemuanya dapat dinilai menggambarkan posisi tengah itu.
Kendati ide tentang posisi tengah yang disebut di atas banyak benarnya, tapi ia tidak luput dari kritik. Antara lain bahwa terdapat sekian keutamaan yang tidak berada di posisi tengah, seperti kebenaran. Ia bukan berada di posisi tengah karena dalam konteks ini, yang ada hanya kebenaran dan kebohongan, tidak ada pertengahannya. Demikian juga keadilan karena yang ada hanya keadilan atau kezaliman. Tidak ada pertengahannya.
Di samping itu, ada juga keutamaan yang lebih mendekati satu dari dua keburukan lawannya, seperti keberanian dan kedermawanan. Keberanian lebih dekat pada kecerobohan ketimbang rasa takut, sedangkan kedermawanan lebih dekat pada pemborosan ketimbang kekikiran.
Di sini terlihat bahwa keutamaan tidak selalu berada pada posisi tengah. Ada di antaranya yang lebih cenderung ke sisi (walau sedikit) yang menjadi lawan keburukan. Inilah yang membuat "rumus pertengahan” tidak boleh dipahami secara matematis.
Abbas Mahmud al-‘Aqqad (1889-1964 M), cendekiawan muslim Mesir kenamaan, menulis dalam bukunya Haqqa’iq al-Islam bahwa pandangan tentang posisi tengah seperti yang dikemukakan di atas menetapkan tolok ukur bagaikan tolok ukur matematika atau teknik dengan mengabaikan faktor-faktor psikologis dan nilai ruhani yang tinggi. Diuraikan oleh al-‘Aqqad, tolok ukur itu benar kalau seseorang disodori dua pilihan yang keduanya buruk sekaligus pasti terjadi. Di sini yang baik adalah menerapkan pilihan yang berada di tengah di antara dua keburukan yang pasti itu.
Tetapi tidaklah bijaksana jika dikatakan bahwa kedermawanan adalah “kurangnya” keburukan. Kekikiran atau kurangnya keburukan pemborosan tidak berarti kita bisa berkata bahwa "kedermawanan apabila berlebih maka menjadi pemborosan" atau "pemborosan kalau berkurang maka ia menjadi kedermawanan". Alih-alih demikian, justru lebih tepat dikatakan: "berlebihnya kedermawanan adalah kelebihan dalam sesuatu yang terpuji" dan "berkurangnya pemborosan adalah berkurangnya sesuatu tercela".
Kalau pandangan tentang tolok ukur kebaikan adalah “pertengahan antara dua keburukan itu” sepenuhnya benar, lanjut al-‘Aqqad, maka tidak wajar mengharapkan seseorang agar melebihkan kedermawanannya. Karena jika berlebih maka itu menjadi pemborosan dalam “ukuran di atas”.
Di sisi lain harus dibedakan antara berlebihnya kedermawanan dengan berlebihnya pemberian karena keduanya berbeda. Oleh sebab itu, sejak dulu, dikenal ungkapan -- yang sementara orang menisbahkannya kepada Nabi Muhammad SAW-- bahwa: Tidak ada kebaikan dalam pemborosan dan tidak ada juga pemborosan dalam kebaikan.
Ungkapan di atas menegaskan betapa berlebihnya kebaikan hingga mencapai batasnya yang terakhir tidak mengakibatkan kebaikan itu beralih menjadi pemborosan. Alih-alih menjadi pemborosan, hal itu bahkan merupakan kebaikan maksimal sehingga pelakunya wajar memperoleh pujian berlebih atas pujian sebelumnya. Apa yang dilakukannya itu sama sekali tidak dapat dinamai pemborosan.
Kesalahpahaman penganut "ide pertengahan” disebabkan karena mereka memandang dalam menilai kedermawanan pada harta yang dipersembahkannya dan maslahat si pemberi. Kesalahpahaman itu tidak akan timbul seandainya mereka memandang pada motif, penyebab kemaslahatan secara umum, walaupun itu terkadang bertentangan dengan kemaslahatan si pemberi.
Barang siapa yang dari sisi kemaslahatan tidak menuntunnya untuk menafkahkan uang dua juta rupiah, maka ketika ia tetap melakukannya, sesungguhnya ia telah dinilai boros karena telah melakukan sesuatu yang merugikannya. Adapun kalau tujuan menafkahkan yang dua juta itu bukan untuk kemaslahatan pribadinya, tidak juga terdorong oleh keinginannya, tetapi jika tidak menafkahkannya akan berdampak buruk terhadap masyarakat dan terhadap dirinya di kemudian hari, maka tindakan menafkahkan dua juta adalah tindak kedermawanan karena ditujukan demi kemaslahatan yang lebih besar. Pengorbanan yang dilakukannya dan pengabaian kemaslahatan dirinya itu menjadikan apa yang dipersembahkannya (dua juta) bukan lagi pemborosan, tetapi keutamaan dan kedermawanan yang lebih besar dan lebih baik serta lebih terpuji dibanding jika ia memberi satu juta.
Perbandingan antara kelebihan, kekurangan, dan pertengahan akan menjadi sulit jika apa yang dilakukannya tidak dapat digambarkan dengan angka-angka.
Katakanlah kita dapat menerima pandangan yang berkata: “Yang dermawan adalah yang memberi satu juta, yang boros yang tiga juta, yang kikir seribu”. Kalau pandangan itu kita terima demi melancarkan diskusi, maka bagaimana halnya dengan “keberanian” yang dinilai “pertengahan antara sifat ceroboh/avonturir dan takut”?
Dalam kasus ini, dalam hal keberanian, tidak dapat diukur dengan angka-angka. Kalau kita berkata yang penakut adalah yang enggan menerobos bahaya, maka siapakah yang dinamai pemberani? Siapa pula yang avonturir, yang melakukan sesuatu tanpa perhitungan atau ceroboh?
Sesungguhnya kecerobohan lebih baik daripada keberanian kalau kita berkata si pemberani adalah yang sedikit petualangannya atau berkata avonturir/yang ceroboh adalah yang menghadapi bahaya yang lebih besar daripada pemberani. Tetapi sesungguhnya, penilaian tidak boleh dilakukan demikian karena di sini persoalannya bukan pertengahan!
Pemberani sesungguhnya orang yang berhitung lalu tampil menghadapi bahaya dalam situasi yang mengharuskan ia tampil. Di sini kebaikan dan keburukan tidak lagi menggunakan penilaian berdasar angka-angka (banyak dan sedikit), tetapi berdasar penilaian apakah sudah pada waktu dan tempatnya seseorang tampil setelah memperhitungkan apa yang mesti dilakukan ketika itu.
Yang ceroboh pada hakikatnya bukanlah yang lebih banyak keberaniannya dari pada yang penakut. Yang penakut pun bukan yang lebih sedikit keberaniannya daripada si penceroboh. Seseorang menjadi penakut, demikian juga penceroboh, adalah mereka yang menghadapi bahaya tanpa mengetahui situasi dan risiko serta tidak mampu bertindak dengan benar.
Seseorang tidaklah menyimpang dari “keseimbangan dalam kebajikan” jika ia melangkah sejauh mungkin dalam kebajikan itu, bukan sekadar berhenti dalam pertengahannya. Bukankah kita tidak menilai satu wajah sebagai buruk jika kecantikannya mencapai tingkat tiada lagi puncak sesudahnya? Jika demikian, apa yang menghalangi kita menilai baik ketika akhlak seseorang mencapai puncaknya, melebihi pertengahan antara baik dan buruk? Itu sebabnya tidak jarang dalam memuji kita berkata: “Dia telah mencapai puncak yang tiada lagi puncak sesudahnya.”
Demikian lebih kurang penjelasan al-‘Aqqad.
Keberanian pun demikian karena dengan keberanian, ia akan tampil mengendalikan/mengalahkan nafsunya bila mendorongnya melakukan hal-hal yang tidak wajar atau menganiaya pihak lain. Ini juga berlaku pada sang pemberani yang tidak akan takut menjadi miskin sehingga, dengan demikian, ia tidak akan kikir.
Selanjutnya kesucian pun demikian. Karena itu, orang berkata bahwa kesucian adalah kedermawanan karena kedermawanan ada dua macam: (1) Kedermawanan menyangkut apa yang Anda miliki yang menjadikan Anda memberi dan (2) kedermawanan menyangkut apa yang tidak Anda miliki sehingga Anda tidak mengambil atau mengharap apa-apa darinya. Kedermawanan yang kedua lebih utama dari pada kedermawanan pertama.
Sifat-sifat yang disebut di atas melahirkan kemanusiaan (kemerdekaan dan kemuliaan) dan itulah yang memantapkan keislaman, keimanan, dan keikhlasan. Demikian penjelasan Al-Asfahany.
Penulis: M. Quraish Shihab
Editor: Zen RS